Arach Djamali; Perintis Sastra Madura Modern yang Terlupakan

×

Arach Djamali; Perintis Sastra Madura Modern yang Terlupakan

Sebarkan artikel ini
Arach Djamali; Perintis Sastra Madura Modern yang Terlupakan
Arach Djamaly dan Manuskrip Puisi Maduranya yang belum diterbitkan. (Foto for Mata Madura)

Oleh: Luqman Hakim AG*

ARACH Djamali adalah sastrawan yang intens menulis dalam bahasa Madura. Berbagai karya sastra telah ia tulis baik, puisi, cerita pendek (cerpen), roman sejarah dan lain-lain. Namun, hingga meninggal dunia pada 5 Juni 2006 di usianya yang ke-67 tak satupun karyanya yang diterbitkan dalam bentuk buku tunggal.

Sungguh sangat ironis melihat itu terjadi di tengah semangat untuk melestarikan dan mengembangkan sastra daerah. Padahal, karya yang ditorehkan pada masa hidupnya tidak kalah dengan karya yang dihasilkan generasi sekarang. Diksi, metafor dan adagium yang digunakan penyair bernama asli Abd. Rahem itu sangat kuat.

Membaca karyanya seperti mengalami sendiri ungkapan yang ditulis sang penyair. Ruh dalam puisinya dapat membangkitkan semangat perjuangan, nasionalisme, cinta, religiusitas, penghormatan kepada guru, dan kepedulian terhadap sosial. Pembaca dan penyair seakan tidak ada sekat yang memisahkan.

Semisal, puisi Dhara Campor Mardha yang dipersembahkan khusus kepada ibu pertiwi. Puisi yang ditulis 1988 itu menceritakan bagaimana suatusi bangsa Indonesia ketika meraih kemerdekaan. Bagaimana dia merekam kehancuran Hiroshima dan Nagasaki yang epajunge kolat mardha.

Saat itu, bangsa Indonesia menaruh harapan hidup lebih baik. Diharapkan bendera merah putih berkibar di seantero negeri. Berkat kemerdekaan itu pula perubahan terjadi. Semangat menyongsong hidup menggelora. Sebab, dalam dada anak bangsa hanya ada ‘darah yang bercampur bara’.
….
Tareka mardika agarudhu’ magundhek jagat
Raga se kendhur sakojur, odhar
Nyaba se ta’ kababa, abangbang alapes baja
Kacong cebbhing pada asabung, aorak, arakrak
Ta’ marduli dhara se nyapcap
Ta’ marduli mardha se nyapsap

Dhara campor mardha
Agaluy dhalem dhadha
Tojjuwan nonggal
Mardika, jaja, raja.

Arach Djamali merupakan penyair yang kreatif dan produktif. Selain dalam bahasa Madura, penyair kelahiran Sumenep, 15 Februari 1939 itu juga banyak berkarya dalam bahasa Indonesia. Namun dari sekian karyanya, Dhara Campor Mardha yang paling banyak dikenal. Selain karena memanag berkualitas, puisi itu sering dibacakan dalam berbagai even kesusastraan. Namun, bukan berarti puisi yang lain tidak berkualitas!

Ada banyak alasan puisi nasionalisme itu sering dibacakan. Bisa jadi, salah satunya karena pembaca hanya mengetahui puisi Madura modern hanya itu. Padahal, masih banyak puisi Djamali yang lain. Seperti puisi kasmaran berjudul Asare Panglepor Ate yang ditulis 1987 ini.

Dhu langnge’ ban bume
Ba’ e dhimma tresnana ate se tasangsang
Aba’ asare jemjemma sokma
Badhi panglepor pekker se rengsa

Pada tahun 1990-an terbit sebuah buletin berbahasa Madura Konkonan. Buletin itu memuat banyak tulisan, mulai dari paramasastra, puisi, cerpen, carakan dan lain-lain. Penerbitan buletin itu tidak lepas dari peran seorang Arach Djamali.

Saat itu, dia perperan sebagai redaktur rubrik Apresiasi Sastra yang mengulas beberapa karya sastra Madura. Selain itu, dia juga sering menulis sendiri di media yang sama baik cerpen atau puisi. Beberapa puisi Madura yang pernah dimuat dalam Konkonan itu kemudian dia kumpulkan dan dijilid menjadi sebuah buku. Buku itu dia beri judul Rarengganna Tana Kerreng dan Bato Ko’ong untuk kumpulan cerpennya.

Selain itu ada, roman sejarah dua bahasa Adipati Arya Wiraraja berjudul Lalampannepon Dhari Singosari ka Songennep. Namun, hingga akhir hayatnya, ketiga karya besar ini belum sempat diterbitkan. Ingat, hal itu bukan karena karya Arach Djamali tidak layak untuk terbit! “Kami harap ada pihak yang membantu menerbitkannya,” ucapnya waktu masih hidup, seperti ditulis Syaf Anton Wr.

Selain di Konkonan, tulisannya juga terbit dalam buku dwibahasa. Yakni cerpen bahasa Madura berjudul Kajal terbit dalam dua bahasa dalam antologi sastra daerah Wulan Sendhuwuring Geni (Yayasan Obor Indonesia, 1998). Beberapa puisisnya juga terangkum antologi puisi bahasa Madura Nyelbi’ e Nemor Kara (Ghot, 1997) bersama sejumlah sastrawan muda (kala itu) Sumenep, seperti En. Hidayat, Ibu Hajar, Banu Sabetha, dan Hidayat Raharja.

Sementara itu, tulisannya dalam bahasa Indonesia termuat dalam antologi bersama Mardika (Forum Bias–RRI Sumenep, 1995), dan kumpulan puisi Cermin-Cermin (Sanggar Tirta, 1995). Sebagai bentuk penghargaan, Majalah Kidung Dewan Kesenian Jawa Timur (DK Jatim) juga pernah memuat puisi Madura-nya.

Dedikasinya dalam pelestarian bahasa dan sastra Madura tidak dapat diragukan. Di mata sastrawan, dia merupakan sosok yang dekat dengan semua kalangan. Meski termasuk generasi tua, dia tidak segan untuk nimbrung bersama beberapa sastrawan yang disebut diatas. Bahkan, dia yang kerap mendatangi sanggar atau rumah anggota. ”Dalam sepekan minimal dua kali kami bertemu saat itu,” kata Ibnu Hajar.

ada masa hidupnya, dia juga mengisi siaran program Pembinaan Bahasa Madura di RRI Pro 1 Sumenep setiap Jum’at malam. Selain itu, dia juga pernah menjabat kepala Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Kandepdikbud) Kecamatan Kota dan dosen bahasa dan sastra Madura STKIP PGRI Sumenep.

Tak heran banyak mahasiswa dan para pemerhati sastra merasa kehilangan ketika –meminjam bahasa Amin Bashiri- Sang Maestro Sastra Madura itu berpulang. Beberapa saat setelah dia menghadap ilahi, beberapa sastrawan membacakan sejumlah karya puisinya melalui corong radio di Sumenep.

”Beliau termasuk penggiat dalam usaha melestarikan basa Madura bersama senior lainnya. Seingat saya, beliau gigih untuk mempertahankan basa Madura ejaan Sumenep karena dianggap sudah lama digunakan dan lebih mudah dipelajari,” jelas En. Hidayat dalam sebuah percakapan dengan penulis.

Sementara itu, Hidayat Raharja menyatakan, Arach Djamali merupakan sosok yang sangat ramah dan mungkin yang paling dekat dengan kaum muda diantara seangkatannya.

Sembilan tahun sudah sosok Arach Djamali telah meninggalkan kita. Semangat untuk melestarikan bahasa Madura melalui karya sastra menjadi teladan bagi kita semua. Penulis berharap agar pemerintah menerbitkan tiga karya besar yang ditorehkan. Sebab, dia telah berhasil menorehkan gagasan dan idenya dalam sastra tulis Madura.

Jangan bermimpi melestarikan bahasa dan sastra Madura jika tidak memperhatikan nasib sastrawan dan mengapresiasi karya yang telah dihasilkan. Salam Madura!

*Penulis antologi puisi bahasa Madura Sagara Aeng Mata Ojan (BBS, 2008). Mengelola www.serratpote.blogspot.com.

KPU Bangkalan