Budaya

Budaya Kerapan Sapi dan Budaya Toron dalam Bingkai Silaturrahim

×

Budaya Kerapan Sapi dan Budaya Toron dalam Bingkai Silaturrahim

Sebarkan artikel ini
Budaya Kerapan Sapi dan Budaya Toron dalam Bingkai Silaturrahim
Kerapan Sapi di Pantai Salopeng Sumenep. (Foto/Bams Yant for Mata Madura)

Bagi masyarakat Madura, kerapan sapi bukan sekadar sebuah pesta rakyat yang perayaannya digelar setiap tahun. Kerapan sapi juga bukan hanya sebuah tradisi yang dilaksanakan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kerapan sapi adalah sebuah prestise kebanggaan yang akan mengangkat martabat masyarakat Madura.

MataMaduraNews.com, MADURA – Secara umum, Kerapan Sapi merupakan istilah untuk menyebut perlombaan pacuan sapi yang berasal dari Pulau Madura.

Perlombaan ini memakai sarana yang disebut kaleles yang ditarik sepasang sapi dan dikendalikan oleh tokang tongko’ (joki) untuk selanjunya dipacu dalam lomba adu cepat melawan pasangan-pasangan sapi lain.

Budayawan Madura asal Bangkalan, R. M. Hasan Sasra mengimbau agar budaya kerapan sapi jangan semata-mata dipandang sebagai ajang perlombaan adu kecepatan.

Menurutnya fungsi utama kerapan sapi sebagai wadah untuk mempererat dan memupuk kekerabatan antar komunitas kerapan sapi.

Secara istilah, kata kerapan disebutnya berasal dari bahasa Arab qorobah yang bermakna kerabat.

“Seiring perkembangan zaman, kata kerabat menjadi kerapan yang berarti memacu atau adu kecepatan,” jelas Hasan Sasra kepada Mata Madura.

***

Menurut Hasan, dalam komunitas kerapan sapi terdapat beberapa kegiatan yang menggambarkan jalinan kekerabatan yang begitu kuat.

Hal itu dapat dilihat dalam pekerjaaan merawat sapi yang tidak hanya dilakukan oleh satu kelompok saja.

Misalnya, satu kelompok bertugas mencari pakan sapi, ada kelompok lainnya yang bertugas khusus memberi jamu sapi tersebut.

“Banyaknya kelompok yang memiliki tugas yang berbeda dalam merawat sapi, merupakan cermin kekerabatan itu,” tuturnya.

Budayawan kelahiran 11 Agustus 1942 itu mengatakan, rasa persaudaraan masyarakat Madura begitu kuat dan menjadi ciri khas yang tak terbantahkan.

Hal itu tidak hanya dapat dilihat dalam karapan sapi. Namun, juga pada tradisi toron. Sekalipun berada di tanah perantauan tidak membuat rasa persaudaraan itu memudar.

Tradisi toron dalam setiap momen tertentu menjadi bukti kuatnya jalinan silaturahmi tersebut.

Toron merupakan istilah lokal untuk menyebut kepulangan orang Madura dari tanah rantau.

Masyarakat Madura yang banyak merantau biasanya berbondong-bondong toron saat Lebaran Idul Fitri, Idul Adha, dan perayaan maulid Nabi Muhammad SAW.

“Jarak bukan suatu halangan berarti bagi masyarakat Madura untuk tetap menjaga dan menjalin silaturahmi,” paparnya.

Sebenarnya, istilah toron merupakan hal yang biasa, karena bisa terjadi di kalangan berbagai bangsa dan etnis di berbagai belahan dunia.

Istilah toron merupakan kebalikan dari istilah onggha, dalam arti migrasi ke tempat lain yang dituju (emigrasi).

Dengan demikian muncul istilah toron, yang disebabkan adanya aktivitas perpindahan atau onggha yang mendahului.

Bagi etnis Madura syarat onggha harus terjadi perpindahan ke luar pulau, sehingga jika terjadi aktivitas perpindahan masih dalam kawasan pulau Madura, maka hal itu belum dapat dikatakan onggha.

Menurut Budayawan Madura di Sumenep, Edhi Setiawan, toron dan onggha secara tak langsung menunjukkan posisi Madura lebih rendah dari Jawa.

“Makanya kalau pulang rantau disebut toron. Maknanya ‘kan ke bawah,” kata Edhi sambil tersenyum. (aliman/farhan, dengan tambahan beberapa sumber)

Akar Sejarah Kerapan, selengkapnya baca di Tabloid Mata Madura Edisi 7/03-16 Oktober 2016!

KPU Bangkalan