Opini

Dewi; Notaris Sial dan Ancaman Notaris yang Selalu Mengintai 

×

Dewi; Notaris Sial dan Ancaman Notaris yang Selalu Mengintai 

Sebarkan artikel ini
Dewi; Notaris Sial dan Ancaman Notaris yang Selalu Mengintai 

Oleh: Kurniadi,SH*

Perkenalan saya dengan seorang wanita setengah baya di Ibu Kota Jakarta pada tanggal 16 Juli 2019 cukup memberi inspirasi. Sebut saja ia bernama Dewi, warga Ibu Kota Jakarta. Dia menjalankan profesi Notaris selama 20 tahun. Sejak tahun 1999 hingga sekarang 2019.

Meski kini sudah mendekati usia senja, namun gurat-gurat di wajahnya masih mampu menjelaskan betapa cantiknya ia di masa muda. Badannya ramping dan padat berisi. Sikap dan tutur katanya halus. Mudah sekali tersenyum. Sejak muda sudah terobsesi untuk menjadi Notaris.

Dewi selalu belajar body language  di depan cermin. Belajar mengenai bagaimana cara bersikap yang dapat menyenangkan setiap tamu yang datang kepadanya. Maka wajar apabila Dewi lalu tumbuh seolah kembang mekar yang cantik dan menarik dan terjaga hingga sekarang: Halus, manis dan anggun.

Di usia yang seharusnya tenang,  ia justru diliputi oleh berbagai ketegangan-ketegangan. Dia kini tidak dapat lagi menjalankan praktek profesi yang ia rintis sejak tahun 2017 s/d sekarang. Bukan karena ia dilarang berpraktik. Melainkan karena seluruh energinya terkuras dan tersita habis karena berurusan dengan Polisi.

Ya…, sejak 4 tahun yang lalu, tahun 2016 Dewi telah  ditetapkan tersangka oleh polisi. Dan rumahnya disita karena disangka telah melakukan tindak pidana membuat surat palsu dan/atau memberikan keterangan palsu ke dalam akta otentik. Dia diancam dengan pasal 263, 266 dan/atau pasal 264 KUHP dan/atau, melakukan tindak pidana Penipuan-Penggelapan pasal 378/372 KUHP.

Bagaimana Dewi bisa dijerat Membuat dan Memakai Surat Palsu? Surat apa yang dipalsu? Akta apa yang isinya diberi keterangan palsu,m? Siapa yang ditipu? Beginilah riwayatnya:

Dahulu, sekitar 25 tahun yang lalu, yaitu tahun 1994, ketika usianya masih baru memasuki 28 tahun. Masih gadis dan merupakan bunga kembang yang sedang mekar. Ketika Dewi telah menyelesaikan Pendidikan Profesi Notaris. Dewi muda meminta tolong kepada seseorang yang dikenangnya bernama Jumin (Nama Samaran), untuk membuatkan KTP Karawang. Keperluannya untuk memenuhi persyaratan agar dapat diangkat sebagai Notaris yang dapat menjalankan praktek profesinya di kota itu;

Setelah KTP yang dimaksud keluar, Dewi lalu menjadikannya sebagai lampiran persyaratan ke kementerian Kehakiman waktu itu, yaitu tahun 1994, untuk dapat diangkat menjadi Notaris yang dapat berpraktik di Karawang.

Mujur nasib Dewi, setelah 4 tahun menunggu sejak tahun 1994, akhirnya keinginannya kabul. Dewi diangkat menjadi Notaris pada tahun 1999 dan kemudian menjalankan praktek profesinya dikota itu hingga tahun 2005 (5 tahun);

Namun, tepat pada saat dirinya diangkat sebagai Notaris pada tahun 1999 itu, sekaligus telah telah berakhir pula masa berlaku KTP miliknya. Karenanya, sesuai aturan, bahwa notaris harus memiliki KTP diwilayah prakteknya. Maka Dewi kemudian memperpanjang KTPnya tersebut untuk pertama kalinya dan memiliki masa berlaku hingga ditahun 2004;

Bahwa oleh karena pada tahun 2004 tersebut Dewi masih berpraktik di daerah itu, sedangkan KTPnya sdh berakhir masa berlakunya, maka Dewi kemudian memperpanjang lagi KTPnya tersebut untuk yang kedua kalinya dan  memiliki masa berlaku hingga tahun 2009.

Sejak menjadi Notaris, Dewi pun tetap menjadikan KTPnya tersebut sebagai Pengenal Identitasnya. Baik dalam berhubungan dengan instansi swasta maupun lembaga pemerintah. Kantor pajak, perbankan, dan kantor pertanahan. KTP itulah yang dipakai Dewi dan tidak pernah ada permasalahan. Identitas tersebut tetap diterima sebagai identitas milik Dewi.

Lalu dari mana polisi mempermasalahkan Dewi? Usut punya usut ternyata permasalahan ini bermula dari peristiwa jual beli tanah pada tahun 2009 dimana Dewi membeli tanah kepada lima orang ahli waris;

Usut punya usut ternyata yang melaporkan adalah salah seorang istri dari salah satu penjual Dewi dilaporkan telah melampirkan KTP palsu dalam pembuatan akta jual beli.

Kenapa disebut palsu, padahal selama 15 tahun dipakai tidak pernah ada yang mempermasalahkannya?

Usut punya usut lagi, ternyata disebut palsu karena data-data identitasnya tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, antara lain:

KTP yang terbit pada tahun 2004 dan masa berlaku s/d tahun 2009 tersebut tidak tercatat di data base Dispenduk Capil Pemerintah Kabupaten Karawang. Sata identitas kependudukan Dewi juga telah tercatat di Pemerintah Kabupaten Jakarta Timur (KTP Ganda).

Status Perkawinan ditulis: Belum Kawin. Ladahal Dewi sudah menikah pada tahun 1995.

Status pekerjaan masih ditulis: pegawai swasta. Padahal sejak tahun 1999 ia sudah menjadi Notaris;

Alamat yang tercantum dalam KTP tersebut diduga fiktif, Blok F/25 tercatat di RT:6, padahal blok itu berada di RT:3. Bukan di RT:6 dan bahkan di desa ini tidak ada RT: 6.

Yang cerdas tentu bertanya:
Pertama, kalau hanya karena tidak tercatat di data base pemerintahan setempat, mengapa lalu disebut palsu? Kan bisa jadi KTP tersebut asli tapi lupa tidak dicatat oleh pegawai pada kantor Dispenduk Capil tersebut?

Maka untuk mengujinya haruslah diperiksa kebenaran tanda tangan pejabat yang menandatanganinya. Yach, harus uji labfor.

Kedua, kalau misalnya benar tandatangan pejabat dalam KTP tersebut palsu, bagaimana lalu Dewi yang diduga Memalsu? Bukankah Dewi tidak membuatnya sendiri melainkan ada orang lain yang mengurus?

Bahwa keanehan-keanehan yang meliputi permasalahan Dewi ini, ditetapkan sebagai Tersangka membuat KTP palsu, padahal belum ada uji labfor. Apakah benar KTP tersebut palsu apa tidak? Atau kalaupun benar telah terbukti palsu akan tetapi belum diperiksa siapa yang memalsu? Yang mengurus juga belum diperiksa, tanda tangan dalam KTP tersebut juga belum diuji labfor. Bukankah menetapkan Dewi selaku si pemalsu merupakan kesewenang-wenangan?

Yang tidak kalah anehnya adalah bahwa kepemilikan KTP ganda atau yang salah satunya lalu dianggap palsu. Lalu, dihubungkan dengan peristiwa jual beli. Mengapa aneh? karena kalau dihubungkan dengan jual beli maka timbul pertanyaan:

1. Apa hubungan Pelapor dengan jual beli ini? Bukankah oelapor bukan pihak dan tidak memiliki hubungan hukum dengan objek jual beli mengingat objek jual beli adalah harta waris milik suaminya?

2. Bila pun memiliki KTP Ganda merupakan tindak pidana, bukankah tindak pidana tersebut merupakan tindak pidana administrasi kependudukan? Kenapa diusut dengan KUHP?

Kisah Dewi di atas, seharusnya menjadi bahan evaluasi pemerintah. Terutama Menteri Dalam Negeri untuk membuat regulasi dan perlindungan terhadap Notaris Indonesia. Jika tidak segera diambil tindakan, maka akan banyak notaris-notaris lain yang terancam. Terutama yang diangkat sebelum UU Aspenduk berlaku. Tentu kan menjadi mainan penegak hukum yang curang.

Dan kepada Organisasi Notaris, kasus yang menimpa Notaris Dewi bisa disikapi secara kritis sebagai bentuk tanggungjawab eksistensi Notaris di Indonesia.

Salam…..
Jakarta, 20 Mei 2019

*Penulis Pendiri YLBH Madura

KPU Bangkalan