Budaya

Jejak Intelektualitas Keluarga Semarang di Sumenep (2)

×

Jejak Intelektualitas Keluarga Semarang di Sumenep (2)

Sebarkan artikel ini
Keluarga Semarang di Sumenepp
Sketsa pelukis Inggris, John Newman (1795-1818), yang menggambarkan Kangjeng Kiai Adipati Suroadimenggolo, Hoofd Regent Semarang Sido Ing Sumenep (menjabat, 1809-22), dengan seorang pelayan laki-laki, di Semarang pada tahun 1811-12. Lihat perabot meja, sepatu bot dan jendela gaya Eropa, dengan sebuah lukisan yang konon menggambarkan kapal angkatan laut Inggris (?) di dinding belakang. (Foto Carey, seizin British Library, London)

matamaduranews.comSUMENEP-Di catatan terjemahan Carey, Suroadimenggolo V disebut sebagai “...a  man for vigour of understanding, for sagacity and intelligence far superior to all his countrymen”.

Yang maknanya, seorang yang memiliki kecepatan tanggap, kecerdasan dan kebijaksanaan yang jauh melampaui semua orang sebangsa.

Dari pernikahannya dengan putri Pangeran Sambernyawa, Suroadimenggolo V memiliki beberapa putra-putri. Salah satu nama di antaranya ialah Raden Saleh yang selanjutnya akan diceritakan nanti.

Namun, catatan umum di Sumenep ternyata tak sama dengan catatan kakancingan keluarga MN I. Di catatan Sumenep, salah satu putri Suroadimenggolo merupakan permaisuri Sultan Sumenep; Abdurrahman Pakunataningrat (m. 1811-1854).

Dalam sejarah Sumenep, disebut hubungan awal Sultan Sumenep dengan Adipati Semarang itu ialah saudara sepupu. Ibunda Sultan Sumenep, Raden Ajeng Maimunah memang berasal dari Semarang, yaitu putri dari Suroadimenggolo III. Raden Ajeng ini adalah bibi Suroadimenggolo V.

Silsilah Suroadimenggolo V di Sumenep juga menyebut beliau bernasab pada Ronggo Yudonegoro hingga Sunan Pandanarang. Sehingga mungkin, ada tokoh lain yang merujuk pada Suroadimenggolo cucu Kiai Terbaya.

Dengan kata lain, ada Suroadimenggolo trah Pandanarang yang jabatannya Hoofd Regent, dan ada Suroadimenggolo trah Bustam yang menjadi bupati bawahan di Terbaya.

Soal nama sama ini masih membutuhkan penelusuran lebih lanjut. Namun, sosok yang menjadi mertua Sultan Sumenep yang cendekia ini identik dengan sosok pertama yang trah Pandanarang.

Silsilah Suroadimenggolo V yang bersumber pada catatan Keraton Sumenep selaras dengan catatan keluarga Mertohadinegoro, yang saat ini dipegang salah satu keturunannya di Jogjakarta.

Sang Adipati merupakan keturunan kesekian (jalur pancaran laki-laki) dari Pangeran Ketib atau Pangeran Kanoman yang bergelar Pangeran Mangkubumi alias Pandanarang III.

Pangeran Kanoman ini ialah adik Pangeran Kasepuhan (Pangeran Kaji) alias Sunan Tembayat alias Pandanarang II. Keduanya sama-sama anak Pangeran Pandanarang I, adipati pertama Semarang.

Pangeran Ketib diambil sebagai menantu oleh Sultan Pajang, Hadiwijaya alias Jaka Tingkir. Dari perkawinan itu lahirlah Kiai Agung Khalifah yang bergelar Mangkubumi II.

Mangkubumi II berputra Kiai Agung Kalawiyan di Kadilangu, yaitu ayah Tumenggung Ronggo Yudonegoro alias Raden Adipati Suroadimenggolo I.

Suroadimenggolo I berputra Raden Mas Deres alias Tumenggung Mertoyudo alias Suroadimenggolo II. Suroadimenggolo II ialah ayah Raden Mas Damar Mertowijoyo alias Suroadimenggolo III.

Suroadimenggolo ialah ayah Raden Mas Dayun Mertonegoro alias Pangeran Semarang Suroadimenggolo IV. Pangeran Semarang inilah ayahanda dari Kangjeng Kiai Adipati Suroadimenggolo V, Sido ing Sumenep.

Dipuji Rafflesh dan Crawfurd

Baik Sultan Sumenep maupun Adipati Suroadimenggolo V dikenal sebagai sosok cendekia yang menonjol di masanya. Wawasan keilmuan keduanya sangat menarik bagi TS Rafflesh, Gubernur Jenderal Inggris ketika masa peralihan Belanda-Inggris. Sehingga, hal itu “dimanfaatkan” oleh Rafflesh dalam menyusun karya monumentalnya: History of Java (1817).

Tentang sepak terjang Kangjeng Kai di Semarang ini direkam Rafflesh di History of Java (Jilid I, kaca 273). Di situ menyebutkan pujian TS Raffles pada sosok Kangjeng Kai sebagai sanak saudara Panembahan Sumenep (Natakusuma ke-II), yang meliputi ketinggian status sosial maupun sikap dan wataknya.

Sang Adipati ini memang dikenal sebagai sosok yang keras pada Kolonial.

Kendati demikian, Peter Carey dalam catatan akhirnya menyebut, “meskipun persahabatan seperti itu berdasarkan minat kesastraan dan kecendekiawanan, terkandung juga pamrih di dalamnya. Keahlian orang-orang seperti Notokusumo/Pakualam I, Suroadimenggolo, dan Panembahan (pasca-1811, Sultan) Sumenep, Paku Nataningrat (bertakhta 1811-1854), memungkinkan pejabat cendekiawan seperti Raffles dan Crawfurd untuk memanfaatkan sumber-sumber setempat bagi karya sejarah mereka.

Tapi sering sekali ucapan terima kasih yang mereka terima dalam naskah-naskah yang diterbitkan tidak sebanding dengan sumbangan mereka.”

Bersambung…

RBM Farhan Muzammily, Mata Madura

KPU Bangkalan