Budaya

Jejak Intelektualitas Keluarga Semarang di Sumenep (1)

×

Jejak Intelektualitas Keluarga Semarang di Sumenep (1)

Sebarkan artikel ini
Keluarga Semarang di Sumenepp
Sketsa pelukis Inggris, John Newman (1795-1818), yang menggambarkan Kangjeng Kiai Adipati Suroadimenggolo, Hoofd Regent Semarang Sido Ing Sumenep (menjabat, 1809-22), dengan seorang pelayan laki-laki, di Semarang pada tahun 1811-12. Lihat perabot meja, sepatu bot dan jendela gaya Eropa, dengan sebuah lukisan yang konon menggambarkan kapal angkatan laut Inggris (?) di dinding belakang. (Foto Carey, seizin British Library, London)

matamaduranews.comSUMENEP– Semarang, di masa lalu, nama ini memiliki kaitan erat dengan dinamika peradaban Sumenep, khususnya di era pemerintahan dinasti terakhir (1752-1929).

Nun jauh di sana, di pusat peradaban tanah Jawa abad ke-19, duduklah seorang berpengaruh dari keluarga Suraadimenggalan di kursi adipati.

Area pemerintahannya mencakup Semarang dan sekitarnya. Jabatannya ialah Hoofd Regent atau terjemah bebasnya Kepala Adipati. Maknanya, Adipati yang membawahi beberapa adipati. Waktu itu Semarang juga menjadi pusat bangsa Kolonial.

Berdasar sebuah catatan berbahasa asing yang diterjemahkan oleh Dr. Peter Carey, sang Adipati ini berkuasa sejak 1809 M. Beliau bergelar Kangjeng Kiai Adipati Suroadimenggolo V.

Angka V ini merujuk juga pada catatan keluarga besar keraton Sumenep, sebagai lokasi sang Adipati cendekia sekaligus yang dikenal keras ini di akhir hayatnya.

Dalam catatan sejarah Semarang, nama Suroadimenggolo ini dipakai tidak hanya satu orang. Orang pertama yang bergelar ini ialah Tumenggung Ronggo Yudonegoro.

Beliau merupakan keturunan Kiai Ageng Pandanarang, penguasa pertama tanah Semarang.

Hingga beberapa waktu ke belakang, asal-usul Sang Adipati fenomenal ini sempat menjadi dua versi.

Selama beberapa generasi, gelar Suroadimenggolo dipakai oleh turunan pancer keluarga Yudonegoro. Namun nama ini juga dipakai oleh salah satu cucu Kiai Ngabehi Kertaboso Bustam (1681-1759).

Kiai Ngabehi Kertabasa Bustam merupakan sosok yang dianggap berjasa besar dalam “mendamaikan” geger Mataram yang melibatkan trio Pakubuwono II-Mangkubumi-Mas Said, hingga melahirkan perjanjian Giyanti (1755) dan Salatiga (1757).

Sehingga posisinya kala itu, baik di mata para penguasa Mataram yang pecah tiga itu, maupun pihak Kolonial Belanda, sangat terhormat. Meski jabatan yang dimiliki beliau hanya sebagai Onder Regent di Terbaya. Yaitu semacam bupati kecil.

Kiai Kertabasa menurut ulasan singkat Hamid Algadri di bukunya, Islam dan Keturunan Arab dalam Pemberontakan Melawan Belanda, merupakan salah satu keturunan Arab yang memainkan peran penting dalam hal politik di tanah Jawa.

Ayah Kiai Kertabasa ialah Sayyid Husain yang memiliki nama Jawa: Raden Wangsanaya. Istri Husain ialah Putri Pangeran Haryo Juminah, anak Panembahan Senapati dari istrinya yang bernama Retno Dumilah, mantan bupati Madiun.

Dalam sebuah catatan silsilah kuna, Sayyid Husain ditulis dengan nama lain Pangeran Syarif Alidrus, Sumare Ing Gresik. Asal-usulnya ke atas masih belum bisa dipastikan.

Keluarga Bestaman memiliki dua pendapat. Satu berpendapat beliau ialah keluarga Al-Idrus dari India, sedang satu lagi mengatakan bahwa beliau bermarga Bin Yahya.

Kedua marga itu merupakan marga sah bani Alawi yang berasal-usul dari Hadhramawt, Yaman. Sumber lain menyatakan beliau keturunan garis laki-laki dari Sunan Bonang.

Nama Suroadimenggolo V, berdasar surat kakancingan raja-raja Mataram, merupakan menantu Pangeran Sambernyawa alias Mas Said, yaitu Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Ario (KGPAA) Mangkunegoro I, penguasa pertama Mangkunegaran.

Beberapa laporan menyebut beliau sebagai tokoh intelektual yang menguasai berbagai disiplin ilmu.

Bersambung…

RBM Farhan Muzammily, Mata Madura

KPU Bangkalan