Kiai Imam Sumenep; Empu Pandian Setelah Kiai Brama

×

Kiai Imam Sumenep; Empu Pandian Setelah Kiai Brama

Sebarkan artikel ini
Kiai Imam Sumenep; Empu Pandian Setelah Kiai Brama
SEKARANG: Kondisi makam Kiai Imam Pandian saat ini sudah dikeramik. (Foto Farhan Mata Madura)

MataMaduraNews.comSUMENEP-Kompleks pemakaman umum di Desa Pandian itu sejak jaman doeloe dikenal dengan nama Pacangagan. Lokasinya di bagian barat jalan yang kini bernama Jalan Pahlawan. Nama Pacangagan juga sudah mulai luntur. Generasi jaman kini lebih karib dengan kompleks makam Pahlawan. Karena di bagian utara area pemakaman umum itu ditempati makam para pejuang Sumenep.

Di masa lampau, kompleks pemakaman umum Pacangagan ini dikenal angker. Selain sepi karena memang jauh dari perkampungan atau rumah penduduk, area pemakaman memang dijauhi kumpulan orang untuk cangkru’an atau nongkrong. Jangankan malam hari, siang saja, suasana di kompleks tersebut acap membuat  bulu kuduk tegak. Tapi itu dulu, mungkin hingga akhir dasawarsa 1990-an, atau jelang masuknya era Milenium. Menyempitnya lahan kosong akibat pertumbuhan pembangunan mungkin bisa jadi salah satu sebab hilangnya kesan angker di area keramat itu. Pasalnya, di sekitar kawasan itu sudah menjelma menjadi perumahan penduduk yang mulai padat-rapat. Sekaligus menjadi area lalu-lalang, membuat sepi didesak ramai.

Di area pemakaman Pacangagan itu banyak disemayamkan tokoh-tokoh besar Sumenep di masanya, seperti Kiai Imam (ulama sekaligus pandai keris), Kiai Murkali atau Gung Macan (juga salah satu pandai keris di perbatasan Desa Pandian dan Karangduak), Raden Ardikusumo (ulama dari kalangan bangsawan Sumenep yang dikenal keramat), dan di periode akhir ada nama K. H. Zainal Arifin dan K. H. Usymuni (keduanya di Terate, Pandian), juga K. R. Mu’amar Wongsoleksono (Pandian), dan K. H. Ahmad Bakri (Pandian), yang juga esareyagi (dimakamkan) di area tersebut. Tokoh yang disebut awal di paragraf ini merupakan tokoh sentral Jejak Ulama edisi saat ini.

Kiai Imam Sumenep; Empu Pandian Setelah Kiai Brama
DULU: Kondisi makam Kiai Imam Pandian satu tahun lalu sebelum dikeramik. (Foto Farhan Mata Madura)

Asal-Usul

Nama Kiai Imam di Pandian, Sumenep, hampir tak disebut di catatan sejarah kuna maupun babad di bumi Sumekar. Padahal, berdasar riwayat lisan turun-temurun di Sumenep, beliau ialah guru pertama Kiai Abdurrahman alias Kiai Raba di Pamekasan. Kiai Raba yang putra Sendir dan melegenda kisah kehidupannya di kedua poros Tengah-Timur pulau Madura. Pasalnya, Kiai Raba dikenal sebagai paman dan ayah angkat Entol Bungso atau Bindara Bungso, ayah Bindara Saut, penguasa legendaris Sumenep sekaligus pembuka dinasti terakhir di sini.

”Saat kecil Kiai Raba memang dititipkan pada Kiai Imam oleh ayahnya, Kiai Abdullah Sendir,” kata Deny Fahrurrazi, salah satu pemerhati sejarah di Sumenep, awal Januari lalu.

Menurut kisah tetua atau para sepuh di Sumenep, Kiai Imam dikenal sebagai sosok yang waskita dan linuwih.  Beliau dikenal sebagai salah satu waliyullah besar di masanya. Konon, Kiai Raba kecil sudah diramalkan beliau sebagai calon waliyullah agung di Madura.

”Saat Kiai Raba mondok di sana, kebiasannya mengadu anjing dan celeng. Kiai Imam lantas menegur dengan berkata, wahai Abdurrahman, seandainya bumi ini perahu, engkau adalah tiangnya,” kata Deny.

Ucapan Kiai Imam di kemudian hari memang menjadi kenyataan. Kiai Raba menjadi tokoh ulama besar dan disegani oleh bumi Gerbang Salam. Sang Raja di sana pun ta’dzim dan berguru ruhani.

Satu-satunya tulisan masa lampau yang mengutip nama Kiai Imam ialah R. Zainalfattah, mantan bupati Pamekasan yang juga sekaligus ahli sejarah dan kebudayaan Madura. Dalam buku tentang sejarah pusaka di Madura, Kiai Imam disebut sebagai salah satu empu atau pandai keris di Sumenep. Pusaka karya Kiai Imam juga dikenal sebagai jenengan Pandian.

”Masa pembuatannya setelah masa Empu Barama, murid Kiai Supo Mandrangi, iparnya Sunan Kalijaga. Jadi bedanya, kalau sebelum Kiai Imam, pusaka Pandian dikenal dengan Barama,” jelas Deny yang juga sekaligus pemerhati pusaka di Sumenep.

Namun meski dikenal sebagai pandai keris, Deny mengaku bahwa saat ini sudah tidak bisa lagi ditemukan peninggalan pusaka ciptaan Kiai Imam. ”Sepertinya sudah tidak ada saat ini. Mungkin beliau tidak begitu banyak membuat keris atau pusaka. Dan mungkin juga sudah pindah tangan ke tangan hingga keluar dari Sumenep. Jadi, kalau Pandian yang ada peninggalan Kiai Barama, dan Kiai Murkali. Kalau yang murni buatan Karangduak ialah pusaka Judagati dan Tisnagati, sesuai nama empu penciptanya,” jelas Deny.

Pasarean wali sepuh di Sumenep itu terletak dalam sebuah kompleks tanpa atap. Posisinya di sebelah timur makam Gung Macan atau Kiai Morkali. Di area berpagar yang hanya ada satu deret makam kuna itu, posisi pasarean Kiai Imam berada di posisi kedua dari ujung timur. Hingga kurang lebih satu tahun silam, pasarean Kiai Imam masih bercorak kuna, dengan nisan khas tempo doeloe, tanpa badan kijing. Hanya ditinggikan sekitar 5 cm dari permukaan tanah. Namun kini sudah berubah dengan dikeramik. Tak jelas yang memugarnya.

Lalu dari mana asal-usul Kiai Imam? Tidak adanya nama Kiai Imam di hampir semua literatur tentang Sumenep awal membuat Mata Madura kesulitan melacak asal-usul sekaligus muasalnya. Sekelumit kisah tentang beliau seperti yang disebut di muka, hanya berasal dari riwayat lisan turun-temurun keluarga keraton Sumenep.

Yang bisa dilacak, meski perkiraan saja, Kiai Imam hidup di paruh kedua 1500-an atau paruh awal 1600-an Masehi. Masa itu Sumenep di bawah kepemimpinan Pangeran Anggadipa, dari Jepara. Perkiraan itu berdasar riwayat bahwa Kiai Raba kecil berguru pada beliau. Masa Kiai Raba sebelum masa Bindara Bungso atau Kiai Abdullah Batuampar, ayah Bindara Saut, penguasa Sumenep yang mangkat pada 1762 Masehi.

”Info tutur juga menyatakan bahwa Kiai Imam sejaman dengan Kiai Panglegur, yang menurut kisahnya berasal dari Mataram. Keduanya diceritakan sangat dekat, entah apa da hubungan darah atau lainnya,” kata Deny.

Sekelumit Kisah Karomah

Seperti yang disebut Deny Fahrurrazi, Kiai Imam sejaman dengan Kiai Panglegur yang sama-sama diyakini sebagai waliyullah besar Sumenep di masanya. Ada kisah tutur dari masa lampau tentang keduanya.

Suatu waktu, Kiai Imam bertamu ke kediaman Kiai Panglegur (pasareannya terletak di Panglegur, sebelah barat Mapolres Sumenep, tepatnya di utara jalan raya). ”Kiai Imam lantas meminta suguhan ikan kepada Kiai Panglegur. Lantas Allah memperlihatkan karomah Kiai Panglegur, sang kiai kemudian menebar jala ikan di halamannya, dan sungguh di luar nalar, jala itu penuh dengan ikan hidup,” kata R P M. Mangkuadiningrat, salah satu sesepuh Sumenep, awal Januari lalu.

Ikan itu kemudian dimasak dan dihidangkan. Setelah selesai dimakan, oleh Kiai Imam, tulang belulang ikan itu dilemparkannya ke sebuah kolam di dekat rumah Kiai Panglegur, atas izin Allah ikan tersebut hidup lagi.

Kisah tersebut mirip dengan kisah Kiai Macan Ambunten (Kiai Demang Singoleksono) dan Kiai Rausyi. Konon tulang belulang ikan yang dilempar oleh Kiai Rausyi, hasil tangkapan Kiai Macan Singoleksono dengan menebar jala ikan di halamannya, hidup lagi dan sering terlihat oleh sebagian orang di sumber air Pandi Ambunten. ”Kalau yang di sumber Pandi, kepala ikan utuh hanya dengan tulang badannya hingga ekor. Hingga saat ini banyak yang menyaksikan. Kisah yang sama dengan kisah Kiai Imam Pandian,” kata Pak Tayyib, asal Ambunten yang kini menjaga pasarean Pangeran Le’nan di Kebonagung, beberapa waktu lalu.

R B M Farhan Muzammily

KPU Bangkalan