Kiai Macan (Raden Demang Singoleksono), Ambunten, Sumenep; Ulama Bangsawan

×

Kiai Macan (Raden Demang Singoleksono), Ambunten, Sumenep; Ulama Bangsawan

Sebarkan artikel ini
Kiai Macan (Raden Demang Singoleksono), Ambunten, Sumenep; Ulama Bangsawan
TANPA SEMEN. Susunan batu bata yang menjelma pagar Asta Tinggi masih kokoh. Buah Tangan Kiai Macan Ambunten. (Foto/R. M. Farhan}

Sejarah Ambunten tidak bisa lepas dari nama besar Raden Demang Singoleksono atau yang dikenal dengan panggilan Kiai Macan. Salah satu tokoh legendaris keraton Sumenep, yang kini jejaknya sudah hampir pudar di benak warga, khususnya di kawasan pesisir utara itu. Padahal, sosok agung yang mengingatkan kita pada nama Ratu Sima di bumi Jawa ini, berperan besar dalam membentuk peradaban maupun proses  pemupukan Islamisasi  di wilayah mardikan tersebut.

ASAL-USUL

Secara genealogi, berdasarkan catatan kuna silsilah Kiai Macan yang disimpan salah satu keturunannya, Raden Imamiyah; Kiai Macan merupakan keturunan langsung dari Raden Ario Sutojoyo, salah satu Manteri keraton Sumenep yang berkedudukan di Sotabar.

“Raden Sutojoyo ini merupakan tokoh bangsawan dan ‘ulama yang disegani Raja dan pihak keraton, sehingga dipercaya menjaga pintu wilayah utara atau bagian pesisir keraton Sumenep,” kata Imamiyah.

Raden Sutojoyo adalah putra dari Pangeran Sosrodipuro atau Pangeran Saba Pele, Sampang. Saba Pele sekarang termasuk bagian dari kecamatan Blega, Bangkalan. Waktu itu memang istilah Bangkalan belum populer. Kawasan sebelah barat Pamekasan dikenal sebagai wilayah Madura Barat atau Sampang. Penguasanya berkedudukan di Arosbaya, lalu di Sampang sekarang, sebelum kemudian kembali ke Barat dengan nama baru, Bangkalan.

Pangeran Saba Pele adalah putra Kangjeng Kiai Adipati Putramenggolo alias Panembahan Sampang. Pasareannya di Petapan, Labang, Bangkalan. Panembahan Sampang ini ialah putra tertua Sunan Cendana alias Pangeran Purnojoyo, Kwanyar, Bangkalan. Sunan Cendana merupakan Waliyullah besar di Madura abad ke-15, sekaligus merupakan leluhur dan cikal bakal pesantren-pesantren besar di Madura juga sebagian besar Jawa Timur.

Ayah Sunan Cendana , Raden Khathib alias Pangeran Bandardaya adalah putra Pangeran Musa bin Sunan Drajat bin Sunan Ampel. Sedangkan ibu beliau, Ratu Gede Kedatun adalah putri Sunan Kulon bin Sunan Giri, Raja Giri Kedaton. Keluarga ini memiliki nasab dzahabiyah dan bersusur-galur pada bani Alawi di Hadhramawt, Yaman; golongan saadah dari jalur Sayyidina al-Husain bin Faathimah az-Zahra.

Nama Raden Sutojoyo, leluhur Kiai Macan kerap disebut hanya di catatan-catatan silsilah di Madura. Khususnya di wilayah Pamekasan dan Sumenep. Hal itu disebabkan kebanyakan pembesar keraton Sumenep dan ulama-ulama besar di masa kuna,  di kedua kabupaten tersebut merupakan keturunan Raden Sutojoyo.

“Raden Sutojoyo merupakan leluhur, kiai-kiai di Pamekasan, dan sebagian juga di Sumenep. Beberapa pesantren besar di Pamekasan, seperti Banyuanyar dan Bata-bata, tokoh-tokohnya merupakan keturunan beliau. Di Pamekasan yang terkenal ialah cucu Raden Sutojoyo, yaitu Nyai Agung Waru, ibu dari Kiai Bayan, salah satu waliyullah besar di Madura,” kata Kiai Barmawi Ma’lum, sesepuh pesantren Arongan, Daleman, Ganding, yang juga merupakan salah satu keturunan Raden Sutojoyo.

Konon, Nyai Agung Waru sampai saat ini tidak sedha (wafat). Beliau dikenal sebagai waliyullah perempuan di Madura. Dalam tingkatan awliya Allah, derajat beliau diistilahkan dengan sebutan Wali Rijalul Ghaib. Hanya saja, Nyai Agung Waru dari kalangan perempuan. Putra Nyai Agung Waru lainnya ialah Bindara Fata pendiri langgar (pesantren) Kodas, Ambunten. Bindara Fata merupakan leluhur kiai-kiai di Ambunten, Langgar (pesantren) Toros Kebunagung, dan lain-lain.

Sementara di bidang pemerintahan, salah satu putra Raden Sutojoyo yang bernama Raden Entol Anom menjabat sebagai Patih Sumenep, yang bergelar Raden Tumenggung Ario Onggodiwongso atau Ronggodiwongso.  Jabatan Patih ini turun pada putra beliau, yaitu Raden Demang Wongsonegoro. Raden Demang Wongsonegoro ini berputra Raden Wongsodirejo dan Raden Demang Singowongso, ayah Kiai Macan Ambunten.

Sementara putra Raden Sutojoyo yang lain, yaitu Raden Entol Bagus, menjadi Jaksa di Sumenep. Dan putra sulungnya, yaitu Raden Entol Janingrat (Arja Ningrat/Ario Ningrat), adalah ayah dari Nyai Agung Waru yang disebut di muka.

SALAH SATU ARSITEK ASTA TINGGI

TANPA SEMEN. Susunan batu bata yang menjelma pagar Asta Tinggi masih kokoh. Buah Tangan Kiai Macan Ambunten. (Foto/R. M. Farhan}
TANPA SEMEN. Susunan batu bata yang menjelma pagar Asta Tinggi masih kokoh. Buah Tangan Kiai Macan Ambunten. (Foto/R. M. Farhan}

Keberadaan kompleks Pemakaman Raja-raja Sumenep di Asta Tinggi desa Kebunagung, ternyata tidak bisa dilepaskan dari peranan Kiai Macan Ambunten. Dari cerita tutur warga Ambunten sejak masa kuna, Kiai Macan ini salah satu arsitek Kompleks Asta Tinggi Sumenep.

“Terutama bagian pagar. Bahkan pagar batu bata di sekeliling kompleks Asta Tinggi disusun Kiai Macan tanpa menggunakan perekat berupa campuran pasir dan semen berbahan putih telur ala jaman dulu,” kata Drs Moh Raheli, salah satu warga Ambunten, yang juga sekaligus suami dari Raden Imamiyah.

Sampai detik ini, pagar berupa susunan batu bata besar itu masih kokoh dan kuat. Bahkan kondisinya melebihi bangunan-bangunan baru setelahnya. “Ini merupakan salah satu kebesaran Allah yang diperlihatkan melalui Kiai Macan selaku waliNya,” kata Raden Bagus Ruska Pandji Adinda, Kepala Asta Tinggi kepada MataMaduraNews.Com.

Di wilayah pesisir utara itu, Kiai Macan menjabat sebagai Kepala Ambunten. Sejenis dengan wali kota di jaman sekarang. Karena waktu itu Sumenep masih berstatus pemerintahan keraton. Kiai Macan juga masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan keraton Sumenep, khususnya dari dinasti Yudhonegoro. Beliau juga disebut sebagai salah satu senopati atau panglima perang keraton.

“Beliau ini sering diminta pendapatnya oleh Raja di masanya,karena dikenal ‘alim dan kharismatik. Konon, Kiai Macan ini pernah dimintai tolong oleh raja Sumenep setiap ada permasalahan. Termasuk juga persoalan lintas negara. Dalam riwayat kuna Kiai Macan memiliki kendaraan berupa macan putih dan seekor ular besar. Beliau juga pernah memakai kendaraan terbang dari pelepah pisang atau pe-sapean pappa. Ada juga yang bilang naik ikan Mondung atau hiu. Begitu di antara kisah karomahnya,” cerita Raheli.

Pengaruh besar Kiai Macan ini yang selanjutnya menempatkan Ambunten sebagai wilayah mardikan (merdeka). Wilayah mardikan merupakan wilayah khusus yang dibebaskan dari pajak. Beberapa wilayah mardikan lainnya Sumenep seperti Batuampar, dan Barangbang.

Di kalangan masyarakat Ambunten, Kiai Macan juga dikenal memiliki karomah yang terus diingat hingga saat ini. Dulu, jika ada warga Ambunten kedatangan pencuri yang berhasil mengambil curiannya, warga yang kehilangan langsung mengadu ke Kiai Macan. Setelah itu Kiai Macan langsung mengambil kentongan atau tong-tong, lalu ditabuhnya sebentar. Tak lama kemudian, sang pencuri datang secara tidak sadar beserta barang curiannya. Akhirnya ketahuanlah pencurinya, dan barang curian tersebut kembali pada pemiliknya.

Sejak saat itu Ambunten aman dari segala kasus pencurian. Warga pun jadi tenang. Barang-barang berharga milik warga tidak pernah disembunyikan. Karena tidak ada satu orang pun yang berani mengambil kecuali pemiliknya. Kondisi Ambunten mengingatkan pada situasi di jaman Ratu Sima, kerajaan Kalingga. Di mana waktu itu meski barang berharga dibiarkan di jalanan, tak ada yang menyentuhnya kecuali sang empunya.

SITUS YANG TAK TERAWAT

TAK TERAWAT. Pasarean Kiai Macan di Kampung Guwa, Ambunten Tengah. (Foto/R. M. Farhan)
TAK TERAWAT. Pasarean Kiai Macan di Kampung Guwa, Ambunten Tengah. (Foto/R. M. Farhan)

Kiai Macan memiliki tiga putra-putri. Yang pertama bernama Raden Geluduk yang bergelar Raden Demang Singoleksono ke-II, mengganti ayahnya sebagai Kepala Ambunten. Beliau juga dikenal dengan nama Kiai Macan juga. Sehingga kemudian ditambah sepuh dan anom atau ke-I dan ke-II untuk membedakan keduanya. Kiai Macan ke-II ini juga dikenal mewarisi sir (keadaan) ayahnya. Beliau juga dikenal sebagai waliyullah. Bahkan sebagian orang lebih mengeramatkannya.

“Konon Kiai Macan ke-II ini kalau berdehem atau batuk saja suaranya terdengar dan menggetarkan bumi Ambunten,” kata Subhan Sya’rani, salah satu warga Ambunten lainnya.

Putra Kiai Macan lainnya ialah Nyai Zaina, isteri Kiai Mohammad Isma’il, cicit Bindara Fata, Kodas. Karena Kiai Macan ke-II tidak memiliki keturunan, maka Kiai Isma’il mengganti sebagai kepala Ambunten dengan gelar Kiai Demang Singoleksono. Sedang putra ketiga Kiai Macan ialah Kiai Kari. Di antara ulama Sumenep yang memiliki pertalian darah dengan beliau ialah Kiai Raden Wongsoleksono, Pandian (Imam pertama Masjid Jami’ Sumenep); dan Kiai Haji Aliwafa, Ambunten (Mursyid Thariqah Naqsyabandi Muzhhariyah).

RADEN GELUDUK. Pasarean Kiai Macan ke-II di Kampung Guwa, Ambunten Tengah. (Foto/R. M. Farhan)
RADEN GELUDUK. Pasarean Kiai Macan ke-II di Kampung Guwa, Ambunten Tengah. (Foto/R. M. Farhan)

Kiai Macan wafat dan dimakamkan di Ambunten. Saat ini pusaranya sudah tidak terawat. Padahal secara historis memiliki benang merah dengan kebesaran Sumenep masa lalu, dan merupakan salah satu situs budaya yang semestinya harus dilindungi. Makamnya terletak di kampung Guwa desa Ambunten Tengah.

“Kampung Guwa ini dulu kampungnya ular. Tidak ada satupun dulu orang yang berani. Tapi ya di sini memang dulu dhalemnya (rumahnya; red) Kiai Macan,” jelas Imamiyah.

Bagi kalangan khusus, menurut cerita warga sekitar, kini asta Kiai Macan ke-I dan ke-II juga sering digunakan orang untuk menyepi. Namun tentunya tergantung atau dikembalikan pada niat masing-masing peziaroh.

R B M FARHAN MUZAMMILY

KPU Bangkalan