Opini

Memahami Tingkah Laku Politisi

×

Memahami Tingkah Laku Politisi

Sebarkan artikel ini
Selamat Tinggal Kiai

oleh: Hambali Rasidi*

matamaduranews.com-TAHUKAH anda bahwa untuk mengetahui kebenaran tingkah laku seorang politisi, ibarat semut hitam di atas batu hitam di kegelapan malam.

Bisa anda fahami. Dalam kehidupan sehari-hari, seringkali kita menonton tivi, mendengar radio atau membaca berita politik di tanah air;  sepintas tampak kompak dan serius, eh secara instan balik arah. Diantara mereka yang semula satu bahasa perjuangan. Lamat-lamat beda putusan.

Anda bisa tebak sendiri. Sebelum Pilpres dan pasca Pilpres. Bagaimana sikap para politisi negeri ini.

Lantas bagaimana cara menilai kebenaran tingkah laku seorang politisi?

Dalam kacamata akademik, menilai sesuatu itu benar atau tidak benar, baik atau tidak baik, indah atau tidak indah,-masih butuh penyelidikan atau kajian lebih mendalam berdasar aksiologi (filsafat nilai).

Apa itu? suatu ilmu yang mempelajari hakikat nilai dalam kacamata filsafat. Dan untuk mengetahui hakikat nilai itu, perlu cara memperoleh pengetahuan sebelum menarik kesimpulan.

Di kancah intelektual, teori untuk mengetahui kebenaran dikenal istilah epistemologi. Suatu ilmu yang mempelajari kebenaran pengetahuan.

Hanya saja, kebenaran pengetahuan (epistemologi) yang dibangun intelektual Barat berdasar kesesuaian rangkaian pengertian, lewat konsepsi dan sensasi. Artinya, kebenaran pengetahuan itu tergantung dari sudut pandang sejauhmana individu itu menilai.

Seperti Filsuf Amerika, John Locke yang menilai kebenaran berdasar empirisme. Kebenaran pengetahuan yang dimaksud, berdasar pengalaman yang dilihat dan didengar.

Dia berdalih, pada dasarnya akal manusia sejenis buku catatan kosong. Sehingga akal masih tergantung pada proses inderawi. Locke menyebut akal sebatas penampungan yang bekerja pasif atas hasil penginderaan.

Temuan Locke, ditentang Rene Descartes, Filsuf Prancis yang tersohor dengan kaidah Cogitu Ergo Sum. Rene menyebut kebenaran pengetahuan hanya bisa diperoleh lewat rasionalisme.

Descartes ingin mencari kebenaran pengetahuan dengan cara meragukan semua hal. Dan ia menyimpulkan kebenaran pengetahuan sesuai dengan akal. Sehingga ia melontarkan istilah Cogitu Ergo Sum (karena berpikir diri manusia itu ada).

Langkah Rene juga ditolak oleh  Henry Bergson  yang menilai indera dan akal memiliki keterbatasan. Menurut Bapak Intuisionisme ini, indera dan akal hanya mampu menghasilkan kebenaran sepotong. Dengan metode intuisi, kata Filsuf kelahiran Belanda ini, manusia dapat menghasilkan pengetahuan yang utuh.

Itulah tiga aliran utama epistemologi Barat dalam memperoleh kebenaran pengetahuan.

Bagaimana cara Islam untuk mengetahui kebenaran?

Kebenaran pengetahuan versi Islam dikenal dengan epistemologi Islam. Yaitu sebuah kebenaran pengetahuan dalam Islam yang berpijak pada bayani, burhani dan irfani.

Bayani memperoleh pengetahuan berdasar pemahaman atas teks agama. Seperti al-Qur’an dan al-Hadits. Meski manusia memiliki akal, bukan berarti teks agama (al-Qur’an dan al-Hadis) menyesuaikan keinginan akal manusia. Rasio atau akal sebatas memahami teks sebagai pengetahuan jadi untuk dipraktekkan.

Sedangkan pengetahuan burhani berdasar kekuatan rasio. Secara istilah, pengetahuan burhani merupakan pengetahuan definitif yang bersandar pada kekuatan akal. Melalui kombinasi sistem rasio dan empiris atas pengetahuan sebelumnya, akal mampu memproduksi pengetahuan.

Sementara, pengetahuan irfani tidak berdasar atas teks agama (bayani) juga tidak berdasar kekuatan rasio, melainkan pada cara kasyf. Suatu pengetahuan yang diperoleh lewat olah ruhani dengan kesucian hati. Dengan harapan, Allah Swt melimpahkan pengetahuan langsung. Sehingga tersingkap rahasia-rahasia Allah Swt.

Kata irfan memiliki akar kata yang sama dengan ma’rifat. Dalam kajian tasawuf, individu yang meraih makrifatullah (mengenal kepada Allah) teristilah mukasyafah. Yaitu orang yang memiliki makna penyingkapan tabir (hijab) yang selama ini menghijab dirinya. Ketika hijab tersingkap, secara otomatis dapat sebuah dunia yang haq (agung).

Dalam ilmu tasawuf, pengetahuan irfani dibangun lewat olah batin. Meliputi, olah hati, rasa dan ruh secara berjenjang. Sehingga pengetahuan yang diperoleh bukan berdasar penyelidikan sistem logika dan teks. Tapi berasal dari  pancaran Nur Ilahi (Cahaya Tuhan) yang dipantulkan lewat hati paling dalam.

Terupdate muncul epistemologi versi politisi. Maksudnya? Kebenaran pengetahuan itu dibangun atas dasar konsesi para politisi, apakah perwujudan di legislatif atau  di ruang-ruang partai politik (parpol).

Hanya saja, sistem pengetahuan yang dibangun para politisi ini, masih absurd alias remang-remang.  Kata-katanya ambigu. Tidak heran, banyak orang menilai kosa kata yang keluar dari bibir politisi, hanya dirinya yang tahu. Sebab, arah makna kalimat yang dimaksud tidak jelas.

Hal ini seperti menjadi ciri khas seorang politisi ulung. Gaya bahasa yang terlontar sengaja tidak memperjelas arah makna. Agar lawan sulit menerka langkahnya. Sehingga muncul kaidah kosakata multitafsir. Apakah ia (politisi) berbicara atas nama empiris (fakta) atau cita-cita (idea) konstituen? atau sebaliknya.

Sepintas, bahasa yang diungkap tampak tulus, tapi seketika abstrak dan absurd.

Memperjelas kebenaran fatwa politisi, ibarat semut hitam di atas batu hitam di kegelapan malam. Praktis, tidak bisa diraba dan dilihat.

Wallahu wa‘lam

*Penulis pernah kuliah di Magister Filsafat Islam.

 

KPU Bangkalan