Religi

Mengenal Sosok KH R As’ad Syamsul Arifin

×

Mengenal Sosok KH R As’ad Syamsul Arifin

Sebarkan artikel ini
Mengenal Sosok KH R As'ad Syamsul Arifin
KH R AS'AD SAMSUL ARIFIN

Nama KH R As’ad Syamsul Arifin sudah tidak asing. Tahun 2016, KH R As’ad Syamsul Arifin dinobatkan sebagai salah satu Pahlawan Indonesia oleh Presiden Joko Widodo. Gelar ini diberikan atas berbagai jasa yang ditorehkan kepada bangsa negara RI.

MataMaduraNews.com-KH As’ad Syamsul Arifin dianugerahi gelar pahlawan nasional berdasar Keputusan Presiden (Kepres) RI Nomor 90/TK/Tahun 2016 pada 3 November 2016. Butuh puluhan tahun perjuangan untuk menyematkan pahlawan nasional untuk sang Kiai As’ad.

Usulan gelar pahlawan Kiai As’ad dilakukan sejak 2014 lalu. Jauh sebelumnya, usulan pengajuan gelar pahlawan Kiai As’ad pernah dilontarkan KH Ahmad Siddiq, Rais Am PBNU pada hari kedua setelah Kiai As’ad wafat pada 1990.

Tahukah siapa sosok KH R As’ad Syamsul Arifin? Putra pendiri Ponpes Salafiyah Syafi’iyah, Sukorejo, Situbondo ini merupakan cicit dari pendiri Pondok Pesantren Kembang Kuning yang berlokasi di Desa Lancar, Kecamatan Larangan, Pamekasan, Madura, Jatim. Kiai Mahalli Nung Tenggi merupakan kakek buyut Kiai As’ad yang mendirikan Ponpes Kembang Kuning di Tahun, 1619 M.

Kakek Kiai As’ad adalah Kiai Ruham. Neneknya bernama Nyai Nur Sari (Khotijah). Sedang ayahnya adalah Ibrahim yang populer dengan nama KH R Syamsul Arifin, pendiri Ponpes Salafiyah Syafi’iyah, Sukorejo, Situbondo.

Kiai As’ad lahir di perkampungan Syi’ib Ali, dekat Masjidil Haram, Makkah, Arab Saudi, pada 1897. Beliau wafat di usia ke-93 pada 4 Agustus 1990 di Situbondo, Jawa Timur. Jabatan terakhir di PBNU adalah Dewan Penasihat (Musytasar) Pengurus Besar NU.

Kiai As’ad; Mengalir Darah Bangsawan

Kiai As’ad tercatat sebagai keturunan bangsawan Sumenep. Ibu Kiai As’ad (Nyai Nur Sari) adalah keturunan Bindara Saud, putra Kiai Abdullah, Batuampar, Guluk-Guluk, Sumenep. Bindara Saud menjadi Raja Sumenep yang ke 29 setelah menikah dengan putri Raja Sumenep yang bernama Raden Ayu Tirtonegoro. Dari perkawinan itu, Bindara Saud mendapat gelar Tumenggung Tirtonegoro. Bindara Saud memimpin Sumenep sejak tahun 1750 – 1762 M.

Ibu Kiai As’ad bernama Maimunah binti KH Muhammad Yasin, keluarga dekat Kiai Kholil, Bangkalan. Pada tahun 1890 M (hari dan bulan beserta tanggalnya tidak ditemukan), KH R Syamsul Arifin menikah dengan Maimunah di Makkah. Dari perkawinan tersebut, lahir dua anak laki-laki. Kiai As’ad dan Kiai Abdurrohman.

Ketika Kiai As’ad berumur 6 Tahun, secara mengejutkan Kiai Syamsul mengajak istri dan Kiai As’ad untuk pulang ke kampung halaman di Pesantren Kembang Kuning, Pamekasan. Sedangkan, Kiai Abdurrahman-adik Kiai As’ad- yang kala itu, masih berumur 4 tahun- dititipkan kepada Nyai Salkah, saudara sepupu Nyai Maimunah, yang mukim di Makkah.

Kiai Syamsul terbilang lama mengembara. Sejak usia 12 tahun, Kiai Syamsul sudah mengembara dari pesantren ke pesantren. Pondok pesantren kali pertama dituju adalah Ponpes Sidogiri, Pasuruan. Dipondok pesantren Sidogiri inilah  Kiai Syamsul menimpa ilmu hingga mengabdi sebagai ustadz. Sekian tahun di Sidogiri, Kiai Syamsul pindah ke Ponpes Langitan, Tuban. Setelah itu di Pesantren Bangkalan dibawah asuhan langsung Syechona Kholil. Kemudian mondok ke Mekkah bersama putra mahkota Pondok Sidogiri, Kiai Nawawi.

Tidak ada keterangan rinci tentang keberangkatan ke Makkah. Kecuali penegasan bahwa Kiai Syamsul mukim di Mekkah selama 40 tahun. Di Makkah, Kiai Syamsul bertemu Nyai Maimunah binti Kia Haji Muhammad Yasin, perempuan asal Bangkalan. Pertemuan disaat musim haji itu, tahun 1890 M,  Kiai Syamsul menikah dengan Nyai Maimunah di Makkah.

Di kembang kuning, Kiai Syamsul ikut membantu Kiai Ruham ngajar di Pondok Kembang Kuning. Beberapa tahun berikutnya, Nyai Maimunah wafat.  Ibu Kiai As’ad ini, dimakamkan di belakang Masjid Jami’ Tallang, sekitar 300M sebelah timur Pondok Kembang Kuning.  Kiai Syamsul kemudian menikah kembali dengan Nyai Siti Saidah, janda dari  Kiai Syarkowi— pendiri Pondok Pesantren, Guluk-Guluk, Sumenep.

Sekitar lima tahun di Kembang Kuning, Kiai Syamsul teringat pesan gurunya saat di Makkah. Salah satu pesan gurunya adalah agar ikut mendirikan pondok pesantren untuk mengembangk an Islam.

Kiai Syamsul meminta restu kepada ayahandanya (kiai Ruham) untuk merantau ke pulau Jawa. Permohonan Kiai Syamsul dikabulkan. Bersama sang isteri, Nyai Siti Saidah menyebarangi laut menuju Pulau Jawa melalui pelabuhan Talang Siring, Pamekasan. Perahu yang membawa Kiai Syamsul dan keluarga akhirnya sandar di Pelabuhan, Panarukan, Situbondo .

Dari Pelabuhan Panarukan,  Kiai Syamsul mengembara ke arah timur hingga menetap di sebuah pesantren di Desa Sambi Rampak, Situbondo. Di pesantren asuhan Kiai Sambi ini, Kiai Syamsul bermukim agak lama sambil mengajar agama.

Di tempat itu, Kiai Syamsul bertemu dengan Habib Asadullah. Kiai Syamsul dinasihati Habib Asadullah agar kembali lagi ke Makkah. Nasihat habib dituruti. Beberapa tahun di Makkah, Kiai Syamsul kembali pulang ke Kembang Kuning, Pamekasan.

Beberapa waktu di kembang kuning, Kiai Syamsul kembali menyebrang ke Situbondo bersama Nyai Saidah dan Kiai As’ad. Tiba di Situbondo, Kiai Syamsul sowan ke pengasuh Ponpes Sambi Rampak. Kiai Syamsul juga sowan ke Kiai Nahrawi.  Di rumah Kiai Nahrawi, Kiai Syamsul kembali bertemu dengan Habib Asadullah. Dari pertemuan itu, Kiai Syamsul diarahkan lokasi Suko Beloso, belakangan dikenal dengan Sukorejo untuk berdakwah dalam menegakkan agama Islam.

Di tempat itu, Kiai Syamsul harus membabat hutan sebelum mendirikan gubuk dan mushalla. Tanah Sukorejo, Asembagus saat itu masih berupa hutan belantara yang terkenal anker dan dihuni oleh banyak binatang buas serta makhluk halus. Dari tanah Sukorejo, Asembagus, Situbondo, nama KH R As’ad Syamsul Arifin berkibar seantero nusantara dan dunia.

Redaksi; dari berbagai sumber

 

KPU Bangkalan