Budaya

Mengenal Tradisi Warga Sumenep Menjelang Ramadlan

×

Mengenal Tradisi Warga Sumenep Menjelang Ramadlan

Sebarkan artikel ini
Mengenal Tradisi Warga Sumenep Menjelang Ramadlan
Tradisi Ter-ater. (Foto Istimewa/Antara)

MataMaduraNews.comSUMENEP-Bulan Ramadlan merupakan bulan yang paling istimewa bagi umat Islam. Berbagai peristiwa penting agama yang dibawa Insanul Kamil, Sayyidina wa Habibina Muhammad SAW ini terjadi di bulan Ramadlan. Salah satunya ialah turunnya wahyu pertama sekaligus turunnya rujukan terbesar umat Islam, al-Quranul Karim. Tak hanya itu, berbagai keutamaan dalam setahunnya, terutama yang terkait dengan ladang pahala juga hampir seluruhnya terkumpul dalam Ramadlan.

Dalam perkembangan lebih lanjut, menyambut kedatangan Ramadlan menjadi sebuah tradisi yang kemudian mengakar dalam kehidupan umat Islam. Di berbagai belahan bumi, tak terkecuali di Indonesia yang majemuk masyarakatnya, tradisi menyambut datangnya bulan Ramadlan menjadi semacam hukum yang tak tertulis. Meski berbeda-beda, tapi esensinya sama; mengikuti sunnah Rasul SAW dalam memuliakan Ramadlan. Seperti di Sumenep Madura  misalnya, ada beberapa tradisi penting menyambut bulan seribu bulan ini. Baik yang masih terus dilestarikan maupun yang sudah mulai terkikis arus zaman.

 

Ter-Ater atau Rebba

Dalam hal kuliner, Sumenep memang kaya ragam dan kekhasan. Warga Sumenep juga begitu antusias menyambut berbagai momen dengan masakan khas. Sehingga tak heran jika menjelang masuk bulan Ramadlan maupun di bulan Ramadlan, kegiatan masak-memasak berjam terbang tinggi. Namun bedanya, kegiatan ini lebih sarat pada aksi sosial. Tradisi yang biasa dikenal sebagai budaya ter-ater atau arebba menjelang masuk bulan Ramadlan.

”Biasanya warga itu memasak menu makanan yang selanjutnya diberikan pada tetangga sekitar, sanak famili, kaum fakir miskin, maupun anak yatim,” kata salah satu warga Sumenep asal desa Pamolokan, Deny Fahrurrazi, beberapa waktu lalu.

Ter-ater atau arebba ini sejatinya bukan istilah yang baku. Istilah lainnya ialah selamatan atau dalam bahasa agama ialah shadaqah yang diadopsi menjadi kata sedekah. Tradisi ini terus hidup hingga saat ini dalam berbagai tingkat masyarakat. Sehingga tak salah, jika kesannya seperti tukar-menukar makanan antar warga suatu kampung atau desa.

Di tempat lain di belahan bumi Sumenep, mekanisme arebba yang berbeda merupakan hal biasa. Seperti di kawasan pedesaan misalnya. Masyarakat di sana memiliki teknis tersendiri.

”Kalau di desa saya, arebba itu dengan memasak makanan yang enak dan diantar ke mushalla-mushalla,” kata Nurhasanah, warga Desa Pore, Kecamatan Lenteng.

 

Bersih-Bersih Rumah dan Tempat Ibadah

Dalam menyambut Ramadlan, warga Sumenep begitu semarak. Sehingga untuk melihat pemandangan kolektif memperbarui keadaan tempat tinggal atau rumah, hanya bisa saat menjelang masuknya bulan suci ini.

”Ya, seperti mengecat, menambal tembok yang pecah atau retak, atau juga termasuk mengganti properti rumah yang sudah rapuh, dan lain sebagainya,” kata Dafifah, warga Desa Ambunten Tengah, Kecamatan Ambunten pada Mata Madura.

Pemandangan serupa juga bisa ditemui di tempat-tempat ibadah. Seperti mushalla, langgar, dan apalagi masjid. Lokasi-lokasi yang di saat bulan Ramadlan begitu dipadati oleh warga, terutama di saat-saat menjelang buka puasa, shalat tarawih, atau pasca sahur.

***

Tak hanya laku shadaqah, bersih-bersih rumah dan tempat ibadah, beberapa tradisi lainnya menyambut Ramadlan di Sumenep begitu kompleks. Seperti misalnya juga tradisi nyekar di Kamis sore atau Jum’at pagi keempat di bulan Sya’ban ini. Atau istilah Maduranya, Juma’at di-budi. Dan tak hanya nyekar, tak jarang ditemui peziarah yang memperbaiki, atau memperbagus, bahkan memugar kijing makam leluhur atau sanak saudaranya.

Tradisi lain ialah menambah frekuensi ibadah sunnah. Seperti berdzikir, mengaji al-Quran, atau puasa sunnah. Khusus puasa sunnah, umumnya juga waktu jelang Ramadlan dimanfaatkan bagi umat yang memiliki hutang puasa di tahun sebelumnya.

Di samping itu, juga ada kebiasan warga yang berakar pada tradisi kuna yang kini sudah mulai luntur. Padahal, sedikitnya ada dua tradisi rutin yang dulu bahkan biasa dijalankan berbagai tingkat masyarakat, mulai kelas bawah hingga kalangan bangsawan, priyayi, dan para ‘ulama di Sumenep. Berikut di antaranya.

 

Cando’

Istilah cando’ atau acando’ bagi sebagian warga Sumenep memang kurang begitu populer. Bahkan bagi generasi kini istilah ini tergolong asing. Cando’ atau bekam merupakan salah satu tradisi menjelang Ramadlan yang sudah hampir terlupakan.

Padahal, cando’ atau bekam pernah dilakukan Rasulullah SAW dan para shahabat Beliau SAW. Bekam yang bahasa arabnya hijamah, dari asal kata al-hajmu yang maknanya al-mash, yaitu menyedot. Salah satu terminologi fiqh memaknai bekam sebagai upaya menyedot darah kotor dalam tubuh manusia dengan menggunakan alat bekam yang khusus, tanpa melalui pembedahan.

”Di era kuna, cando’ merupakan kebiasaan para pembesar keraton, bahkan juga raja,” kata Deny Fahrurrazi, pada Mata Madura.

Tujuannya jelas seperti tujuan bekam pada umumnya yaitu untuk mengeluarkan darah kotor, sehingga bisa lebih menyehatkan tubuh. Meski anjuran bekam itu setiap bulan, namun yang marak, dahulu bekam menjadi kebiasan banyak kalangan kala jelang masuknya bulan yang memiliki lailatul qadar ini.

 

Pijat

Vitalitas tubuh memang menjadi salah satu syarat utama agar bisa menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadlan. Sehingga, tak jarang ditemui orang yang terpaksa membatalkan puasanya karena alasan sakit atau kurang fit. Oleh karenanya, sebagian besar umat Islam di Sumenep, membiasakan dirinya berpijat atau aoro’ untuk melancarkan peredaran darah, maupun melemaskan otot atau urat yang kaku.

”Ya, memang ada juga yang menyepelekan pijat ini. Padahal, setahu saya sejak dulu biasa dijalani orang-orang kala mau masuk bulan puasa,” kata Bu’ Emmat, warga Desa Tambak Agung Ares, Kecamatan Ambunten.

Menurut nenek berusia hampir tujuh puluh tahun yang mengontrak sebuah rumah di sebuah gang sempit di pojok kota Sumenep tersebut, kebiasaan pijat banyak membantu vitalitas tubuh. Sehingga efeknya, tubuh bisa lebih segar dan lebih rileks saat berpuasa.

”Manfaatnya tidak sedikit. Itulah mengapa hal ini biasa di kalangan orang-orang kuna, terutama kalangan priyayi,” tutup perempuan empat anak yang berprofesi sebagai tukang pijat itu.

R B M Farhan Muzammily

KPU Bangkalan