Opini

Pemilu Dan Diamnya Orang-Orang Baik

×

Pemilu Dan Diamnya Orang-Orang Baik

Sebarkan artikel ini
Pemilu Dan Diamnya Orang-Orang Baik
Lia Eka Oktafia Murmiasih

Oleh: Lia Eka Oktavia Murmiasih

Pemilihan Umum merupakan syarat utama demokrasi. Meski hal itu jelas tak berdiri sendiri. Kalau harus bicara demokrasi maka akan panjang, dan lama. Meski kata tak berbatas, namun tulisan ini jelas bukanlah buku apalagi novel. Sehingga tentu perlu pembatas agar tidak semakin melebar dan melenceng dari judul tulisan.

Di Indonesia, masyarakat sejak merdeka sudah mengenal pemilu. Meski teknis pelaksanaannya jelas tak sama dari masa ke masa. Masa orde lama beda dengan orde baru, meski tidak jauh. Setelah penguasa orde baru lengser keprabon, mekanisme, sistem dan wajah pemilu berubah lagi. Ada yang mirip dengan orde lama. Seperti jumlah partai yang membengkak. Tidak tiga lagi seperti masa orba.

Kran demokrasi tidak hanya terbuka penuh, malah saluran keluarnya tambah lebar. Semua orang bebas berekspresi, yang lantas melahirkan pemilihan umum langsung perkepala. Tentu itu baik. namun setiap perubahan jelas memiliki dampak dan konsekuensi. Apalagi hal-hal baru yang tidak terbiasa itu mudah-mudah-sulit. Mudahnya karena setiap warga yang normal yang sekaligus punya hak pilih sudah banyak yang pintar. Akses informasi dan sosialisasi lebih mudah dan praktis. Namun iya, mendengar belum tentu hafal. Dan hafal pun belum tentu paham. Rumus sederhananya begitu.

Sehingga apa, bicara kesiapan, tentu tak semuanya siap. Ketika begitu malah banyak yang bingung. Tak sedikit dari proses pelaksaan pemilu langsung yang berbuntut persoalan. Persoalan-persoalan yang lantas berbuntut lebih parah lagi. Di antaranya bosan dan apatis.

Bicara bosan, kadang bukan karena tidak menarik dan itu-itu saja. Tidak paham dan merasa tidak ada gunanya berpartisipasi dalam pemilu juga bisa jadi menyebabkan bosan. Sehingga muncul ucapan, “ah, cuma satu suara saja tak diberikan apa dampaknya?”

Masalahnya, iya jika hanya satu atau dua atau tiga orang yang berpikir begitu. Kalau sampai satu kampung? Iya kalau Cuma satu atau dua kampung? Kalau sampai satu desa. Pemikiran itu ibarat virus, menjangkit dan mempengaruhi. Itu sebabnya tak sedikit warna golput dalam beberapa pemilu langsung. Bahkan hingga saat ini.

Belum lagi dengan urusan ekonomi. Soal kerjaan, dagangan, kantoran, meski untuk karyawan negeri swasta diliburkan. Namun tidak bagi petani dan pedagang. Sehingga yang berperan nantinya hati nurani. Kadang yang terbersit, “dapat apa saya? Bukankah lebih baik mencangkul sawah atau jualan di pasar, jelas mendapat untung?”

Beberapa suara arus bawah memang banyak yang berfikir sederhana, meski mungkin kurang tepat. Namun itu merupakan sebab-akibat. Seperti kita tahu, praktek suap, politik uang, politik beras, sembako dan lainnya kerap mewarnai pesta rakyat. Hal itu lantas mempengaruhi pola pikir pemilih, khususnya di akar rumput. Ketika pengawasan ketat, politik kotor ditekan, maka ada semacam rasa enggan bagi para pemilih yang mungkin kerap “dibujuk” oknum dengan money politics misalnya. “Ya, kalau gak ada ‘berkah’nya, ya saya gak akan milih.” Kira-kira begitulah.

Lalu bagaimana solusinya? Sistem pemilihan umum langsung jelas bukan sistem yang berkonsep minimum, tapi sudah maksimal. Aturan main segala tetek-bengekna sudah ok! Tapi kenapa masih saja belum maksimal khususnya dalam menekan angka golput. Menurut hemat penulis yang perlu dibenahi adalah SDM-nya saat ini. Stop janji palsu, stop money politics, stop apatis dan stop semua hal yang bicarakan untung rugi.

Salah satu tokoh besar Islam berkata, bahwa dunia makin lama makin rusak bukan karena tambah banyaknya orang jahat, tapi diamnya orang-orang yang baik. Jadi stop di sini bukan dalam arti harus membersihkan semua orang yang bermain tidak baik dalam pemilu, karena hal itu mustahil. Setiap orang yang baik dan bersih diharapkan perannya dengan maksimal, bukan diam. Karena pemangku kebijakan itu merupakan jabatan politik, yang jika orang-orang baik diam, maka mereka yang tidak baik akan mengisinya.

*)Penulis ialah aktivis yang tinggal di Sumenep

KPU Bangkalan