Opini

Pendidikan; Langkah Strategis Hadapi MEA

×

Pendidikan; Langkah Strategis Hadapi MEA

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi/www.slideshare.net
Ilustrasi/www.slideshare.net

Oleh: Nurul Aini*

12376849_985008301535404_2790738224728877314_n - Copy

Kekhawatiran masyarakat Indonesia dalam menghadapi MEA sudah tidak berlaku. Faktanya, kini Indonesia sudah mengimplementasikan program liberalisasi tersebut dan masyarakat tidak dapat berbuat apa-apa kecuali menyiapkan diri untuk ikut berkiprah di dalamnya. Sejumlah masyarakat kecil barangkali masih mempertanyakan dampak dan perubahan apa yang terjadi setelah dibukanya kran MEA. Isu-isu mengenai aliran investasi, masuknya tenaga terampil ke dalam negeri, pesatnya ekspor-impor belum dirasakan oleh rakyat kecil. Isu strategis tersebut tidak mampu mengalahkan isu naiknya harga sembako yang terus melambung tinggi, korupsi, dan kekhawatiran petani menghadapi dampak el nino.

Seolah-olah seminar, diskusi, maupun perbincangan lain terkait MEA yang begitu getol sejak Desember tahun lalu hilang begitu saja. Berbagai dampak strategis MEA masih hanya dirasakan oleh para pengusaha dan kalangan elite. Akan tetapi, hal itu bukan alasan untuk berhenti meningkatkan kompetensi masyarakat Indonesia dalam berkiprah di MEA. Tidak dapat dielakkan, lima sampai sepuluh tahun ke depan, masyarakat akan merasakan semua dampak itu. Pembangunan infrastruktur dan pengembangan usaha mikro kecil dan menengah yang merupakan salah satu komponen utama dalam MEA akan sangat dirasakan oleh rakyat kecil.

Sejak diputuskan pembuatan komunitas di ASEAN pada Concord II di Bali tahun 2003 dan dilanjutkan KTT tahun 2007, negara-negara tetangga juga merasakan kekhawatiran di balik optimismenya masing-masing. Kondisi sumber daya manusia dan sumber daya alam mereka tidak sesiap Indonesia. Tak heran bila Indonesia menjadi sorotan utama dalam MEA. Bagi tenaga kerja, upah minimum yang diberlakukan di Indonesia tertinggi ketiga di ASEAN. Bagi pengusaha, Indonesia memiliki bonus demografi terbanyak di ASEAN dan merupakan lahan basah untuk dijadikan sasaran produk. Begitu juga dengan kekayaan alam Indonesia; kelapa sawit masih menjadi hasil pertanian utama yang memegang peran penting di bidang ekspor.

Potensi-potensi yang dimiliki Indonesia itu menjadi “pedang” bagi rakyatnya. Seperti sebuah pendulum, jika sebuah pedang dipegang oleh orang yang baik, tentu pedang itu juga akan digunakan dengan dan pada hal-hal baik. Sebaliknya, bila pedang dipegang oleh orang jahat, tentu penggunaannya pun mengarah pada hal-hal tidak baik. Oleh karena itu, pendidikan menjadi komponen utama untuk ditanamkan kepada masyarakat agar dapat menggunakan pedang atau potensi Indonesia tersebut dengan baik.

Belajar ke negeri tetangga, sejak tahun 2000 atau tiga tahun sebelum dibuat keputusan program MEA pada Concord II, Filipina telah menjadikan bahasa Indonesia sebagai mata kuliah pilihan bagi mahasiswa kedokteran. Pada saat itu, tindakan pemerintah Filipina tersebut barangkali seperti kisah nabi Nuh yang membuat perahu di gunung. Tapi, kini semua orang menyadari betapa revolusioner pemikiran pemerintah negara tetangga, dan betapa jauhnya mereka mempersiapkan diri untuk menghadapi MEA. Begitu juga dalam bidang tenaga kerja, Kepala Disnakertransduk Jawa Timur mencatat bahwa sebanyak 4.000 tenaga kerja asing telah masuk ke Jawa Timur. 60 persen dari mereka berasal dari Tiongkok dan 40 persen lainnya dari Myanmar dan Thailand (Koran Madura, 20/1/2015).

Celakanya, tenaga kerja asing rela dibayar di bawah UMK. Hal ini merupakan dampak persaingan tenaga kerja yang akan segera dirasakan oleh masyarakat Indonesia. Perusahaan-perusahaan akan mempertimbangkan cost produksi dalam menerima tenaga kerja. Tentu perusahaan akan berpikir rasional, jika ada tenaga kerja asing yang siap bekerja meski dibayar di bawah UMK dan kompetensi mereka tidak kalah dengan tenaga kerja domestik, perusahaan tidak akan ragu mengambil tenaga kerja asing tersebut. Dampaknya, tenaga kerja domestik akan menganggur dan nilai tukarnya akan terus merosot jika tidak meningkatkan kualitas.

Untuk itu, Kementerian Ketenagakerjaan dan Kementerian Pendidikan memiliki peran vital dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Jumlah penduduk yang terus meningkat akan menjadi peluang jika daya saingnya tinggi. Optimalisasi pendidikan informal dan non formal merupakan hal penting yang harus dilakukan oleh Kementerian Pendidikan. Karena, lembaga-lembaga formal tidak mungkin mampu menampung penduduk yang terus bertambah. Melalui lembaga-lembaga pendidikan non formal, masyarakat bisa mendapatkan pengetahuan berbasis praktik atau keterampilan, bukan teori, agar mereka siap terjun dan berkiprah di MEA.

Menteri tenaga kerja dan menteri pendidikan harus bergandengan untuk hal ini. Berdasarkan data BPS, penduduk yang bekerja masih didominasi oleh masyarakat yang berpendidikan sekolah dasar. Sementara pengangguran yang berlabel sarjana terus meningkat seiring meningkatnya jumlah penduduk. Pendidikan berbasis keterampilan atau praktik akan menjadi solusi penting untuk mengatasi persoalan ini.

Dalam lembaga formal, pendidikan semacam itu memang sudah dilaksanakan di SMK/SMEA dan di program studi-program studi ilmu terapan. Akan tetapi, lembaga-lembaga formal masih mengikat umur dan biaya yang sulit dijangkau oleh masyarakat kecil. Oleh karena itu, lembaga-lembaga kursus dan pelatihan yang legitimate dapat dijadikan alternatif untuk menampung masyarakat yang tidak dapat masuk ke dalam lembaga formal. Sertifikat dari lembaga non formal diharapkan dapat disejajarkan dengan ijazah dari lembaga formal. Sehingga setiap masyarakat, baik yang mengikuti pendidikan di lembaga formal maupun di lembaga non formal, memiliki kesempatan yang sama untuk bekerja.

*Mahasiswa Prodi Manajemen Universitas Wiraraja Sumenep, sekaligus Aktivis Roemah Ilmoe Sumenep.

KPU Bangkalan