Pilkada Sumenep 2020; Bagaimana Adagium, Bupa’, Babu’, Guru, Rato? 

×

Pilkada Sumenep 2020; Bagaimana Adagium, Bupa’, Babu’, Guru, Rato? 

Sebarkan artikel ini
Abdul Gaffar Karim
Abdul Gaffar Karim

matamaduranews.com-SUMENEP-Dalam mainstream kebudayaan Madura, pengaruh Bupa’ Babu’ Guru Rato masih lestari di semua lini kehidupan masyarakat. Terkhusus Pamekasan dan Sumenep. Jika daerah Bangkalan dan Sampang, ada pengaruh Blater yang menjadi simpul tambahan selain istilah di atas.

Nah…apakah adagium, Bupa’, Babu’, Guru, Rato  tetap berlaku dalam kontestasi Pikada Sumenep 2020?

Mata Madura berhasil wawancara dengan Abdul Gaffar Karim melalui aplikasi WhatsApp, Rabu (4/7/2018).Kaprodi Politik dan Pemerintahan FISIPOL UGM ini, telaten melayani wawancara via WhatsApp.

Pengamat politik UGM asal Sumenep ini, menyebut istilah Bupa’, Babu’, Guru, Rato  itu sangat komunitarian. Sementara,  Pemilu dan Pilkada cenderung libertian. Prinsip one person, one vote, one values dalam pemilu sangat liberal. Ditambah, kehidupan masyarakat Madura yang terus bergerak dan berubah.

Solusinya? Lulusan Flinders University di Adelaide ini, menawarkan nilai Bupa’, Babu’, Guru, Rato jangan dipaksa lestari ke semua lini kehidupan. Nilai itu, katanya, cukup diterapkan sebagai practical values di semua aspek kehidupan. Dan menjadi guiding principle sebagai orientasi dasar masyarakat Madura.

Berikut hasil wawancara:

Ada yang menilai, adagium Bupa’ Babu’ Guru Rato sudah tidak lagi ampuh dalam Politik di Madura. Menurut Prof Gaffar?

Politik elektoral, khususnya pilkada langsung, adalah fenomena sangat baru bagi masyarakat kita. Kehadirannya mendisrupsi hubungan-hubungan sosial yang sebelumnya ada, dan menghadirkan hubungan-hubungan sosial baru yang sebelumnya mungkin tidak ada.

Dalam kondisi seperti itu, akan terbentuklah nilai-nilai baru dalam masyarakat, yang berbeda dari nilai-nilai lama.

Dalam konteks seperti inilah kita bisa memahami mengapa nilai bupa’ babu’ guru rato itu mungkin tak lagi ampuh. Pola kepatuhan dalam nilai bupa’ babu’ guru rato itu sangat komunitarian. Sementara itu Pemilu dan Pilkada kita cenderung libertian. Prinsip one person, one vote, one values dalam pemilu kita sangat liberal. Individu memperoleh ruang-ruang kebebasan yang khas demokrasi liberal. Karena itu perilaku mereka dalam memilih kandidat akhirnya tak bisa lagi diprediksi hanya berdasarkan nilai-nilai dan basis sosial lama.

Apakah ada efek sosial keagamaan  dari lunturnya nilai Bupa’ Babu’ Guru Rato dalam kehidupan sehari-hari orang Madura?

Atau mungkin malah terbalik: meredupnya nilai bupa’ babu’ guru rato itu adalah efek dari bergesernya kehidupan sehari-hari orang Madura. Masyarakat pada intinya selalu bergerak dan berubah. Nilai dasar bisa tetap berjalan, sejauh itu sesuai dengan kebutuhan terkini dalam kehidupan masyarakat.

Heheh….Bisa dijelaskan, apa yang dimaksud kebutuhan terkini masyarakat Madura?

Yang paling jelas berubah adalah pola pencaharian. Masyarakat kian terserap ke dalam pola-pola pekerjaan modern, seperti menjadi pegawai negeri, pegawai swasta, berdagang, dsb.

Masyarakat petani bergeser ke menjadi masyarakat pra-industri. Nilai yang semula valid di masyarakat petani yang agraris menjadi tidak begitu valid di masyarakat baru itu. Kita ingat bahwa nilai bupa’ babu’ guru rato pernah dicoba diinterpretasi ulang. Sebab tokoh rato secara harfiah sudah tidak ada. Nilai itu lahir dalam relasi feodal lama yang berakar di kultur masyarakat agraris. Tapi re-interpretasi itu menyediakan ruang yang sangat sedikit. Kalau re-interpretasi atas nilai lama itu kurang memuaskan, masyarakat akan memegang nilai baru, sambil mungkin tetap menjadikan nilai lama itu sebagai rujukan jargonis.

Nah, masyarakat pra-industri di Madura mulai memegang nilai-nilai individualisme dan kebebasan berpikir. Istilah bupa’ babu’ guru rato tak lagi menjadi rujukan politik mereka. Apalagi dalam konteks Pilkada, mereka sebenarnya sedang memilih sesuatu yang mirip dengan posisi rato di masa silam.

Oh, gitu. Tapi dalam konteks tertentu, kepatuhan terhadap Bupa’ Babu’ Guru Rato masih melekat di komunitas tertentu di Madura. Sedangkan kepatuhan rato, barangkali masyarakat menganggap Kades (Kepala Desa) sebagai pemimpin sekaligus orang tua yang mengayomi. Menurut Prof?

Itu soal interpretasi. Bisa saja kita anggap begitu. Tapi yang pasti terlihat adalah bahwa masyarakat menikmati kebebasan ala libertian dalam menentukan pilihan dalam Pilkada. Akibatnya, hasil Pilkada terasa mengejutkan ketika kita mengira bahwa para pemilih masih menggunakan preferensi sosiologis dalam menentukan pilihan.

Solusi apa yang perlu ditawarkan, agar nilai-nilai bhapa’ bhabu’ guru rato tetap lestari. Atau adakah formula baru menghadapi dinamika politik bagi masyarakat Madura?

Menurut saya nilai itu tak perlu dipaksakan untuk lestari seperti dulu. Dalam arti diterapkan sebagai practical values di semua aspek kehidupan. Nilai itu bisa saja menjadi guiding principle yang berlaku sebagai orientasi dasar saja.

Ok,…adakah tawaran dari Pak Gaffar : Bagaimana masyarakat Madura menghadapi Politik Praktis seperti, Pilkades,Pilkada, Pileg dan Pilpres….

Sama seperti di masyarakat manapun. Dalam politik elektoral modern, diperlukan rasionalitas untuk memilih kandidat yang akan mampu membawa kepentingan kita menjadi kebijakan publik jika mereka terpilih. Jadi para pemilih harus tahu persis siapa kandidat yang akan dipilihnya, apa latar belakang mereka, bagaimana track-record-nya, didukung oleh partai politik mana saja, dan semacamnya.

Setelah itu, yang lebih penting lagi adalah pengawasan publik. Masyarakat harus mau mengawasi politisi terpilih yang memimpin daerahnya.

redaksi

KPU Bangkalan