Opini

Rekonstruksi Makna Sumpah Pemuda Sebagai Afirmasi Jiwa Nasionalisme Santri

×

Rekonstruksi Makna Sumpah Pemuda Sebagai Afirmasi Jiwa Nasionalisme Santri

Sebarkan artikel ini
Rekonstruksi Makna Sumpah Pemuda Sebagai Afirmasi Jiwa Nasionalisme Santri
Ilustrasi/Ist

Oleh: Muallifah*

 “Sejarah merupakan roh yang berkembang dalam waktu”[1]. Kalimat ini merupakan statement tokoh filsuf sejarah yaitu Hegel yang dalam filsafatnya mengatakan bahwa kita semua dibentuk oleh sejarah. Adanya hari ini karena adanya masa lalu, maka jangan sekali-sekali melupakan sejarah. Dalam konteks keindonesiaan, kita tidak boleh melupakan orang-orang yang ada dalam tapak-tapak sejarah kemerdekaan Indonesia, salah satunya yaitu pemuda. Kiprah pemuda yang merupakan orang dalam tapak-tapak sejarah kemerdekaan Indonesia tidak bisa dipungkiri kembali. Ini bukan asumsi atau hanya opini pembelaan yang ingin mengagungkan kiprah pemuda yang ada di Indonesia. Terbukti, adanya ‘Sumpah Pemuda’ menunjukkan keterlibatan pemuda yang selalu ada dalam tapak-tapak sejarah kemerdekaan Indonesia dan menjadi pilar serta motor penggerak kemajuan bangsa. Berikut merupakan isi Sumpah Pemuda:

Kami putra putri Indonesia mengaku bertumpah darah satu, tanah air Indonesia

Kami putra putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia

Kami putra putri Indonesia mengaku menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia

Isi sumpah pemuda di atas harus kita refleksikan sebagai semangat juang dalam kehidupan berbangsa saat ini. Tentunya kalimat tersebut bukan hanya kalimat sumpah ataupun pengakuan semata, melainkan bagaimana kemudian dijadikan bahan acuan oleh kita generasi penerus bangsa dalam mengisi kemerdekaan. Lalu apa kaitan kalimat sumpah pemuda dengan santri? Inilah yang kemudian menjadi pertanyaan besar dalam benak kita. Menjawab pertanyaan tersebut, perjuangan santri mempertahankan serta merebut kemerdekaan dibuktikan dengan adanya ‘Resolusi Jihad’ kiai yang kemudian terpatri dalam jiwa santri dengan Hubbul Wathan Minal Iman. Itulah yang menjadi pedoman bagi santri melawan para penjajah untuk pergi dari Indonesia.

Kembali mendobrak sejarah, selain pemuda yang memperjuangkan Indonesia, santri dan peran kiai tidak kalah pentingnya dalam kemerdekaan. Dikutip dari situs Islamnusantara.com edisi Sabtu, 22 Oktober 2016, lahirnya resolusi jihad bukan untuk berjuang mempertahankan Kemerdekaan RI dari tangan penjajah yang masih tersisa saja. Fatwa Resolusi Jihad yang dikeluarkan oleh KH. Hasyim Asy’ari merupakan bentuk kejelasan atas pertanyaan Presiden Soekarno yang memohon fatwa hukum mempertahankan kemerdekaan bagi umat Islam. Sehingga begitu banyak tokoh-tokoh kiai maupun santri yang ada dalam medan perang mempertahankan kemerdekaan. Beberapa di antaranya seperti Kiai Wahab Hasbullah, Bung Tomo, Cak Mansur, Cak Arnowo, dll. Karena itu, perjuangan santri dan para kai untuk Indonesia tidak perlu diragukan kembali.

Lahirnya Resolusi Jihad oleh KH. Hasyim Asy’ari dikeluarkan oleh PBNU pada tanggal 22 Oktober 1945 juga merupakan alasan mengapa pemerintah menetapkan Hari Santri Nasional. Hal ini yang harus dijadikan dasar bagi para santri bagaimana nantinya nilai kesantrian serta implementasi dalam kehidupan sehari-sehari menumbuhkan jiwa nasionalisme yang ada pada dirinya. Ketika dikorelasikan pada masa saat ini yang memang sudah tidak ada lagi melawan penjajah, maka tugas santri untuk mengisi kemerdekaan adalah mengeyam ilmu di pesantren serta tidak lupa akan khittah-nya sebagai santri bahwa dirinya tinggal di Indonesia, yang penuh dengan keanekaragaman dalam budaya, ras, suku, golongan dll. Sehingga, orientasi ilmu yang didapatkan tidak hanya bagaimana ia melakukan hubungan dengan Allah saja. Melainkan bagaimana ia menempatkan dirinya tinggal di lingkungan dengan berbagai perbedaan yang ada, agar nantinya tidak akan terjadi saling salah menyalahkan antar golongan, apalagi saling kafir mengkafirkan antar golongan karena perbedaan seperti yang terjadi saat ini. Sebab, bukan karena golongan dirinya benar, lalu orang lain salah. Memahami konteks benar dan salah tidaklah demikian. Namun bagaimana cara kita memahami berbagai perbedaan untuk menjadi satu dalam kesatuan yang utuh.

Hal itulah yang perlu dikaji, yakni bagaimana menanamkan kepada santri agar selain terpatri jiwa kesantrian, juga ada jiwa nasionalisme dalam dirinya. Sehingga perlu edukasi serta bimbingan bagi para santri di mana kajian-kajian yang dilakukan oleh santri bukan hanya kitab klasik tentang bagaimana hubungan dengan Allah. Dalam hal ini bagi para santri tradisi dan doktrin pluralisme pesantren, kita melihat bahwa pesantren cenderung tertutup dari lingkungannya.

Maka dari itu, kegiatan yang perlu diadakan oleh pesantren untuk membangun ide pluralisme bisa disipkan dengan 2 jalur, yaitu kurikulum secara terstruktur dan implementasi dalam bentuk ekstrakurikuler. Dalam kurikulum perlu ada tambahan materi atau kitab yang mengkaji tentang pemikiran politik (fiqh siyasah) dalam Islam. Di antara ide dasarnya adalah bahwa agama Islam tidak pernah memerintahkan membakukan pemerintahan dan negara Islam. Tetapi negara dan pemerintahan diposisikan sebagai wasilah dalam upaya izzul islam wal muslimin dan amar makruf nahi munkar.[2] Kajian seperti ini harus diaplikasikan dalam pesantren karena orientasinya berimbas kepada kehidupan santri dalam bermasyarakat. Sehingga ketika santri benar-benar terjun langsung ke masyarakat tidak membuat wacana yang menyimpang dari konteks keindonesiaan yang plural ini, melainkan bagaimana santri menempatkan diri dalam wilayah yang penuh dengan kemajemukan ini.

Dalam konteks Sumpah Pemuda, makna di dalamnya yang harus kita implementasikan yaitu dari sekian banyak keberbedaan yang ada kita tetap satu. Yaitu masih menjadi bangsa Indonesia, masih tinggal di Indonesia. Dalam konteks keislaman, dari keberbedaan dalam memahami Islam atau memahami suatu pemahaman dalam lingkup pesantren, bukan kemudian langsung menyalahkan orang lain. Namun bagaimana caranya memahami perbedaan yang ada, sehingga tidak timbul rasa ketidaknyamanan dalam berinteraksi karena adanya saling menyalahkan yang diakibatkan dari keberbedaan itu sendiri.

Ketika ini diterapkan dalam pesantren, misalnya menemukan sebuah permasalahan yang megharuskan adanya permusyawarahan untuk menyelesaikan masalah tersebut, maka apabila isi Sumpah Pemuda diterapkan oleh santri, selain ia belajar bagaimana menghormati keberbedaan, tentunya ia melatih dirinya serta menyiapkan diri bagaimana nanti terjun ke masyarakat langsung sebagai penduduk yang benar-benar menjadi bangsa Indonesia. Karena ketika makna Sumpah Pemuda diimplementasikan dalam kehidupan seorang santri yang notabenenya setiap hari berinteraksi dengan orang banyak utamanya dengan kiai, seyogyanya akan menjadikan dirinya sebagai orang yang belajar menghargai orang lain. Meskipun ada perbedaan yang sangat fundamental dalam sebuah permasalahan, maka ia tidak langsung  menyalahkan perbedaan tersebut, karena dalam dirinya tertanam pemahaman bahwa adanya perbedaan tersebut akan menimbulkan sebuah hubungan yang erat, yang kemudian ia dapatkan dari makna Sumpah Pemuda sebagai acuan atau patokan dalam kehidupan nyantrinya.

* Mahasiswi Jurusan Manajemen Pendidikan Islam (MPI) Semester III STAIN Pamekasan. Peraih Juara II Essay tingkat Kabupaten, Juara I Artikel tingkat Jatim, Juara II Essay tingkat Nasional, dan Juara I Orasi Putri tingkat Kabupaten. Penulis merupakan salah satu peserta Lombok Youth Camp For Peace Leaders 2018.

[1] G.W.F Hegel, Nalar dalam Sejarah (Jakarta: PT Mizan Publika, 2005), hlm. 5.

[2] Ahmad Suaidi, Pergulatan Pesantren dan Demokratisasi (Jakarta: LkiS, 2000), hlm. 213.

KPU Bangkalan