Opini

Saat Warga Memungut Berkah Pemilu

×

Saat Warga Memungut Berkah Pemilu

Sebarkan artikel ini
Saat Warga Memungut Berkah Pemilu
Lia Eka Oktafia Murmiasih

Oleh: Lia Eka Oktavia Murmiasih

Pemilihan umum (pemilu), khususnya di Indonesia penuh pernak-pernik. Termasuk apresiasi penduduk. Sebagian besar kalangan menganggap pemilu sebagai sarana terbesar dalam membangun kehidupan berbangsa. Namun tak sedikit pula yang bersikap masa bodoh, seperti diantaranya bersikap pasif, golput, dan lain sebagainya.

Pernah di suatu pemilu, saya iseng saja. Mencoba ingin tahu langsung. Karena sebatas ini hanya katanya ke katanya. Atau paling tidak hanya sebatas bincang-bincang santai di sanak keluarga dan family, maupun kaum kerabat saat saling bertandang.

Kebetulan, ada beberapa kenalan yang tinggal di beberap tempat, di desa sebelah. Sebut saja Wasik namanya. Kebetulan saat itu pemilihan tinggal sekira dua-tiga hari.

“Kalau saya pribadi, saya masih bingung mau pilih siapa dalam pilpres nanti. Yang pasti nanti saya pilih yang ‘jelas’,” kata pria beranak dua yang petani sekaligus tukang bangunan di Sumenep ini.

Maksud dari kata “jelas” menurut Wasik bagi saya jelas menyisakan tanda tanya. Ketika ditanya lebih lanjut mengenai ungkapannya itu, Wasik kembali mengeluarkan kalimat bersayap. “Ya, kalau tidak ‘jelas’, mendingan saya kerja saja atau ke sawah, apalagi sekarang musim tembakau,” tambahnya sambil tersenyum.

Ungkapan masyarakat seperti Wasik banyak ditemui di belahan bumi Sumenep—mungkin juga di kabupaten lain. Barangkali yang dimaksud memilih calon yang “jelas” itu ialah calon yang bisa mengucurkan “berkah”. Pada hakikatnya berkah merupakan sesuatu hal yang baik dan positif, tapi lain halnya jika yang dimaksud itu sebagai praktek suap atau money politic. Namun bagi rakyat kebanyakan yang buta dengan politik, tentu akan sulit untuk membedakan mana yang benar-benar berkah, dengan “berkah” yang sebenarnya tidak berkah. Karena keduanya sama-sama berujud uang, sembako, atau lain sebagainya.

Lain lagi dengan Mahsus, seorang karyawan di Sumenep, yang juga kenalan saya. Pemilu memang mendatangkan berkah tersendiri. Khususnya bagi dirinya yang kala itu sambil lalu “nyambi” melipat kertas pemilu. “Ya lumayanlah, ada tambahan buat beli rokok dan lauk pauk,” katanya tanpa bersedia menyebutkan nominal upah perlembar surat.

Meski tak banyak, namun Mahsus mengaku selalu menyukuri rejeki yang didapatnya, berapapun banyaknya. “Ya saya yakin, dengan bersyukur, insya Allah rejeki yang kita dapat akan berkah, dan diharapkan akan bertambah,” kata pria yang belum lama ini baru saja melangsungkan pernikahan.

Seperti diketahui, berdasarkan data KPU Sumenep, jumlah hak suara di kabupaten paling timur di Madura ini mencapai lebih sembilan ratus ribu, atau tepatnya 915.820 suara. Sehingga surat suara yang dibutuhkan juga berdasar dan sebanyak angka tersebut. Taruhlah misalnya seorang pelipat mendapat upah Rp 100 persurat suara, ya tinggal mengalikan saja kan seberapa banyak ia mampu melipatnya.

***

Ujung tombak penyelenggara pemilu ialah panitia pemungutan suara (PPS) dan kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS). Tanpa kerja sama dan sama kerja antar oknum-oknum tersebut, pemilu dipastikan tidak akan terlaksana alias gatot (gagal total).

“Yang saya lihat di sini (KPPS; red) sekaligus saya pelajari ialah sikap kompak, gotong royong, dan penuh kekeluargaan,” kata Fery, salah seorang anggota KPPS di Sumenep, yang saya kenal. Saya iseng saja kala itu. Dan itu pun tak sengaja bertemu. Entah apa saat ini ia masih aktif di sana. Kabarnya saat ini sudah menikah dan kerja sambilan di luar kota.

Bagi Fery pada saya kala itu, bekerja memang tidak bisa dilepaskan dengan reward atau upah, apalagi jika dikaitkan dengan istilah di pulau garam: bada pakon, bada pakan (ada perintah, ada makanan). Namun baginya hal itu hanya penambah suka cita saja, selain pelajaran bermasyarakat yang baik yang didapatnya. “Jadi ibaratnya, sambil menyelam minum air,” pungkas mahasiswa yang hampir wisuda ini.

Rupanya tak hanya Fery dan Mahsus, H. Abuyazid, seorang penyewa terop di Sumenep, yang juga kenalan, mengaku juga tidak ketinggalan memungut berkah pilpres tahun ini. “Ya begitulah, lumayan banyak pemasukan. Apalagi jika dibanding dengan hari-hari lain yang lebih menggantungkan usaha pada acara hajatan pribadi warga. Cuma ya bedanya, meski banyak ini ‘kan lima tahun sekali. Ya, yang penting kami senang sudah bisa ikut membantu menyukseskan penyelenggaraan pemilu. Soal bisnis, hal lain. Tapi yang penting berkah, dan pilpres bisa berjalan lancar,” kata ayah dua anak ini sambil tersenyum, beberapa waktu lalu.

Nah, bagaimana dengan kita? Semoga ke depan setiap pemilu benar-benar berkah, yaitu berkah yang diridloiNya.

*) Penulis ialah Aktivis yang tinggal di Sumenep

KPU Bangkalan