Religi

Sirah al-Hikam; Untaian Hikmah Ibnu Atha’illah (2)

×

Sirah al-Hikam; Untaian Hikmah Ibnu Atha’illah (2)

Sebarkan artikel ini
Kitab Al Hikam

Oleh: Ahmad Muhammad*

matamaduranews.com-Ibnu Atha’illah berkata, ”Jangan merasa aneh dengan banyaknya kekeruhan selama kau berada di dunia, karena apa yang tampak di dunia adalah memang layak dan sudah menjadi sifatnya”.

Sementara dunia dijadikan Allah rumah ujian dan kesengsaraan tidak lain karena Allah ingin mengetahui  manusia tidak menjadikan dunia keinginan utama dalam hidup dan segera berpaling kepada Allah.

Derita dan kesulitan dunia merupakan nikmat atas hamba. Karena hal itu membuat manusia tidak mencintai dunia dan di sisi lain dapat membuatnya dekat kepada Allah. Dari sana ia menghadap kepada Allah seraya mengharap ridha-Nya dan kebahagiaan dalam mengenal-Nya.

Namun demikian Ibn Atha’illah menegaskan bahwa hal ini tidak berarti bahwa seorang pencari kebenaran tidak memiliki apapun di dunia. Akan tetapi lebih kepada melepaskan pertautan hati kepada dunia, yaitu dengan tidak menjadikannya orientasi utama dalam hidup (akbaru hamm).

Kemudian setelah membulatkan tekad untuk menempuh jalan sufi, seorang salik hendaknya mengikutinya dengan jalan memperbanyak beribadah (suluk) kepada Allah. Memperbanyak ibadah merupakan jalan yang bagus untuk mencapai tujuan yang baik pula.

“Man asyraqat bidayatuhu asyraqat nihayatuh, (barang siapa yang memulai (suatu perkara) dengan baik, maka itu adalah cermin yang memperlihatkan pada kesudahannya)”. Akan tetapi, Ibn Atha’illah mewanti-wanti, bahwa memperbanyak amal ibadah, meskipun itu adalah prasyarat utama untuk wushul ila Allah, tetapi hendaknya seorang salik tidak semata-mata menggantungkan diri pada amal perbuatannya.

Berkata Ibn Atha’illah: “Salah satu tanda kalau seseorang menggantungkan diri pada amal usahanya sendiri (i’timad ala al-a’mal) adalah berkurangnya harapan terhadap rahmat Allah (nuqshan al-raja`) ketika terjadi kesalahan/dosa”.

Seorang salik seharusnya lepas terhadap amal usahanya, tidak memperdulikan apakah hasilnya baik atau buruk. Tempat bergantung hanyalah Allah, dan bukan perbuatan atau tindakan-tindakan diri sendiri. Amalan-amalan tersebut hanyalah bukti untuk memperlihatkan kehambaan kita kepada Allah.

Untuk menunjukkan bahwa kita adalah hamba dan Allah adalah Tuhan. Adalah suatu kewajiban seorang hamba memohon kepada Tuannya dan berusaha sebaik mungkin, sementara hal yang layak jika seorang Tuan-lah yang berhak mengatur urusan hamba-Nya. Yang perlu dilakukan seorang salik hanyalah terus beramal, dan mengistirahatkan diri dari ikut mengatur hasilnya (arih nafsak an tadbir). Sebab itu adalah domain Allah. Sebaliknya, seorang salik hendaknya meminta anugerah kepada Allah agar memperbaiki dirinya dan mendekatkan diri untuk semakin mengenal-Nya (ma’rifatullah).

“Jika Tuhan membukakan pintu ma’rifat bagimu, maka janganlah engkau menghiraukan soal amalmu yang masih sedikit (in qalla ‘amaluk). Karena sesungguhnya Tuhan tidaklah membukakan bagimu melainkan Dia akan memperkenalkan diri kepadamu (Huwa yurid an yata’araf ilaik). Tidakkah engkau tahu, bahwa ma’rifat itu adalah anugerah-Nya kepadamu (muriduh ‘alaik), sedangkan amalmu adalah pemberian dari dirimu (muhdiha ilaih). Maka di manakah letak perbandingan antara apa yang Dia anugerahkan kepadamu dengan apa yang engkau berikan kepada-Nya (ma tuhdih ilaih min ma Huwa muriduhu ‘alaik),”? dawuh Ibn Ata’illah.

Ma’rifatullah adalah sebuah anugerah luar biasa kepada hamba-Nya, maka ketika Allah telah membukakan bagi seseorang suatu jalan untuk mengenal-Nya, maka banyak sedikitnya amal tidak menjadi sebuah tolak ukur. Karena ma’rifat itu suatu karunia pemberian langsung dari Allah, maka sekali-kali tidak tergantung kepada banyak sedikitnya amal kebaikan seseorang.

Yang perlu dilakukan dalam meniti jalan spiritual ialah bersungguh-sungguh beramal dan menyandarkan diri kepada Allah sejak awal mula perjuangannya (al-ruju’ ila Allah fi al-bidayaat). Dengan penyandaran diri pada Allah, dengan merenungi segenap hati kalimat la haula wa la quwata ila billah; tiada daya dan kekuatan sama sekali kecuali dengan pertolongan Allah, merupakan pertanda kelulusan (sampai kepada Allah) seseorang di akhir jalan spiritual (alamaat al-nujh fi al-nihayat).

*Magister Tasawuf UIN Sunan Ampel, Surabaya

bersambung

KPU Bangkalan