Tarekat dan Mursyid Tarekat dalam Masyarakat Madura (2)

×

Tarekat dan Mursyid Tarekat dalam Masyarakat Madura (2)

Sebarkan artikel ini
Tarekat dan Mursyid Tarekat dalam Masyarakat Madura (2)
Martin van Bruinessen

Oleh: Martin van Bruinessen*

Sebuah pemandangan langka dan berharga dari kehidupan spiritual di Madura Barat di akhir abad ke-19 adalah ditemukannya buku harian dari bangsawan dan mistikus Jawa, Mas Rahmat. Beliau menghabiskan beberapa bulan di Bangkalan di tahun 1880-an (Kumar, 1985). Kiai Rahmat menceritakan pertemuannya dengan kiai dan santri dan menerangkan bagaimana ia terkesan dengan tingkatan pengetahuan dan spiritualitas mereka.

Mas Rahmat sendiri adalah seorang pemuja Syaikh Abd al-Qadir (dia merekomendasikan pembacaan manaqib Syekh -sebuah hagiografi, untuk tujuan psikoterapi-). Akan tetapi Mas Rahmat tidak menceritakan lebih lanjut tentang penghormatan orang Madura terhadap Syekh Abdul Qadir. Dia juga tidak menyebut bahwa kegiatan pembacaan manaqib tersebut berhubungan secara khsusus dengan tarekat Qadiriyah, ataupun tarekat lainnya.

Kutipan-kutipan dari buku harian Mas Rahmat yang diterbitkan oleh Ann Kumar menggambarkan dengan jelas kecenderungan masyarakat Madura terhadap bentuk-bentuk kesaktian, kekuatan magis-spiritual. Dalam pandangan Mas Rahmat, yang paling senior dari para kiai Madura pada masa itu adalah Kiai Labang Muhammad Usman Kilan Banawi, yang masyhur dikenal sebagai Kiai Sepuh. Kiai ini, bukanlah kiai dengan spesifikasi pengajar “kitab (klasik khas pesantren)”, tetapi seorang guru tarekat yang bertindak sebagai ‘Ratu’, pembimbing spiritual (Kumar, 1985: 61). Mas Rahmat tidak menyebutkan nama tarekat yang diajarkan oleh Kiai Labang.

Tetapi Mas Rahmat sendiri tidak menutup kemungkinan bahwa Kiai Labang mengikuti tarekat tertentu, yang tidak seperti disebutkan pada tulisan sebelumnya, tetapi semacam tarekat yang mengajarkan latihan mistis-magis tertentu. Mas Rahmat juga tidak menceritakan jenis latihan dan pengetahuan mistis Kiai Labang. Nama Kiai Labang tidak ditemukan lagi pada sumber-sumber yang saya (Martin van Bruinessen) miliki, baik berupa sumber tertulis atau lisan. Nampaknya, Mas Rahmat tidak melihat Kiai Labang memiliki pengaruh cukup besar dan langgeng, seperti nama kiai yang terkenal, KiaiKhalil Bangkalan. Salah satu nama kiai kuno yang namanya masih diingat dan dihormati oleh masyarakat Madura sampai saat iniadalah Kiai Muhammad Khalil Bangkalan, yang meninggal sekitar tahun 1925.

Pada saat Mas Rahmat berkunjung ke Madura, Kiai Khalil masih memimpin pesantrennya di Bangkalan. Banyak orang Madura dan Jawa Timur saat ini menganggap beliau sebagai leluhur intelektual dan spiritual mereka, karena guru, atau guru dari para guru mereka di generasi sebelumnya belajar di
pesantren tersebut. Yang paling menonjol adalah semua pendiri Nahdlatul Ulama, KH Hasyim Asy’ari yang  pernah menempuh ilmu di tangan Kiai Khalil. Hal inilah yang menjadikan kemasyhuran nama Kiai Khalil lebih semerbak setelah wafatnya daripada semasa beliau hidup.

Kiai Khalil pernah belajar di Mekkah pada 1860-an, dan kembali ke Madura sebagai master dari ilmu esoteris serta eksoteris. Legenda tentang kesalehan perilaku Kiai Khalil luar biasa melimpah. Beliau dianggap sebagai wali, orang suci, dan seorang dengan kekuatan mistik dan magis yang besar. Hal ini membuat beliau mirip dengan Kiai Labang disebutkan oleh Mas Rahmat. Kiai Khalil, bagaimanapun tidak tercatat mengikuti jenis tarekat apapun, meskipun beliau memiliki reputasi mistis yang besar.

Dalam masa bersamaan, sekitar tahun 1880-an, -dari sumber eksternal kami-terlihat bahwa tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah mulai mendapatkan pijakan diantara masyarakat Madura, meskipun butuh beberapa waktu sebelum mursyid tarekat tersebut bermukim di Madura. Tarekat Qadiriyah
wa Naqsabandiyah Tarekat Qadiriyah dan Naqsabandiyah telah ada secara berdampingan sebagai ordo sufi yang berbeda, dengan tradisi dan amalan
spiritual yang berlainan sejak abad ke-14. Ada banyak mistikus yang diklasifikasikan ke dalam anggota kedua persaudaraan sufi tersebut.

Beberapa mistikus dilaporkan mempraktekkan ajaran keduanya secara bersamaan, sementara sebagian lainnya mempraktekkan ajaran kedua tarekat tersebut secara bergantian. Bagaimanapun, tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah, adalah sebuah tarekat baru, independen, dengan beberapa ajaran mengambil dari tarekat Naqsabandiyah, serta sebagian ajaran lain berasal dari tarekat Qadiriyah yang dibakukan dalam satu paket ajaran. Hal ini
termasuk beberapa bentuk meditasi secara hening yang umumnya diasosiasikan dengan ajaran Naqsabandiyah, dan dzikir dengan keras dari Qadiriyah (terdiri dari bacaan la ilaha illa llah, secara berirama).

Seorang murid bergabung dalam tarekat ini dalam satu kesatuan, bukan dengan mengikuti secara terpisah beberapa ajaran Naqsabandi dan sebagian amalan dari mursyid Qadiriyah. Bentuk tarekat eklektik semacam ini –sepanjang pengetahuan saya [Martin van Bruinessen]- hanya memiliki pengikut di Indonesia. Tetapi model yang hampir sama dapat ditemukan di banyak tempat di dunia Islam.

Pendiri model tarekat baru ini -atau setidaknya orang pertama yang menyebarkan terekat ini di antara masyarakat Indonesia adalah mistikus Indonesia Ahmad Khatib al-Sambasi, berasal dari Sambas di Kalimantan Barat tetapi tinggal dan mengajar di Mekkah pada pertengahan abad ke-19. Dia memiliki beberapa pengikut dari sesama orang Asia Tenggara. Dengan cepat tarekatnya kemudian segera menggantikan Sammaniyah sebagai persaudaraan sufi paling populer di Nusantara. Inti dari ajaran-ajarannya – beberapa petunjuk amal dan teknik bermeditasi- dibukukan dalam buku berbahasa Melayu  berjudul Fath al-‘Arifin, yang telah disyarah oleh beberapa mursyid tarekat terpercaya.

bersambung…
*Tulisan ini disadur dari hasil penelitian Martin van Bruinessen, yang berjudul, ‘Tarekat and Tarekat Teachers in Madurese Society’ yang dipublish dalam buku Across Madura Strait: The Dynamics of an Insular Society. Leiden: KITLV.Press, 1995, di halaman 91-117.

KPU Bangkalan