Catatan

1 Menit itu, Menampar Kebodohanku (1)

×

1 Menit itu, Menampar Kebodohanku (1)

Sebarkan artikel ini
1 Menit itu, Menampar Kebodohanku (1)
Ibu Motiah saat masuk IGD RSUD dr Moh. Anwar Sumenep beberapa bulan seebelum wafat. (Foto/Dok. Keluarga)

Catatan: Hambali Rasidi*

Kebodohan saya sudah lama disembunyikan. Saya hanya pura-pura ngerti. Padahal, saya tidak tahu apa-apa. Walau terus diajari tetap saja bodoh. Kecuali diberi bocoran kunci jawaban, baru ngerti.

Puncak kebodohan itu, menampar keegoan saya. Gara-garanya, waktu 1 menit. Akibat kejadian itu, terus menyesakkan dada. Ya..kebodohan yang dipertontonkan sepanjang hayat karena tidak bisa menyaksikan detik-detik ibu menghadap Allah SWT-Tuhan pencipta seisi alam raya.

Lima menit sebelum ajal menjemput, saya berkesempatan menyuguhkan air minum yang diminta untuk sekadar berkumur. Lima menit sebelum itu, ibu manggil minta duduk. Dan minta pulang ke rumah, Sapudi. Juga minta dimandiin.

Keinginan pulang dan minta dimandiin bukan yang pertama. Permintaan itu terlontar beberapa hari sebelumnya, berulang-ulang. Saya anggap permintaan itu hal biasa. Bukan isyarat khusus.

BACA JUGA: Kabar Duka: Ibunda Pemred Mata Madura Berpulang ke Rahmatullah

Saya terus mengelus punggung ibu sambil menjawab permintaannya: kalau sudah sembuh pasti pulang dan mandi. “Salama odhi’na sengko’ ta’ pernah sake’ padhsna reya (selama ini saya tidak pernah merasakan sakit seperti ini, red.),” tutur ibu dengan suara normal sambil menarik napas yang dibantu selang oksigen.

Saya melirik botol infus tinggal sedikit. Saya terus mengelus punggung ibu. Dan bertanya apa ibu mau berbaring. Ibu jawab, iya. Saya bantu baringkan diiringi kalimat la haula wala quwwata illa billah. Terus saya bilang, “Sabar ya, Bu..ikhlas dan ridha atas sakit yang diderita ibu, insyaAllah rahmat Allah akan menyertai. Beristighfar ke Allah,”. “Iye la,”  jawab ibu sambil melirik dengan bola mata sebelah kiri ke saya.

Waktu itu, kebodohan saya terlihat sekali. Isyarat lirikan bola mata ibu ke wajah sambil menutup mata, saya hanya bisa mengusap tetesan air matanya. Saya lihat ibu seperti tertidur. Saya berbaring lagi di samping ranjang ibu, sambil nonton Liga Dangdut di tivi Indosiar. Dan ngobrol dengan Nom Syaiful, paman dari jalur ayah-yang menemani malam itu.

Lima menit sebelum itu, ibu manggil ayah. Jam pukul 23.05 WIB. Saya sengaja biarkan panggilan ibu. Panggilan sejenis itu juga bukan kali pertama. Suara panggilan itu, sudah berlangsung sejak dua bulan lalu, saat nempati kamar GRIU RSUD dr. Moh. Anwar Sumenep. Jadi, saya anggap hal biasa. Lagi pula, sudah buat kesepakatan waktu malam hingga Subuh, saya dan Miftah, adik saya untuk jaga. Pagi hingga sore, biar ayah dan Zam, adik saya untuk menemaninya.

BACA JUGA: Kenapa Puskesmas Gayam?

Suara ibu terus manggil nama ayah. Panggilan tambah kencang. Saya menghampirinya. Ibu minta duduk. Minta turun untuk bangunkan ayah ke tempat tidurnya. Saya terus usap punggung ibu sampil membujuk agar berbaring.

Beberapa menit kemudian perawat datang membawa sebotol infus dan alat suntik serta obat yang akan dimasukkan dalam infus. Ketika perawat menyuntik obat ke botol infus, ibu manggil adik. “Mif… ada dokter,”. Sengaja saya hiraukan panggilan itu, karena yakin terdengar Mif, yang duduk di luar kamar. Saya duduk di bawah ranjang ibu. Hanya tidak berdiri sejajar dengan perawat. Sambil menatap apa yang dilakukan perawat, saya juga melihat wajah ibu. Saya tetap berkesimpulan tidak ada yang aneh.

Padahal, saya sudah diberitahu ibu lewat mimpi, Selasa dini hari, tiga hari sebelumnya. Senin (12/2) ibu datang dari Gayam. Dokter jaga di IGD menyuruh ibu masuk ICU. Di ruang itu, hanya 1 orang yang bisa menunggu. Zam setia menemani ibu sejak 2,5 bulan lalu. Zam nemani ibu. Saya dan ayah mencari tempat istirahat di ruang tunggu.

Beberapa jam kemudian, saya ganti nemani ibu di ICU. Di tempat itu, saya dengar orang menangis dan mengaji surat Yasin dengan suara lantang. Saya lihat di pojok depan ibu. Kondisi pasien sudah koma. Kanan kiri terdengar mesin monitor ICU berbunyi nat nit not. Saya baca-baca dalam hati khusus dihaturkan untuk ibu. Waktu itu, ibu berbaring dengan kondisi lemas. Ibu hanya menoleh ke kanan dan kiri. Jika ada sesuatu yang diinginkan, ibu hanya menggerakkan jari lalu berbisik. Rupanya ibu minta air untuk minum.

Bersambung…

* Jurnalis asal Sapudi, putra Ibu Hj. Motiah, tinggal di Sumenep daratan.

KPU Bangkalan