Oleh: Nurul Yaqin, S.Pd.I*
Seorang siswi pernah bercerita bahwa dia ingin menjadi seorang penulis yang hebat. Namun, orang tuanya menginginkan dia agar menjadi seorang dokter. Dua rencana (planning) yang tak searah. Tentu, hal ini menjadi kegalauan tersendiri bagi anak karena kontradikitif dengan keinginan orang tua. Sebagai guru, saya hanya bisa memberi saran agar (sementara ini) dia fokus saja pada dua hal tersebut (dokter dan penulis). Memang bukan hal yang mustahil, hanya saja dua bola yang ditendang secara bersamaan sering kali melenceng dari arah gawang.
Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci), orang tuanya yang menyebabkan mereka beragama Majusi, Yahudi, dan Nasrani (HR. Muslim). Interpretasi hadits di atas menjelaskan bahwa setiap anak lahir dalam keadaan suci, tanpa dosa. Namun, orang tua yang menggiring sang anak untuk memeluk agamanya kelak, dan orang tua pula yang mengarahkan tujuan mereka, positif atau negatif. Intinya, orang tua mempunyai andil besar terhadap tumbuh kembang anak.
Setiap anak yang lahir menyimpan potensi besar untuk bekal menuju kehidupan selanjutnya. Sebuah kemampuan yang apa bila benar-benar digali akan menciptkan sebuah karya yang akan melampaui zamannya. Dan kendali utama potensi anak berada pada tangan orang tua, latar belakang orangtua. Artinya, anak yang hebat tak lepas dari peran orang tua yang lebih kuat. Namun, marak terjadi bahwa orangtua sering kali kebablasan dalam membimbing anaknya.
Menjadi orang tua memang tidak ada sekolahnya, namun bukan berarti mendidik anak tak butuh ilmu. Kesalahan mendidik anak jangan sampai salah arah, karena akan susah untuk memperbaikinya. Anak bukan semata titipan yang harus dipenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Ada aspek lain yang tak kalah penting untuk menjadi perhatian semua pihak khususnya orangtua, yaitu psikologis. Anak yang haus akan kebutuhan psikologisnya akan mencari alternatif lain yang terkadang menjadi ancaman bagi dirinya.
Remaja Paksaan Orang Tua
Generasi muda di abad modern memiliki kemudahan dalam mengakses berbagai informasi yang notabene juga merevolusi cara pandang (world view) mereka. Sarana dan prasarana sangat mendukung anak untuk berkembang dan maju. Jangat kaget jika “kidz zaman now†bisa mengoperasikan perangkat elektronik dan gadget lebih mahir dari pada orang dewasa. Tak sedikit anak lebih cerdas dari orang tuanya. Namun, yang menjadi polemik di lapangan, laju kecerdasan anak tak searah dengan kematangan pengetahuan orang tua. Sering kali orang tua menjadi tembok penghambat potensi anak. Alih-alih ingin menjadi super hero bagi buah hatinya, justru terperangkap pada metode konservatif yang masih melekat.
Banyak generasi muda yang ingin dirinya berkembang dan maju, tetapi orang tuanya tak mendukung. Bahkan yang lebih tragis lagi orangtua ingin menjadikan anaknya sesuai kemauan dirinya. Seolah anak adalah budak yang bisa diperlakukan sesuka hati. Masa depan anak menjadi hak perogratif orang tua. Menurut Collins (dalam Santrock, 2002:42) menyebutkan bahwa banyak orang tua melihat remaja mereka berubah dari seorang anak yang selalu menjadi seseorang yang tidak mau menurut, melawan, dan menantang standar-standar orang tua. Bila ini terjadi, orang tua cenderung berusaha mengendalikan dengan keras dan memberi banyak tekanan kepada para remaja agar mentaati standar-standar orang tua.
Bahkan, ketika anak akan masuk ke sekolah baru, orangtua sibuk mencarikannya. Sampai mau nikah pun, orangtua yang akan mengurusi segala perlengkapannya. Dan ini telah menjadi lumrah dalam kehidupan bangsa ini. Padahal di sisi lain ada seorang anak yang tidak diberi kepercayaan. Semakin anak tidak dipercayai, semakin mereka tidak mandiri. Orang tua telah sukses menjadikan anak sebagai kelinci percobaan.
Belum lagi orang tua berasumsi bahwa anak remaja masih belum bisa berpikir jernih, seolah mereka harus selalu ngumpet di bawah ketiak orangtua, terutama ketika ada masalah. Jika hal ini dibiarkan maka akan semakin jauh pula sang anak dari sikap dewasa. Kebiasaan negatif yang dilakukan secara kontinyu akan membawa ke tingkat lebih tinggi yang disebut habit (kebiasaan). Jika habit negatif telah melekat kuat dalam diri mereka, maka anak akan tumbuh menjadi manusia yang cenderung paranoid menghadapi masalah, takut akan kegagalan.
Anehnya, orang tua tetap tidak sadar dengan apa yang tela dilakukannya. Mereka mengira kegagalan mereka adalah penyebab anak itu sendiri. Padahal, terkadang sikap orang tua yang terlalu memaksa telah menjadikan anak manusia gagal meraih kesuksesannya. Memang mayoritas orang tua selalu menanamkan kebaikan kepada anaknya, namun yang perlu diketahui bahwa tak selamanya yang baik itu benar. Karena mendidik anak harus sesuai dengan fase perkembangannya.
Jika hal ini berlanjut, maka pasti anak kan menjadi pribadi yang selalu bergantung pada orang tua dan orang di sekitarnya. Ibarat naik mobil angkot anak tidak ada keinginan untuk menjadi sopir (driver) yang harus fokus dan cekatan dalam mengemudi. Justru sebaliknya, ingin menjadi penumpang (passenger) yang hanya bisa tidur pulas di belakang. Ini tentu akan menjadikan anak manusia yang malas berpikir. Hidup instan yang penting nyaman. Proses menuju dewasa telah dibuang begitu saja.
Memahami Bukan Mendikte
Orang tua berada di garda terdepan dalam mendidik anak. Namun, mendidik tidak harus selalu mendikte ke mana anak mau pergi. Orang tua mutlak harus meng-update pengetahuannya, bukan hanya memperbanyak finansial, karena anak tidak hanya membutuhkan itu. Kepedulian orang tua tidak harus memaksakan anak untuk selalu ikut kehendaknya. Biarkan anak berkembang dengan sendirinya, jika ada yang keluar dari koridor yang benar kita wajib meluruskan.
Orang tua (khsususnya di perkotaan) yang secara keilmuan memang sudah pintar dan cerdas, namun masih belum bisa “memahami dan mengerti kebutuhan anak, harus mulai berbenah. Sikap overprotective orang tua akan menjadi palu godam yang akan menghacurkan kemandirian anak. Perlindungan yang berlebihan oleh orang tua terhadap anak bukanlah solusi, justru sebaliknya, menjadi bumerang bagi masa depan anak kelak.
Oleh karena itu, memahami dan menyelami sikap anak (discovering ability) adalah suatu keharusan. Karena orang tua adalah manusia paling dekat dengan dunia anaknya. orang tua jangan terlalu bergantung dengan yang lain, misal sekolah atau yang lainnya. Jangan lantaran biaya yang sangat mahal, lantas orangtua menyerahkan pendidikan anak sepenuhnya terhadap sekolah. Mendidik anak tidak hanya menjadi tanggung jawab sekolah, akan tetapi orangtua dan lingkungan juga mempunyai peran besar dalam proses pendidikan anak. Maka, ketiganya harus berjalan bergandengan.
Perjalanan anak hari esok ditentukan bagaimana proses yang dilalui anak saat ini. orang tua harus merubah gaya konservatif mulai sekarang. Siapkan anak kita menghadapi kehidupan yang lebih kompleks yang tidak hanya membutuhkan kecerdasan otak, tapi lebih penting lagi adalah kesiapan mental. Latih anak kita dengan tantangan yang bisa membentuk dia lebih berani dan punya nyali. Jangan biarkan mereka selalu minder dan tidak percaya diri. Karena hanya orang yang berani yang akan menjadi pemenang di kemudian hari. Wallahu A’lam.
* Guru SMPIT ANNUR, Cikarang Timur, Bekasi. Asal Sumenep, Madura