Bunga Keramat: Nyai Selase Petapan, Labang Bangkalan

Asta Nyai Selase di Petapan, Labang, Bangkalan. (Foto Farhan/Mata Madura)

Nama Nyai Selase di kawasan Madura Barat sangat populer. Khususnya di kawasan Kecamatan Labang, Bangkalan, atau tepatnya di Desa Petapan. Bagi para peziarah di Pasarean Sunan Putromenggolo, kompleks pasarean Nyai Selase mudah ditemui. Karena satu-satunya papan keterangan yang ada selain Sunan Putromenggolo ialah milik Nyai Selase.

MataMaduraNews.comBANGKALAN-Nyai Selase atau Nyai Tepi Selase atau Nyai Aji Selase merupakan salah satu tokoh ulama perempuan di Madura Barat. Di antara beberapa sebutan itu, sebutan Nyai Selase dirasa lebih pas. Karena sesuai dengan lidah masyarakat Petapan, dan tulisan di papan keterangan di kompleks pasarean beliau.

Lazimnya nama-nama tokoh ulama di Madura lainnya, sebutan gelar atau julukan lebih populer dibanding nama asli atau daging sang tokoh. Selase berasal dari nama tanaman selasih. Konon tanaman ini dulunya banyak terdapat di sekitar kediaman Nyai Selase, sehingga dari sanalah cikal-bakal sebutan Nyai Selase.

Nyai Selase berdasar catatan kuna silsilah keturunan Sunan Cendana disebut sebagai putri dari Nyai Kumala binti Sunan Cendana. Ayah Nyai Selase ialah Kiai Abdullah, yang dikenal dengan sebutan Kiai Tanjung, Kwanyar. Namun ketika ditelusuri lebih lanjut, tidak ada daerah—baik berupa kampung atau pun desa—bernama Tanjung di kecamatan Kwanyar.

Zainalfattah alias Raden Tumenggung Ario Notoadikusumo—mantan Bupati Pamekasan, dalam bukunya yang berjudul “Sedjarah Tjaranja Pemerintahan Di Daerah-daerah Di Kepulauan Madura dengan Hubungannja” (1951), mengutip mengenai Kiai Abdullah ini. Kiai Abdullah disebutnya dari Mataram, dan berasal dari trah Pakubuwono. Kiai Abdullah dalam buku itu disebut menikah sebanyak 4 kali. Isteri lainnya—selain Nyai Kumala, disebut dari Pamekasan. Kiai Abdullah ini juga diceritakan wafat dimakamkan di Pamekasan, di Tanjung, Jambul, Pademawu, Pamekasan.

Sementara jika berdasar catatan dari Bindara Habib di Bangkalan, Kiai Abdullah adalah putra dari Kiai Khathib Pasepen bin Pangeran Khathib Mantu. Jadi perkawinan Nyai Kumala dan Kiai Abdullah adalah perkawinan sepupu dua kali atau dupopo dalam istilah Madura. Karena Kiai Khathib Pesapen dan Sunan Cendana masih bersaudara sepupu. Ibunda Sunan Cendana, Ratu Gede Kedatun bersaudara dengan Khathib Mantu, keduanya sama-sama anak Sunan Kulon dari Giri Kedaton.

Di antara kedua versi itu—versi Zainalfattah dengan catatan Bindara Habib, versi yang menyebut Kiai Abdullah sebagai cucu Khathib Mantu lebih kuat. Karena dalam versi Zainalfattah, Kiai Abdullah yang disebutnya sebagai putra Pakubuwono II tidak bisa diterima, mengingat masa hidup keduanya berdasar tinjauan historis berbeda. Perbedaan itu terletak pada fakta bahwa masa Kiai Abdullah lebih dahulu dibanding Pakubuwono II. Sehingga mustahil anak lebih tua dari ayahnya.

Kembali pada Nyai Selase, dalam banyak catatan justru sering lebih banyak disebut dibanding suaminya, Kiai Aji Selase. Hal itu dimungkinkan ada beberapa alasan. Salah satunya, lazimnya penyebutan asal-usul para tokoh besar itu selalu cenderung dikaitkan dengan tokoh yang populer. Apalagi dalam tradisi keluarga besar di Madura tidak membeda-bedakan jalur ibu dengan ayah.

Namun bukan berarti Nyai Selase lebih utama dari sang suami. Jika dilihat dari riwayat yang biasa dikenal di Bangkalan, Nyai Selase merupakan cucu seorang ulama besar sekaligus waliyullah agung. Sunan Cendana merupakan guru besar di masanya. Banyak yang nyantri pada beliau dari segenap penjuru. Salah satunya ialah Kiai Selase—yang menurut sebagian catatan dan juga tertulis di pasareannya di Kolak, Sukalila, Labang, bernama Abdul Mufid.

Kiai Selase juga berdarah biru. Beliau disebut keturunan pancer dari Buju’ Ambarung. Nasabnya bersambung pada Syaikh Rabet. Dalam catatan Sumenep, Syaikh Rabet disebut putra Pangeran Gebak bin Sunan Kulon. Pangeran Gebak ini bersaudara dengan Ratu Gede Kedatun, ibunda Sunan Cendana.

Pernikahan Nyai Selase dan Kiai Selase membuahkan beberapa putra-putri yang menjadi leluhur banyak ulama besar di Madura. Di antara putranya ialah Kiai Pandita di Teja, Pamekasan—ada yang menyebut di Jipen, Bangkalan—dan Kiai Abdul Azhim, Sukalila, Labang. Kiai Pandita ini menurunkan banyak ulama dan cikal-bakal pesatren besar di kawasan Gerbang salam. Salah satu keturunan Kiai Pandita ialah Kiai Bayan, Waru, Pamekasan. Sedangkan Kiai Abdul Azhim menurunkan Kiai Batukolong atau Buju’ Tokolong, salah satu ulama besar di masa Panembahan Sidomukti alias Cakraadiningrat ke-V, Bangkalan, sekaligus juga dikisahkan memiliki andil dalam memadamkan pemberontakan Ke’ Lesap. Kiai Abdul Azhim ini juga disebut menurunkan Syaikhona Khalil, Bangkalan.

Bunga Keramat di Petapan
Seperti yang disebut di muka, pasarean Nyai Selase berada di kompleks Pasarean agung Sunan Putramenggolo di Petapan. Hubungan keduanya ialah paman-keponakan. Sunan Putramenggolo adalah kakak Nyai Kumala, dua di antara putra-putri Sunan Cendana, Kwanyar.

Untuk menuju pasarean Nyai Selase dengan cara mengikuti petunjuk awal di jalan utama menuju Jembatan Suramadu. Sebuah papan besar warna hijau bertuliskan angka 500 meter dengan tanda panah ke arah timur.

Setelah sekitar 10 menit ke arah timur—waktu yang di dalamnya juga terdapat sesi bertanya, peziarah belok ke arah kiri sesuai papan petunjuk selanjutnya. Dari sana tak sampai 5 menit akan bertemu dengan sumber mata air keramat Petapan, yang berdampingan dengan masjid Petapan. Keduanya diriwayatkan sebagai peninggalan Sunan Putramenggolo.

Lokasi pasarean agung di sebelah utara mata air Petapan. Melewati semacam dataran tinggi. Bisa dikatakan mirip bukit kecil. Namun bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Pasarean Nyai Selase di area tersendiri, sekitar 10 meter dari pasarean agung Sunan Putramenggolo.

R B M Farhan Muzammily, Mata Madura

Exit mobile version