Masih ingat insiden korban longsor di tempat galian C di Sampang? Kini, puluhan tambang di Sampang tercatat tidak mengantongi izin. Keterbatasan wewenang menjadi tameng dari dinas terkait untuk menertibkan.

MataMaduraNews.com–SAMPANG-Fausi langsung beranjak pulang kampung ke rumahnya saat mendengar kabar duka itu. Senin, pekan kedua Oktober, tiga orang tertimbun reruntuhan tambang galian C di Desa Banjar Tabuluh, Kecamatan Camplong, Sampang. Salah satu korban adalah pemilik tambang, Mahidin, ayah dari Fausi. Dua korban lainnya adalah Narum, warga Desa Banjar Tabuluh dan Edi warga Desa Gunung Maddah. Sementara kakak ipar Fausi yang juga ada di lokasi selamat dan memilih untuk pindah ke Surabaya. “Dia bilang trauma,†kata Fausi.
Saat itu keempatnya sedang melakukan aktivitas seperti biasa. Mereka menambang pasir dan batu (sirtu) di lubang galian yang tak jauh dari rumah Mahidin. Hujan deras lalu mengguyur kawasan tersebut. Tebing sirtu yang cekung ke dalam tidak mampu menahan gempuran air hujan dan roboh seketika menimpa para korban. Pekan ketiga Oktober lalu, Mata Madura mendatangi lokasi tambang. Sudah tidak ada aktivitas apapun di tambang yang telah diberi garis polisi tersebut.
Setelah ditelisik, rupanya izin tambang di lokasi yang memakan korban tersebut bermasalah. Habisnya masa izin pertambangan milik ayahnya diakui oleh Fausi. Bukan hanya tambang tersebut yang izinnya bermasalah. Ada 24 lokasi tambang lainnya di Kabupaten Sampang yang juga bermasalah. Baik tidak memiliki izin maupun izin yang kadaluarsa. Lokasi penambangan tersebar di Kecamatan Sampang, Camplong, Jrengik, Tambelangan, Banyuates, dan Kedungdung.
Kepala Bidang Pertambangan Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Pertambangan Sampang, Faisol Ansori menyampaikan, perizinan sudah menjadi wewenang provinsi. “Yang sudah dikeluarkan rekomendasi tekhnisnya dari ESDM provinsi itu ada 15 kalau nggak salah. Lebih jelasnya bisa ke KP3M,†katanya, pekan ketiga Oktober lalu.
Hal ini senada dengan yang disampaikan Kepala Kantor Pelayanan Perizinan dan Penanaman Modal (KP3M) Abd Sakur. Menurutnya, sesuai dengan UU 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah pasal 14 ayat 1 tentang perijinan pertambangan, kabupaten sudah tidak memiliki wewenang untuk perijinan. Wewenang sudah diambil alih oleh provinsi. Kemudian berdasarkan Pergub Nomor 59 Tahun 2015 tentang pelimpaham kewenangan penerbitan ijin usaha pertambangan, kata Sakur, kewajiban KP3M adalah melimpahkan berkas perizinan ke pemerintah provinsi. “Kami sudah tidak melayani perpanjangan apalagi termasuk izin-izin baru pertambangan. Jadi sekali lagi, kewajiban kami hanya melimpahkan berkas perijinan ke pemerintah provinsi,†katanya kepada Mata Madura.
Faisol mengungkapkan, ada kabar bahwa Pergub Nomor 16 Tahun 2015 terkait pertambangan akan segera direvisi. Hal ini diharapkan akan memberikan ruang gerak lebih pada daerah. Ia juga mengatakan, sejak diberlakukannya UU Nomor 23 Tahun 2014, khususnya pada pasal 14, bidang ESDM terbagi habis antara wewenang pusat dan provinsi. Wewenang daerah hanya sebatas koordinasi. Kalaupun ada permasalahan seperti penambangan ilegal, pihaknya hanya bisa melaporkan ke provinsi. “Pembinaan dan pengawasan itu menjadi kewenangan pusat, provinsi pun gak punya,†katanya.
Sebelum adanya UU Nomor 23 Tahun 2014, wewenang KP3M memang adalah memberikan perizinan. Saat ditanya apa langkah yang dilakukan KP3M terhadap penambang yang izinnya bermasalah, Sakur mengaku sudah melakukan tindakan. “Kami sudah tiga kali memberikan surat edaran ke masing-masing penambang perihal masalah perizinan ini dan sudah kami jelaskan apa-apa yang memang harus dipenuhi dalam isi surat edaran tersebut. Terakhir kali kami mengirim surat edaran itu pas ada kejadian itu pada tanggal 30 September 2016 kemarin,†katanya.
Sakur menjelaskan, saat ini ada sebanyak 25 orang yang ingin mengajukan permohonan izin pertambangan ke Pemerintah Provinsi. Namun baru 15 orang yang secara resmi mengajukan, sisanya masih belum mengajukan. Selanjutnya KP3M Sampang menyerahkan berkas itu ke Pemprov. “Kami cuma penerbitannya saja. Diizinkan atau tidak itu bukan masalah kami, di luar porsi kami,†kelitnya.
Terkait wewenang Disperindagtam, kata Faisol, hanya di bidang geotermal atau pemanfaatan energi panas bumi. Namun hingga saat ini belum ada eksplorasi geothermal yang dilakukan di Madura, termasuk Sampang. “Kalau sebelum UU 23 Tahun 2014 itu berlaku, ya banyak termasuk migas, semburan air panas, tapi itu sudah masa lalu,†ucapnya.
Sakur memaparkan sejumlah tahapan yang harus dilalui oleh orang yang ingin mengajukan izin pertambangan. Pertama, izin penetapan wilayah pertambangan. Kedua, tahapan izin usaha eksplorasi. Ketiga, izin usaha operasi produksi. Penambangan baru bisa dilakukan apabila sudah mendapatkan tiga izin tersebut. “Kalau hanya izin penetapan wilayah dan izin usaha operasi, masih belum boleh melakukan pertambangan,†jelas Sakur.
Jika ada masyarakat yang ingin mengajukan izin pertambangan, Sakur mengatakan ada mekanisme yang harus dilalui. Setelah berkas yang diperlukan sudah disiapkan, berlanjut ke bagian loket. Nantinya aka nada tim yang melakukan verifikasi dan survei ke lapangan. “Namun yang paling penting pula harus ada rekomendasi dari dinas pertambangan,†tambahnya.
Sementara terkait pencabutan izin, ada tiga alasan yang menyebabkan hal tersebut. “Pertama adalah dalam keadaan kahar. Kedua failed (gagal) dan yang ketiga adalah yang ditambang sudah tidak ada,†ucap Sakur.
Dalam audiensi bersama Wakil Bupati Fadhilah Budiono, pekan kedua Oktober kemarin, sejumlah pengusaha tambang galian C mengungkap sulitnya pengurusan izin. Nur Hasan, pengusaha tambang galian C di Desa Komis, Kecamatan Kedundung mengaku akan tetap melakukan aktivitas pertambangan. Ia bukannya tidak mau mengurus izin, namun selama ini merasa dipersulit.
“Empat kali saya ke provinsi untuk mengurus izin, tapi ditolak. Alasannya menunggu rekomendasi dari kabupaten,†katanya. Sementara ketika ia meminta rekomendasi, pihak Pemkab justru meminta keterangan dari Pemprov Jawa Timur.
Sementara Marko, pengusaha tambang di Desa Banyuates mengaku sudah dua tahun mengurus rekomendasi, tapi belum ada kejelasan. “Ada yang bilang karena Perbup dan peraturan menteri nggak sama. Selain itu, saya nggak ngerti,†jelasnya.
Ketua Lingkar Rakyat Sampang (Liras) Alan Kaisan menilai, pemerintah tidak hadir di tengah masyarakat dalam menyelesaikan rekomendasi. Akibatnya, penambang ilegal tetap melakukan aktivitas yang dapat merusak lingkungan itu. “Perusakan lingkungan bukan hanya menjadikan alam rusak, juga mengancam terjadinya bencana dan krisis kekeringan,†tegasnya.
Sekretaris Jaringan Kawal Jawa Timur (Jaka Jatim) Tamsul juga unjuk bicara. Ia mengatakan, akibat penambangan ilegal, infrastruktur jalan banyak yang rusak. Tamsul juga mengungkap informasi adanya pungli retribusi pertambangan. Oknum pengusaha tambang di Kecamatan Banyuates dan Sampang mengaku ditarik pungli oleh oknum SKPD, mulai dari Rp 5 juta – Rp 10 juta.
“Kekayaan alam dikeruk tanpa memberikan apa-apa kepada pemerintah daerah,†kata Tamsul pekan kedua Oktober lalu, selepas menemui Wakil Bupati Sampang di Pendopo Bupati.
Azis/Jamal, Mata Sampang