matamaduranews.com–SUMENEP-Keris sebagai icon Kabupaten Sumenep bukan sebatas jumlah empu yang banyak. Lebih dari itu. Keris hadir di Sumenep memiliki sejarah dan makna yang begitu dalam dan melegenda.
Keris di jaman kerajaan dahulu, menjadi andalan senjata perang karena diyakini memiliki ‘kekuatan’ ghaib. Dengan ‘kekuatan’ ghaib itu, keris menjadi barang yang istimewa untuk dimiliki setiap individu.
Saat ini, keberadaan keris dipercaya memiliki isi. Sebagian menempatkan keris sebagai aksesori (ageman) dalam berbusana dan menjadi benda koleksi yang bernilai estetika.
Kajian ilmiah perkembangan bentuk keris, selama ini sebatas analisis figur di relief candi atau patung. Begitupun terkait fungsi (kegunaan atau isi) keris, para ahli keris sebatas mengacu dari beberapa pakem.
Para pakar perkerisan pun, menyebut, untuk meneliti isi suatu keris, hanya sang empu yang mengetahui ‘kekuatan’ atau kegunaan (khasiat) keris yang terkandung di dalamnya. Atau orang yang memiliki ilmu khusus.
Jika ditanya kapan keris hadir di Sumenep, masih belum ada catatan ilmiah yang menerangkan itu. Asal-usul keris di Sumenep belum ada sumber tertulis yang dapat menjelaskan secara rinci.
Setidaknya, dalam tradisi lisan, keris hadir di Sumenep sebelum abad ke-15 masehi, tepatnya pada abad ke 14 masehi, bersamaan dengan bangkitnya kerajaan Majapahit, pada masa kekuasaan Hayam Wuruk, yang berkuasa dari tahun 1350 hingga 1389 masehi.
Penggunaan keris di Nusantara tersebar pada wilayah kekuasaan Majapahit, seperti Jawa, Madura, Nusa Tenggara, Sumatera, pesisir Kalimantan, sebagian Sulawesi, Semenanjung Malaya, Thailand Selatan, dan Filipina Selatan (Mindanao).
Pakem keris di tiap daerah memiliki kekhasan sendiri. Baik dalam penampilan, fungsi, teknik garapan, serta peristilahan. Seperti, keris Mindanao dikenal sebagai kalis.
Ada yang menyebut pembuatan keris di Indonesia, termasuk di Sumenep, berawal dari senjata tajam dari peninggalan kebudayaan Dongson dan Tiongkok selatan.
Dugaan pengaruh kebudayaan Tiongkok Kuno dalam penggunaan senjata tikam, sebagai cikal-bakal keris, dimungkinkan masuk melalui kebudayaan Dongson (Vietnam) yang merupakan “jembatan†masuknya pengaruh kebudayaan Tiongkok ke Nusantara. Beberapa keris yang beredear kini sama dengan belati Dongson dan menyatu dengan bilahnya.
Sikap menghormati terhadap benda berbahan logam dapat ditelusuri sebagai pengaruh India, khususnya Siwaisme. Dalam prasasti Dakuwu (abad ke-6 M), ikonografi India menampilkan Wesi Aji seperti trisula, kudhi, arit, dan keris sombro.
Para sejarawan menyebut, keris dari periode pra-Singasari dikenal sebagai keris Budha, dengan bentuk pendek dan tidak berluk (lurus).
Hal ini dilihat sebagai bentuk awal (prototipe) keris. Beberapa belati temuan dari kebudayaan Dongson memiliki kemiripan dengan keris Budha dan keris sajen.
Keris sajen memiliki bagian pegangan dari logam yang menyatu dengan bilah keris.
Khasiat Keris
Para pecinta keris, keberadaannya bukan sebatas aksesoris. Mereka meyakini, keris memiliki segudang khasiat (kegunaan) dengan ‘kekuatan’ ghaib.
Untuk mengetahui isi atau kegunaan benda keris, para pecinta keris sering melihat pamor keris. Corak keris selalu menjadi acuan untuk menentukan isi (khasiat) keris.
Sebagai contoh, keris yang berpamor “petangâ€, para pakar keris sepakat memiliki khasiat “kerejekianâ€. Sementara, keris yang berpamor “petang’ juga memiliki khasiat anti cukur.
Suhardi, salah satu ahli keris di Sumenep tak setuju jika acuan pamor keris sebagai ciri khasiat keris. Dia menerangkan ihwal pamor keris karena sentuhan seni yang lazim di masyarakat waktu itu.
“Sebelum pamor melekat pada keris, para empu sebelumnya, membuat keris polosan, tanpa pamor. Jika, saat ini, pamor selalu menjadi rujukan untuk menentukan isi (khasiat), bagaimana dengan keris polosan atau keris yang tanpa pamor?,†terang Suhardi balik tanya dengan pemikiran anomali para pecinta keris saat ini.
Soal isi (khasiat) keris, Suhardi menyebut rata-rata sama hasil “ciptaan†antar empu yang lain. Sebab, khasiat (isi) yang diberikan sang empu kepada pusaka (keris) berdasar keinginan customer (pemesan).
“Yang membedakan keris itu hanya kekuatan isi (khasiat) keris. Sebab, tingkatan ilmu antar empu tidak sama. Apalagi, keris antara hasil “ciptaan†empu dan barang (besi, red.) yang diberi khasiat (isi) oleh empu, jelas beda daya khasiatnya,†beber Suhardi.
Suhardi memberi solusi untuk mengetahui isi atau khasiat keris, salah satunya adalah keris hasil ciptaan empu dahulu.
“Salah satu ciri keris yang memiliki khasiat atau kegunaan ya keris produk empu dulu. Sebab, empu keris dulu mencipta keris dengan ajian atau doa,” terangnya.
Suhardi keberatan menerangkan untuk mengetahui isi atau kegunaan keris. Sebab, katanya, isi keris itu tak bisa diterangkan. Kecuali orang yang mengerti dalam arti memiliki penglihatan ghaib (mukasyafah).
Suhardi bercerita, para empu keris dahulu membuat (“menciptaâ€) keris dengan asupan tangan dan mulut.
“Bisa jadi, pernyataan ini sebatas dongeng atau mitos karena tidak bisa dirasionalkan. Bagi mereka yang menggunakan kacamata mistis (irrasional), kemampuan pembuatan keris dulu hanya dimiliki individu (orang) yang memiliki ilmu mukasyafah,” paparnya
Lalu, Suhardi menunjuk bukti proses pembuatan keris para empu dulu yang termaktub dalam buku Sejarah Empu karya Pangeran Wijil III dari Kadilangu, Demak, bisa menunjukkan kajian ilmiah.
“pan dariji kang kinarya supit
brama medal saking tutukira
mangka kikir panuduhe
garinda jempolipun
pepacale kuku kinardi
sesepuhira lidhah
pacobane idu
pangasah pek-epekira
besalene ana satengahing margi
dhukuh Medhang Kamulan …
(pupuh Dhandhang Gula)â€
artinya:
“Dengan jari-jemari sebagai penjepit,
nyala api menyembur dari mulutnya,
Sebagai kikir adalah jari telunjuknya,
dan ibu jari sebagai gerinda,
Dipahat dengan kuku,
kemudian disepuh memakai lidah,
dan didinginkan dengan air ludah, lalu
diasah di telapak tangannya.
Tempat kerjanya di jalanan
wilayah Medang Kamulan …â€
Suhardi punya cerita saat Sang Mpu Karangduwak membuat keris dari bahan baku ilalang.
“Keris hasil ‘ciptaan’ empu Karangduwk berbahan baku ilalang. Sampai sekarang, bahan baku ilalang untuk ‘mencipta’ masih tersimpan dalam peti warna hitam di kediaman Gung Macan di Kelurahan Karangduwak,†cerita Suhardi kepada Mata Sumenep.
Asip Kusuma, Mata Sumenep