Cerita Wartawan Tempo di Surabaya yang Disekap dan Hendak Dibunuh

×

Cerita Wartawan Tempo di Surabaya yang Disekap dan Hendak Dibunuh

Sebarkan artikel ini
Wartawan Tempo di Surabaya
Nur Hadi, wartawan Majalah Tempo yang disekap dan hendak dibunuh (FOTO:kempalan)

matamaduranews.comSURABAYA-Nur Hadi masih dalam kondisi sadar. Terdengar suara pria yang hendak membunuhnya.

Waktu itu, jam sekitar pukul 18.25 Sabtu (27/03/2021).

Nur Hadi sebagai wartawan Tempo di Surabaya baru tiba di Gedung Samudra, Morokembang untuk kerja jurnalistik.

Dia mendapat tugas dari Redaksi Majalah Tempo untuk konfirmasi ke eks Direktur Pemeriksaan Ditjen Pajak Kemenkeu Angin Prayitno Aji. Terkait kasus suap yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Nur Hadi tiba di Gedung Morokembang. Dia melihat situasi gedung. Dirinya baru sadar tidak bisa bebas keluar masuk karena tak membawa undangan elektronik.

Nur Hadi balik ke parkiran. Fahmi (kolega Nur Hadi) yang diajak untuk menemani-memberi tahu jika di pintu samping gedung lagi kosong.

Mereka berdua masuk dari pintu samping.

Nur Hadi hendak memotret kursi pelaminan untuk memastikan Angin yang berada di sisi kiri mempelai atau kanan.

Angin berbesan dengan Kombes Ahmad Yani, mantan Karo Perencanaan Polda Jatim.

Di depan/dekat pintu utama ada keterangan hadirin tidak boleh memfoto.

Karuan saja. Sikap Nur Hadi menjadi perhatian panitia berseragam batik (yang diduga para polisi).

“Di dalam gedung itu juga ada banyak ajudan Angin yang memakai baju batik seragam. Saya baru tahu belakangan bahwa dia ajudan Angin,” cerita Hadi seperti dikutip situs kempalan.com.

Sesaat kemudian ada seseorang berseragam batik berkepala gundul. Dia secara diam-diam memfoto Nur Hadi. Hadi pun memfoto balik pria tersebut.

“Jaga-jaga kalau ada apa-apa. Foto itu saya kirim ke Linda koleganya di kantor, sekitar pukul 19.54,” tambah Hadi.

Saat hendak keluar dari pintu samping gedung. Nur Hadi dan temannya dihadang laki-laki berseragam batik.

Pria itu bertanya, Nur Hadi tamu dari siapa.

Keluarga mempelai perempuan didatangkan ke tempat korban berdiri dan menyatakan tidak kenal.

“Setelah itu, saya dibawa ke belakang, didorong oleh ajudan Angin. Dibentak. HP saya diambil, dipegang keluarga mempelai perempuan,” urai Nur Hadi mengingat awal mula penyiksaan.

Hadi dibawa keluar oleh anggota TNI yang bertugas jaga di luar.

Untuk diketahui, Gedung lokasi kejadian di kawasan Kodiklatal Bumimoro. Hadi lanjut dimasukkan ke mobil patroli dan dibawa ke pos di sana.

Di pos itu. Nur Hadi ditanya identitas secara baik-baik. Tidak ada yang memukul. Kemudian, Ada telepon masuk ke petugas di pos.

Nur Hadi diperuntah untuk dibawa ke Polres Pelabuhan Tanjung Perak.

Saat di tengah perjalanan menuju Polres Tanjung Perak, ada telepon ke petugas yang bawa. Perintahnya: Nur Hadi dibawa balik ke tempat acara.

Kemalangan Hadi pun tiba. Dia diturunkan di belakang Gedung Samudra Morokrembangan.

Di tempat itu, Nur Hadi disambut dengan sikap beringas dari sejumlah petugas.

“Turun di dekat Musala. Di situ sudah ramai orang. Ada ajudan Angin, polisi, sampai puluhan. Baru turun dari mobil sudah dipukul, dikiting, ditampar,” terang Hadi.

Hadi masih ingat dalam pendengarannya, salah satu pengeroyok berkata dengan kejam.

“Yang paling kejam si ajudan Angin. Bahkan dia sampai bilang, mau pilih UGD atau kuburan?” ucap Hadi menirukan pelaku.

Sikap petugas terhadap Jurnalis Majalah Tempo di Surabaya itu dengan enteng berlagak bak malaikat maut yang siap mencabut nyawa.

Sedangkan ajudan Angin berucap,“Tempo itu kemarin foto-foto rumah Pak Angin. Kamu mau kubawa ke Jakarta? Nggak bakalan lihat matahari besok pagi.”

Ajudan Angin lalu memukul perut, dada, menggampat kuping Nur Hadi.

“Tiap dia bertanya, saya belum menjawab, dia langsung main tampar. Saya disuruh menengadah. Saya sempat salah buka password HP, juga langsung ditampar, jotos,” imbuh Hadi.

Pria beringas yang belum diketahui identitasnya ini juga memaksa membuka hp dan email korban. Kalau korban menolak ia terus disiksa.

“Mereka merestart hp saya. Semua data-data saya hilang,” sesal Hadi.

Atas kejadian tersebut Nur Hadi sudah melapor ke Polda Jatim pada Minggu (28/3/2021) sore. Dia melapor dengan didampingi Ketua AJI Surabaya Eben Haezer Panca.

Dalam keterangan AJI Surabaya, sekitar pukul 20.30 WIB, korban dibawa keluar oleh seseorang yang diduga oknum anggota TNI yang menjaga gedung dan korban kemudian dimasukkan ke mobil patroli dan dibawa ke pos TNI. Di sana, tak lama kemudian, korban dimintai keterangan mengenai identitas.

Lalu sekitar Pukul 20.45 WIB, setelah dimintai keterangan mengenai identitas, korban kemudian dibawa ke Polres Pelabuhan Tanjung Perak.

“Sekitar pukul 20.55 WIB, belum sampai ke Polres, korban kemudian dibawa kembali lagi ke Gedung Samudra Bumimoro. Sesampainya di Gedung Samudra Bumimoro, korban kembali diinterogasi oleh beberapa orang yang mengaku sebagai polisi dan beberapa orang lain yang diduga sebagai oknum anggota TNI, serta ajudan Angin Prayitno Aji,” beber Ketua Aji Surabaya Eben Haezer Panca dalam.

“Sepanjang proses interogasi tersebut, korban kembali mengalami tindakan kekerasan (pemukulan, tendang, tampar) hingga ancaman pembunuhan. Korban juga dipaksa untuk menerima uang Rp 600.000 sebagai kompensasi perampasan dan pengrusakan alat liputan milik korban. Oleh korban uang ini ditolak namun pelaku bersikeras memaksa korban menerima, bahkan memotret saat korban menerima uang tersebut. Belakangan, oleh Nurhadi, uang tersebut disembunyikan oleh korban di salah satu bagian mobil,” lanjutnya.

Hingga akhirnya, sekitar pukul 22.25 WIB, Nurhadi dibawa ke Hotel Arcadia, usai diinterogasi dengan penuh kekerasan.

“Setelah melakukan proses interogasi penuh kekerasan tersebut, korban kemudian dibawa ke Hotel Arcadia Surabaya. Di hotel tersebut korban kembali diinterogasi oleh dua orang yang mengaku sebagai anggota Kepolisian Polrestabes dan anak asuh Kombes Pol Achmad Yani yang bernama Purwanto dan Firman,” ungkap Eben.

Hingga pada Minggu (28/3) dinihari sekitar pukul 01.10 WIB, Nurhadi keluar dari Hotel Acardia dan diantarkan pulang hingga ke rumah.

Atas kejadian ini, lanjut Eben, Aliansi Anti Kekerasan Terhadap Jurnalis yang terdiri dari Aliansi Jurnalis independen (AJI) Surabaya, Kontras, LBH Lentera, LBH Pers, dan LBH Surabaya melakukan pendampingan terhadap korban dan sepakat menempuh langkah hukum terhadap peristiwa ini. Dan mendesak kepolisian untuk mengusut tuntas kasus ini serta memastikan para pelakunya mendapatkan hukuman sesuai peraturan hukum yang berlaku.

Eben juga menyatakan bahwa apa yang dilakukan para pelaku adalah termasuk kegiatan menghalang-halangi kegiatan jurnalistik dan melanggar UU nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Selain itu, juga melanggar UU nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU Nomor 12 tahun 2005 tentang tentang pengesahan konvensi hak sipil dan politik dan Perkap nomor 8 tahun 2009 tentang pengimplementasian Hak Asasi Manusia.

“Kami mengecam aksi kekerasan ini dan mendesak aparat penegak hukum untuk profesional menangani kasus ini. Apalagi mengingat bahwa sebagian pelakunya adalah aparat penegak hukum,” tegas Eben. (bam)

KPU Bangkalan