Budaya

D. Zawawi Imron Menyulam Budaya Madura (2)

Oleh: Syarwini Syair*

Bahasa yang Menggoda

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!

Mulai dari sini, tulisan ini merupakan serpihan-serpihan kecil perbincangan saya dengan D. Zawawi Imron yang berlansung santai dan sederhana. Seorang penyair yang sudah mencicipi lezatnya sari pati puisi, memang lebih menyembunyikan keistimewaannya dalam kesederhanaan, yang mencitrakan profil asli orang Madura di perkampungan. Dan kampung, bagi Zawawi, adalah semesta kreativitas yang melahirkan banyak ide dalam berbagai puisi yang diciptanya.

Zawawi mulai bersentuhan dengan puisi sejak tahun 1959, ketika ia berada di sebuah pesantren kecil, di pedalaman Desa Gapura Tengah, di Kampung Lambicabbi. Pada waktu itu, di pesantren ada semacam tradisi menulis pantun-pantun, paparegan dan syi’iran Madura, di kalangan para santri. Kata-kata indah yang tersurat dalam berbagai genre puisi Madura itu, membuat hati Zawawi terpesona dan tergoda untuk ikut mencoba menulis pula, dalam bahasa Madura.

Di tengah asyik menulis, ada seorang ustadz di pesantren yang berkomentar bahwa Zawawi tidak bagus bahasa Maduranya. Inilah yang membuat Zawawi akhirnya “banting setir” menulis puisi-puisinya ke dalam bahasa Indonesia. Sejak saat itu, Zawawi hanya menulis seorang diri, tanpa ada yang menyaingi dan mengkritik. Persentuhan dengan bahasa-bahasa yang indah, terus berlangsung sampai Zawawi keluar dari pesantren, dan mengajar di sebuah madrasah yang baru berdiri. Ada kenikmatan dan rasa ketagihan yang membuat Zawawi terus menulis puisi, meskipun tidak tahu harus dikirim ke mana dan untuk apa. Ia hanya merasa asyik saja dengan puisi, dan menganggapnya sebagai curahan hati belaka, pada mulanya.

Pada tahun 1964, Zawawi pergi ke Banyuwangi. Di sana ia bertemu dengan para seniman yang sama-sama menulis puisi, di Rogojampi, di antaranya adalah Muhammad Hariwijaya dan Akhudiat. Pertemuan dengan mereka, semakin melentikkan jari-jemari Zawawi dalam meracaik bait-bait puisi ketika pulang ke Madura. Tema-tema yang ia tulis pun mulai beragam, bukan hanya tentang panorama alam Madura pedesaan, tetapi juga termasuk tentang pahlawan, nabi dan apa saja yang bisa dijadikan puisi. Sampai di tahun 1973, Zawawi mencoba mengirimkan beberapa naskah puisi ke redaksi Mingguan Birawa Surabaya, dan ternyata dimuat. Sejak tahun ini, Zawawi semakin keasyikan dalam mencipta puisi dan terus menerus mengirimkan puisinya ke berbagai media massa Nusantara.

Entah, apakah karena kritik seorang ustadz yang masih berlaku, atau faktor lain yang tersembunyi, atau ada pertimbangan tertentu yang bersifat personal, di tengah kemasyhurannya dalam menghasilkan beragam puisi indah dalam bahasa Indonesia, Zawawi kurang produktif dalam menulis puisi-puisi Madura dengan bahasa Madura, seperti pantun dan syi’iran Madura. Ia pun mengakui, tidak ada buku yang berisi kumpulan khusus puisi-puisi Madura, kalaupun sesekali ia berpantun dan bersyair Madura, itu hanya sebatas selingan saja. Meskipun demikian, puisi-puisi yang ditulis Zawawi dalam berbagai buku kumpulan puisinya, sangat kental dengan aroma dan suasana alam dan masyarakat Madura.

Selain berpuisi, Zawawi juga punya talenta yang mumpuni dalam melukis. Rupanya, kegemaran melukis dalam diri Zawawi sudah bermula sejak ia masih di sekolah rakyat. Ia bercerita bahwa pada masa sekolah, sekitar tahun 50-an, belum ada kiriman peta, gambar-gambar ilmiah seperti tengkorak manusia dan ikan terbelah dari pusat. Zawawilah yang disuruh oleh gurunya untuk menggambar semua itu sebagai media pembelajaran. Akan tetapi, kegemaran melukis ini sempat terhenti bertahun-tehun, baru kemudian di sekitar tahun 2000-an ditekuni kembali dengan serius.

 

Kampung sebagai Pusat Ide dan Kreativitas

Menulis itu memerlukan ide, termasuk pula dalam melukis. Bagi Zawawi, kampung kelahirannya adalah pusat ide dan kreativitas yang ia tuangkan dalam karya-karya yang dihasilkannya. Kumpulan puisinya “Semerbak Mayang”, hampir semuanya hanya bertutur tentang alam perkampungan Batang-Batang saja. Hanya beberapa kecil yang bercerita tentang dunia luar, seperti kekaguman Zawawi pada sosok Pattimura, seorang pahlawan dari Maluku yang digantung oleh Belanda.

Realitas alam dan sosial di kampung dalam keseharian, selalu menyuguhkan ide-ide segar yang menarik untuk dibuat puisi. Tentu diperlukan kemampuan estetika untuk dapat merekam semua itu ke dalam sebuah bahasa yang puitis. Kemampuan estetika bahasa ini, tidak bisa dimiliki oleh semua orang. Oleh karenanya, tidak semua orang bisa menjadi penyair. Tidak semua punya kemampuan dalam menata bahasa yang bagus dan indah.

Menurut Zawawi, setiap penyair sudah berpengalaman dalam melincahkan kata-kata, bukan mempermainkan kata-kata. Kata-kata dalam sebuah puisi, selain dapat menampung ide-ide, juga harus indah. Bahkan dari saking indahnya, ada kata-kata dalam puisi yang sulit dimengerti orang. Terutama oleh seorang pembaca yang tidak memiliki kemampuan estetik dalam berbahasa.

Dalam hal melincahkan kata-kata, menurut Zawawi, perenungan menjadi kunci utama. Puisi tak bisa dicipta tanpa melalui proses perenungan yang mendalam. Perenungan adalah upaya untuk mencari dan terus mencari bahasa-bahasa yang estetis. Puisi yang lahir tanpa perenungan, tidak akan punya bobot. Ia akan hampa. Kata-katanya hanya seperti debu-debu yang beterbangan di jalanan. Bukan hanya tidak indah, bahkan kadang bisa mengganggu.

Sebenarnya, puisi itu dekat dengan filsafat, kata Zawawi. Keduanya sama-sama mengandalkan teknik perenungan. Filsafat lebih banyak menggunakan perenungan melalui otak (akal), sedangkan puisi (estetika) lebih banyak diolah oleh hati (rasa). Dan bagi seorang penyair, teknik sudah bukan masalah. Tinggal ia mau menulis, atau tidak. Itu saja.

Dengan merenung, seorang penyair dapat menyelam ke dalam samudera keindahan yang tak terhingga. Ia akan menjumpai segala rahasia kata, yang tersembunyi dari pandangan orang kebanyakan. Sedangkan keindahan, adalah puncak tertinggi pendakian rohani seorang salik, setelah ia mampu melewati kebenaran dan kebaikan. Dua puncak yang berada di bawahnya. Tengoklah, para kekasih Allah itu, Robi’ah, Rumi, Ibnu Arabi, dan yang lain, mereka dapat mencipta sajak dan syair-syair yang begitu indah, karena telah berhasil berjumpa dengan Yang Maha Indah, dalam sebuah renungan spiritual yang wah.

Bersambung….

*Syarwini Syair, Kontributor Mata Madura

Exit mobile version