Budaya

D. Zawawi Imron Menyulam Budaya Madura (3)

D. Zawawi Imron@alif.id

Oleh: Syarwini Syair*

Cinta yang Mendalam

Zawawi dan Madura seperti seorang ibu dan anak, yang tidak hanya memiliki hubungan darah, tetapi juga menyatu dalam spiritualitas yang super eksotik. Asumsi ini bisa dilihat dari puisi-puisi yang mengeksplorasi kedalaman dan keintiman rohani seorang Zawawi dengan Madura, panorama alam dan sosiokulturalnya. Zawawi bercerita, pada mulanya ia memang tidak punya akses untuk pergi ke luar Madura. Ia belum merantau ke mana-mana, sehingga yang tampak dalam pandangannya hanyalah sejumput alam Madura. Puisi seputar alam Madura ini terekam dalam sajak-sajak yang terkumpul di “Semerbak Mayang” dan “Madura, Akulah Lautmu”.

Ketika tercipta kesulitan untuk merambah wawasan ke luar Madura, kecuali hanya melalui kegiatan membaca dan mendengar radio, membuat Zawawi menjadi fokus berinteraksi, lahir dan batin, dengan alam Madura. Fokus kemaduraan ini yang menjadikan Zawawi bergumul dan berkelindan terus dengan alam sosial kampung halaman, sampai menemukan kedalaman dan kekentalan, mulai dari manis, kecut dan pahitnya Madura. Dari sinilah terciptanya keintiman dan cinta yang mendalam, merasuk ke bagian diri Zawawi yang paling dalam, sehingga terdengar kidung rohani yang subtil: akulah sapi kerapan yang lahir dari senyum dan airmatamu!.

Cinta yang mendalam adalah hakikat keindahan yang tersimpan dalam puisi-puisi yang ditulis oleh Zawawi, terutama yang berhubungan dengan panorama Madura. Tak heran, bila kultur dan peradaban Madura tersaji begitu eksotik dalam bait-bait puisi penyair yang berdarah daeng itu. Meskipun di satu sisi, hal itu membuat Zawawi tidak bisa menulis sesuatu di luar Madura yang berlum ia lihat, seperti yang diakuinya sendiri, tapi di sisi lain, kondisi tersebut membuat Zawawi menemukan sebuah filofis yang sangat komprehensif, yaitu sekali melihat, lebih baik dari seribu kali mendengar.

Dengan demikian, Zawawi perlu melihat apa yang ingin dia tulis, tidak cukup hanya dengan cara mendengar di kejauhan. Bermodal cinta yang mendalam, sebagai buah interaksi yang intim dengan Madura, Zawawi menjadi memiliki keluasan dan ketajaman batin dalam menangkap berbagai keindahan dan getaran-getaran spiritual di tempat yang lain. Ketajaman mata hati dalam melihat semesta dan fakta-fakta empirik, yang dipadu dengan kelihaian dalam mengolah kata, menjadi kekuatan dahsyat Zawawi dalam mencipta puisi.

Kebiasaan mengolah kata dalam berbagai realitas kampung halaman Madura yang dipuisikan, sudah tidak lagi mejadi kendala teknis, ketika ia mencoba berlayar ke tanah Bugis, Makasar, Sulawesi Selatan, dan menorehkan itu semua ke dalam puisi yang bertajuk “Berlayar di Pamor Badik”. Baginya, hal mengolah kata sudah menjadi kebiasaan, dan tidak begitu diperlukan ketika ke luar Madura, bahkan imajipun dengan mudah bisa dipermainkan.

 

Fanatisme dan Inspirasi Seorang Ibu

Sampai sejauh ini, Zawawi masih setia dengan kampung halamannya. Ia tak bergeming dengan segala godaan dan ajakan untuk tinggal di kota rantau dan meninggalkan dusun masa kecilnya, Dusun Jambangan, Batang-batang. Meskipun ia harus sering ke luar kota dan Madura untuk memenuhi undangan dari berbagai kalangan, dalam berbagai kegiatan, tetap tak ada rasa bosan dan lelah baginya untuk pulang ke desa semula.

Terdapat sejumlah alasan yang disampaikan oleh Zawawi, seperti yang ia ceritakan bahwa pada tahun 1984, ada tawaran untuk menjadi Redaktur Balai Pustaka di Jakarta. Tawaran ini membuat ia tertarik. Namun ada sesuatu yang muncul di kedalaman akal pikirnya: apakah setiap sastrawan harus tinggal di Jakarta? Jawaban dari pertanyaan ia membuat ia menjadi hambar, dan dengan halus menolak tawaran tersebut.

Alasan lain adalah kecintaan pada seorang Ibu. Zawawi menuturkan bahwa dirinya adalah anak ibu satu-satunya. Kalau ia tinggal di Jakarta, tak ada orang yang akan merawat dan menjaga ibu. Cintanya pada ibu begitu mengental dalam hati Zawawi. Baginya, cintanya pada ibu tidak hanya indah dalam puisi, tetapi harus konkret dalam keindahan sehari-hari.

Zawawi menuturkan bahwa ia memiliki fanatisme keibuan yang begitu subtil, mengkristal dalam rohani. Ketika ia ditanya oleh wartawan, bagaimana ia bisa mendapatkan penghargaan-penghargaan tingkat nasional, ASEAN, bahkan sampai diundang baca puisi ke Belanda, maka dengan tegas Zawawi menjawab: “Saya kalau menulis puisi selalu merasa anaknya  ibu, tidak merasa Zawawi Imron. Karena Zawawi Imron boleh menulis puisi jelek, tetapi sebagai anaknya ibu, itu tidak boleh!”. Bahkan saat merantaupun, Zawawi tetap bisa lepas dari merasa sebagai anaknya ibu, meskipun dalam bentuk yang lain, dalam suasana dan imaji yang lain pula.

‘Bukan kamu (hai Muhammad) yang melempar, tetapi Allah yang melempar, tulis al-Quran. Sebagai Muhammad, bisa salah melempar, tapi Allah tak pernah salah’. Sedikit ada semacam kesamaan dengan fanatisme keibuan dalam diri Zawawi. Sebagai seorang Zawawi, menulis puisi jelek mungkin tidak terlalu menjadi beban sosial. Tapi sebagai anaknya ibu, ia tidak mungkin membuat malu seorang ibu yang dikaguminya dengan tulisan-tulisan puisinya yang jelek. Makanya, Zawawi punya spirit luar biasa untuk selalu membanggakan ibu.

Ibu adalah sosok inspiratif yang tiada henti. Sosok ibu tak tergantikan oleh siapapun dalam diri Zawawi. Baginya, pahlawan yang paling konkret adalah seorang ibu. Sementara pahlawan-pahlawan yang lain hanya kenal dalam cerita, tidak langsung bersentuhan dengan kehidupan sehari-hari. Inilah yang dimaksud dengan filosofis “sekali melihat, lebih bagus dari seribu kali mendengar”.

Tak ada pahlawan di luar ibu, kata Zawawi. Itu pula yang ia ungkapkan dalam puisi Ibu: kalau aku ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan / namamu ibu yang kan kusebut paling dahulu / lantaran aku tahu / engkau ibu dan aku anakmu. Ibu tak pernah mati dalam diri Zawawi. Ia selalu hadir setiap saat: ibulah itu, bidadari yang berselendang bianglala / sesekali datang padaku / menyuruhku menulis langit biru / dengan sajakku.

Bersambung….

*Syarwini Syair, Kontributor Mata Madura

Exit mobile version