matamaduranews.com-SUMENEP-Wisata religi lebih banyak didominasi pada tempat peristirahatan tokoh-tokoh besar dalam sejarah.
Kali ini, Mata Madura mencoba napak tilas wisata religi dari sisi lain, yakni peninggalan tempat ibadah tokoh-tokoh ulama maupun umara besar tempo doeloe. Wisata masjid kuna, sebut saja begitu.
Masjid Maddegan Batuampar
Masjid yang masih berdiri kokoh di desa Batuampar kecamatan Guluk-guluk itu begitu sederhana. Meski ada sedikit sentuhan berupa tambahan perluasan di bagian depan dan samping kanan, kesan kesederhanaannya tak hilang.
Apalagi jika masuk ke bagian utama yang masih original. Tempat imam dan sekaligus mimbarnya tidak mengalami perubahan sama sekali.
“Dari dulu memang begitu. Dan riwayatnya juga sejak jaman yang mendirikan,†kata R. Abubakar, salah satu tokoh di desa Batuampar, Kecamatan Guluk-guluk.
Pendiri masjid itu ialah tokoh agung di masanya, Kiai Abdullah alias Bindara Bungso. Tokoh yang pertama kali membabat wilayah Batuampar.
Konon, masjid itu tidak melalui proses pembangunan seperti biasa.
“Menurut sebuah riwayat, masjid itu maddeg atau berdiri dengan sendirinya. Sehingga juga disebut masjid Maddegan Batuampar,†kisah Abubakar.
Tidak hanya sebagai waliyullah agung, Bindara Bungso juga merupakan ayah dari Rato Sumenep, Bindara Saut alias Tumenggung Tirtonegoro (1750-1762 M). Meski begitu, hingga beberapa generasi dari dinasti Saut itu, tidak ada satupun yang berani mengotak-atik dalam artian memegahkan masjid.
“Baru beberapa tahun kemarin karena ada bantuan. Itupun hanya perluasan,†kata Dhin Bakar, panggilan Abubakar.
Menurut catatan keluarga Batuampar yang notabene masih keturunan Bindara Bungso, berdirinya masjid itu sekitar tahun 1002 Hijriah. Catatan yang disebut R. Abubakar itu, bersumber dari saudara sepupu dua kalinya (dupopo), R. B. Ishaq di Batuampar.
Angka itu jika dimasehikan sekitar abad ke-16, tepatnya sekitar 1594 Masehi. Namun menurut salah satu keluarga keturunan Bindara Saut di Sumenep, R. B. Muhlis, hal itu perlu dikaji lagi. Karena masa hidup Bindara Bungso diperkirakan di abad ke-17 Masehi.
“Masjid Agung Sumenep saja dibangun pada masa Panembahan Sumolo yang notabene cucu Bindara Bungso, yaitu di paruh kedua abad 18 Masehi,†katanya.
Terlepas dari perdebatan masalah masa pembangunan masjid, di masa awal berdirinya dan beratus tahun setelahnya, masjid ini merupakan pusat belajar agama. Semacam pengguron atau pesantren.
Generasi penerus Bindara Bungso di Batuampar memang dikenal sebagai tokoh-tokoh yang mumpuni di bidang agama dengan berbagai disiplin keilmuannya. Dari sanalah banyak lahir para ulama dan umara di Sumenep khususnya, dan Madura sekaligus daerah tapal kuda pada umumnya.
RM Farhan