Hukum dan KriminalNasional

Diprotes Wartawan Gegara Nulis Motif Pembunuhan Brigadir Yosua Tak Jelas

Tulisan Ilham Bintang
Ilham Bintang saat wawancara di tivi

Belakangan pro kontra soal motif di masyarakat justru semakin dipicu oleh pernyataan Kabareskrim Komjen Pol Drs Agus Andrianto dan Menkopolhukam Mahfud MD yang bersikukuh menolak motif pembunuhan dibuka untuk publik.

“Hanya akan dibuka untuk persidangan. Itu hanya konsumsi untuk orang dewasa,” alasan Mahfud.

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!

Artinya, seperti sudah disebut di atas motif itu tidak akan diketahui publik selamanya. Sebab dalam persidangan pun nanti, sekali lagi, hakim akan menggunakan kewenangannya menyatakan sidang tertutup karena terkait kasus asusila.

Kelompok LGBT di TNI – Polri 

Adakah motif dewasa dimaksud yang disebut Mahfud MD karena mengandung penyimpangan seksualitas, seperti yang kini diduga dan ramai menjadi olok-olok netizen di media sosial?

Seandainya benar demikian, apa yang harus dikhawatirkan? Mengapa harus ditutup? Pers tidak akan mungkin menyiarkan secara detil modus operandi (adegan) penyimpangan itu dilakukan.

Rasanya masyarakat pun sudah cukup dewasa menyikapi, seandainya dugaan itu benar. Pihak TNI dan Polri juga sudah sering merilis berita demikian.

Dua tahun lalu media CNN memuat berita “Gempar Fenomena LGBT di Tubuh TNI & Polri, Ada Apa?”

Berita itu mengutip keterangan resmi Ketua Kamar Militer Mahkamah Agung (MA) Mayjen TNI (Purn) Burhan Dahlan. Ia mengakui ada kelompok LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender) di tubuh TNI dan Polri.

Burhan mengupas fenomena LGBT itu saat diajak pimpinan Mabes TNI Angkatan Darat (AD) berdiskusi mengenai isu LGBT.

“Mereka menyampaikan kepada saya, sudah ada kelompok-kelompok baru, kelompok persatuan LGBT TNI-Polri. Pimpinannya sersan, anggotanya ada yang letkol. Ini unik, tapi memang ini kenyataan,” ujar Burhan dalam video yang dikutip dari detik20, Kamis (15/10).

Burhan bercerita, alasan sang anggota TNI tersebut masuk ke dalam kelompok LGBT karena yang bersangkutan merasa mendapatkan tekanan luar biasa, tatkala melakukan operasi militer Timtim, singkatan dari Timor Timur yang kini sudah terpisah dari Indonesia.

“Perwira menengah itu baru pulang operasi militer dari Timtim. Begitu dia tertekan dalam melaksanakan tugas operasinya. Sehingga dia membentuk perasaan mentalnya, dia menjadi ada penyimpangan,” kata Burhan.

Setelah melakukan operasi militer di Timtim, begitu ceritanya, sang TNI yang juga kelompok LGBT tersebut kemudian pulang ke kediamannya di Makassar.

Menurut penuturan Burhan, sang prajurit tidak menyenangi istrinya lagi. Dari hasil persidangannya kala itu, Burhan akhirnya memutuskan agar pimpinan sang anggota TNI yang masuk ke dalam LGBT agar dibimbing dan bisa kembali mencintai istri dan keluarganya seperti sedia kala.

“Bahkan dia menjadi kaum penyenang laki-laki. Itu fenomena awal yang saya sidangkan pertama kali dulu. Itu saya masukkan dalam putusan, untuk diobati oleh komandannya sampe dia sembuh,” kata Burhan.

Kemudian belakangan, rumor mengenai adanya anggota TNI-Polri yang merupakan anggota LGBT terdengar lagi.

Namun kali ini, penyebabnya bukan karena tugas-tugasnya di lapangan, tapi karena pengaruh pergaulan.

Namun, ketika CNN secara terpisah mengkonfirmasi Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divhumas Polri Brigjen Awi Setiyono enggan berkomentar lebih lanjut mengenai adanya rumor kelompok LGBT di lingkungan Polri yang diceritakan oleh Burhan.

Fenomena sosial apapun, apalagi memang diduga kuat menjadi motif pembunuhan Brigadir Yosua, berhak diketahui publik.

Tujuannya terutama agar masyarakat mengambil pelajaran untuk mencegah perbuatan/ perilaku itu meluas di masyarakat. Minimal untuk melindungi keluarganya, anak dan cucunya.

Ini sejalan dengan Perintah Presiden Jokowi yang berulangkali menyatakan agar pihak polri membuka kasus seterang- terangnya.

Perintah Presiden tidak seyogyanya dipersempit maknanya oleh Kabareskrim dan Menkopolhukam. Sebatas melindungi “perasaan keluarga pelaku maupun korban” bahkan pun ” demi kepentingan institusi Polri”, melainkan seluasnya. Yaitu demi penegakan hukum.

Dengan berpijak demi penegakan hukum itu publik bisa memperoleh kepastian hukum negara akan mengatasi fenomena yang membahayakan keselamatan jiwa seluruh rakyat Indonesia.

“Salus ‘populi suprema lex esto” atau keselamatan rakyat merupakan hukum tertunggi. Fenomena LGBT di tengah masyarakat harus ditangani seserius negara menangani Pandemi Virus Covid 19. (*)

*Wartawan senior dan Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat

sumber: kempalan

Exit mobile version