Religi

DZAUQ ETAPE MAHABBATULLAH

×

DZAUQ ETAPE MAHABBATULLAH

Sebarkan artikel ini
DZAUQ ETAPE MAHABBATULLAH
ilustrasi/google

Mengenal Konsep Mahabbatullah (7)

MataMaduraNews.com – Al-Ghazali dalam Mi ‘raj as-Saalikhiin (mi’raj para salik) dan Misykat al-Anwar (relung cahaya) bercerita, hasil laku salik adalah nyata. Bukan lewat mimpi atau metafor (perumpamaan).

Dalam riyadlah (olah jiwa), kata al-Ghazali, si salik akan masuk ke alam arwah, alam malaikat, dan meningkat ke makrifatullah dalam kondisi dzauq. Di alam arwah, si salik bisa bertemu arwah para waliyullah dan arwah para Nabi, termasuk Rasulullah Saw. Setelah itu, kata al-Ghazali, si salik sesuai kemampuannya, meningkat ke alam malaikat dan bertemu dengan para malaikat, dan meningkat terus ke alam lebih tinggi, yang tidak bisa dilukiskan dengan kata, yaitu makrifatullah.

Menurut al-Ghazali, adz-dzauq merupakan kehadiran hati (hudhur al-qalb) ketika salik berdzikir kepada Allah secara kontinyu (terus-menerus). Buah dari dzikir itu, kata al-Ghazali, menghasilkan cita rasa spiritual (dzauq) paling dalam di tengah kesadaran tertinggi.
Dzauq merupakan tahapan hal atau al-ahwal (kondisi spiritual) pertama dalam pengalaman pengungkapan diri Allah (tajalli). Dzauq juga bisa dipahami sebagai kondisi ruhani/pengalaman spiritual salik yang larut dalam kecintaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Kecuali orang-orang yang benar mencintai kehidupan akhirat dan menjaga perilaku setiap harinya untuk merasakan dzauq.

Syech Abu Nashr as-Sarraj berkata, makna kedudukan seorang hamba di hadapan Allah Swt adalah hasil ibadah, melalui mujahadah (perjuangan spiritual), riyadlah (latihan spiritual) dan konsentrasi diri untuk mencurahkan segala-galanya semata untuk Allah Swt. Sedangkan al-ahwal (kondisi spiritual), menurut Abu Nashr as-Sarraj merupakan suatu kejernihan dzikir yang bertempat dalam hati atau hati berada dalam kejernihan dzikir.

Menurut al-Junaid al-Baghdadi, hal atau al-ahwal terjadi secara mendadak yang bertempat pada hati yang jernih dan tidak bisa terjadi secara terus menerus. Al-Junaid menyebut hal atau al-ahwal merupakan buah dzikir secara samar (khafi). Sebagaimana Rasulullah Saw bersabda, “Sebaik-baik dzikir ialah dzikir khafi (dilakukan secara samar),” (HR Ahmad, Ibnu Hibban, Abu Uwanah dan al-Baihaqi dari Sa’ad bin Abi Waqqash r.a).

Abu Sulaiman ad-Darani bercerita, jika bermuamalah dengan Allah Swt telah menembus hati, anggota tubuh akan terasa nyaman dan ringan. Dalam kitab al-Luma’, Abu Nashr as-Sarraj menjelaskan perkataan Abu Sulaiman yang mengandung dua pengertian: Pertama, yang dimaksud terasa ringan adalah ringan dari kegiatan-kegiatan perjuangan spiritual (mujahadah), apabila ia disibukkan menjaga hati dan melindungi rahasia hati dari segala bersitan dan pikiran jelek yang hanya membawa hati lupa mengingat Allah. Kedua, memungkinkan terus ber-mujahadah, melakukan amal-amal saleh dan ibadah-ibadah lain. Semuanya menjadi kebiasaan, sehingga bisa merasa kelezatan dan menemukan manisnya dzikir. Sehingga letih dan rasa capek hilang karena kalah terserap dengan kelezatan dzikir.

Sufi lain, Muhammad bin Wasi’ berkata, “Saya berjuang dengan penuh kesulitan untuk menghidupkan malamku selama dua puluh tahun. Dan saya bisa merasakan nikmatnya selama dua puluh tahun pula.”

‘Abdul Wahhab ash-Sha’rani dalam Bayan al-Asrar mengurai jenis dzikir. Pertama, dzikir al-lisan, yaitu dzikirnya kelompok syari’at. Kedua, dzikir al-qalb, yaitu dzikir dengan hati yang biasa dipraktekkan kelompok tarekat. Ketiga, dzikir ar-ruh, yaitu dzikir kelompok hakikat. Keempat, dzikir as-sirr, yaitu dzikir kelompok makrifatullah.
Bersambung….. [*]

KPU Bangkalan