Oleh: Om Jo
matamaduranews.com-Sang Master Ibn Athaillah, dalam senandung syairnya berdawuh;
“Diantara tanda matinya hati yaitu tidak adanya perasaan sedih atas amal yang engkau abaikan dan tidak adanya penyesalan atas pelanggaran yang engkau perbuat.”
Sumber dari setiap maksiat, kelalaian dan syahwat, adalah keinginan untuk memuaskan nafsu diri (hawa nafsu).
Meresapnya rasa manis dalam bermaksiat, merupakan penyakit hati yang susah di obati.
“Barangsiapa yang ingin membersihkan jiwanya untuk berjalan menuju Allah, maka ia harus mempersiapkan diri dengan cara melepaskan diri dari semua kecenderungan nafsu duniawi dan penyakit hati.” begitu Sang Master menasihati kita.
Kawan, pilar utama dalam jalan kembali kepada Allah, menurut Imam Ahmad, (adik sang hujjatul Islam Imam al-Ghazali), adalah menyadari keburukan yang telah diperbuat dan menyesalinya sepenuh hati.
Karena sebenar-benarnya tobat adalah ia merasa malu atas perbuatannya yang dahulu dan bertekad untuk tidak mendekatinya lagi, serta merasa hina sehingga muncul perasaan butuh terhadap pertolongan Allah.
Seperti yang diuraikan oleh Sang Master Ibn Athaillah;
“Maksiat yang melahirkan rasa hina diri kepada Allah dan rasa berhajat kepada-Nya, adalah lebih baik. Sebab, kadangkala engkau terdorong ke dalam dosa, tetapi lantaran dosa itu, menjadi sebab yang mengantarkanmu kepada Sang Pencipta.”
Selanjutnya, ikhtiar penyucian jiwa ini dapat dilakukan dengan melanggengkan dzikir dan beramal saleh.
Dzikir dilanggengkan sebagai sarana penyadaran ruh atau kekotoran nafsu yang tak terkendali.
Dzikir dengan menyebut nama Allah Ta’ala, dan memuji sifat-sifat-Nya yang mulia.
Jika dalam perjalanannya, dzikir belum dapat menghadirkan Allah dalam hatinya, maka jangan berhenti.
Teruskanlah ikhtiarmu dalam berdzikir…
Karena menurut SangSufi Ibn Athaillah;
“Sesungguhnya kelalaianmu terhadap Allah ketika tidak berdzikir, adalah lebih buruk daripada kelalaianmu terhadap-Nya di saat engkau berdzikir.”
Semoga dengan melanggengkan dzikir, lama kelamaan hati akan ikut tergerak, dan kotoran jiwa dalam hati akan ikut terkikis.
Insya-Allah…Abu Hasanal-Syadzili berkata;”Hendaklah kalian mengalahkan hawa nafsu dan menumbuhkan rasa cinta kepada Allah. Pada tiap hela nafas yang diamanatkan Allah kepadamu, terdapat keharusan penghambaan kepada-Nya,yaitu dzikir.”
Kemudian, gantungkan harapanmu terhadap turunnya rahmat Allah, berbaik sangka kepada-Nya, dan yakin bahwa Allah akan menerima taubatnya serta menuntun ke arah yang (Dia) kehendaki.
Berbaik sangka kepada Allah, karena (Dia) memiliki nama-nama yang baik seperti; ar-Rahman, ar-Rahim, al-Latif, dan seterusnya, yang dengannya Allah merawat dan memelihara hamba-Nya.
Ibn Athaillah kembali menasihati;
“Jika engkau tidak berbaik sangka terhadap Allah karena sifat-sifat-Nya, maka berbaik sangkalah terhadap karunia-Nya padadirimu. Bukankah (Dia)yang selalu memberimu segala sesuatu yangbaik-baik ?”
“SEORANG PENDOSA YANG KEMBALI KEPADA ALLAH, BETAPAPUN BESARNYA DOSANYA, TETAP TIDAK BERARTI APA-APA DIBANDINGKAN BESARNYA RAHMAT ILAHI.”
Sang master menasihati;
“Janganlah kebesaran suatu dosa terasa dalam penglihatanmu, sehingga dapat merintangi dirimu dari berprasangka baik kepada Allah. Sesungguhnya, siapa yang benar-benar mengenai Tuhannya, maka akan menganggap dosanya tak seberapa dibandingkan kemurahan-Nya.”
Dengan kebesaran dan kemurahan pengampunan Allah, diibaratkan oleh Imam Ahmad;
“KEGELAPAN MAKSIAT AKAN TERHAPUS OLEH CAHAYA TAUBAT, SEPERTI HALNYA PEKATNYA MALAM YANG AKAN BERLALU SEIRING TERBITNYA SINAR MENTARI.”
Selamat Jalan Sang Pemimpin Terkenang. Semoga perjalananmu penuh kesyahduan.
Salam;
JO
Sumenep