Opini

Haji Mabrur dan Kecerdasan Spiritual

Haji Mabrur
Ilustrasi

Oleh: Om Jo

Nabi Saw bersabda, “Tiada balasan bagi haji mabrur kecuali surga.”

Beliau Saw, ditanya; Ya Rasulullah, apa bukti kemabrurannya ?”

Rasulullah Saw, menjawab; “Gemar menjaga lisannya dan memberi makan.” (HR AHMAD & THABRANI)

Ibadah haji telah ditakdirkan untuk menjadi “idaman” abadi oleh setiap Muslim sepanjang masa.

Sebuah ungkapan telah menuliskan bahwa, rukun Islam itu terbangun dengan dua sarana; fisik dan harta.

Syahadat, shalat dan puasa, landasan utamanya adalah fisik.

Sedangkan zakat, berdiri di atas kemampuan materi.

Adapun haji menghimpun keduanya; fisik dan harta.

Imam Ibnu Mundzir, pernah menuliskan bahwa, mabrur itu bermakna kejujuran dan ketaatan.

Artinya; Haji mabrur adalah haji yang bersih serta terjaga dari perbuatan-perbuatan dosa.

Dalam makna yang lain, haji mabrur adalah haji yang diterima, haji yang terlaksana tanpa ada warna kedurhakaan kepada Allah Ta’ala; baik melalui lisan (pertengkaran, kata-kata kotor) atau pun perbuatannya.

Ada kesalahan berfikir bahwa, dengan semata-mata hadir di Tanah Suci, sudah cukup menjadi sebab untuk menggapai kemabruran haji.

Dengan shalat di Masjidil Haram dan Nabawi, wuquf di Arafah, melontar Jumrah dan bermalam di Mina pada hari-hari tasyrik, seolah menjadi anak tangga yang memastikan bahwa haji mabrur tidak akan menjauh lagi.

Gusti Kanjeng Nabi Muhammad Saw, sudah memberi arahan;

“Barang siapa berhaji dan saat berhaji tidak berkata sia-sia dan tidak berbuat dosa, maka dia akan bersih dari dosanya seperti sucinya- dia kala lahir.”
(HR BUKHARI & MUSLIM)

Kawan, di akhir penggalan Hadits di atas, Rasulullah Saw, menetapkan dua standar kemabruran haji; memberi makan dan menjaga lisannya.

Ukuran ini menggambarkan kesempurnaan Islam sebagai agama yang tidak hanya memperhatikan aspek ubudiyah semata, tetapi juga interaksi sosial (kecerdasan sosial).

Sehingga kesempurnaan agama seseorang, tidak hanya tercermin dari interaksi dia duduk di Masjid, shalat Sunnah yang tiada henti, atau dzikir-dzikir panjangnya yang tiada henti.

Namun Islam adalah agama ibadah dan juga akhlak. Aspek inilah yang harus menjadi perhatian para pelaku haji.

Kemabruran haji tetap harus terjaga walau raga tak lagi berada di hadapan Ka’bah.

Sungguh indah dan bijak standar yang ditetapkan Muhammad Rasulullah Saw.

Karena bingkai kecerdasan spiritual seseorang dapat terbaca dari kualitas interaksi sosialnya.

Atau, sejauh mana dia mampu menahan diri dari menyakiti orang lain serta selalu terpanggil untuk menggembirakan mereka.

Dan ketajaman lisan, merupakan unsur utama dalam menilai sejauh mana ibadah haji mencelup keimanan dan kepribadian seseorang.

Satelit, Om Jo

Exit mobile version