Ekonomi

Inilah Sejarah Bandara Trunojoyo; Dari Lapter Hingga Bandara Komersil

Foto Bersama di Bandara Trunjoyo

Keberadaan Bandara Trunojoyo yang dirintis oleh Bapak (alm) Bupati Sumenep, H R. Semaroem 1970-an, awalnya hanya berupa Lapangan Terbang (Lapter). Seiring berjalannya waktu, bandara ini mengalami pasang surut.

MataMaduraNews.comSUMENEP-Dalam pengembangan, Lapter ini mengalami era keemasan pada awal-awal pembangunan yang melayani penerbangan jemaah haji Sumenep ke Surabaya. Setelah itu, kondisi Lapter hilang jejak. Kondisinya memperhatinkan. Hanya menjadi lalu lalang orang-orang iseng.

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!

Baru sejak 2008, pada kepemimpinan Bupati Sumenep, KH Ramdlan Siraj, timbul gagasan untuk menjadikan Lapter yang terletak di Desa Marengan Daya, Kecamatan Kalianget itu sebagai Bandar Udara untuk melayani penerbangan komersil. Namanya Bandara Trunojoyo.

Di akhir kepemimpinan KH Ramdlan Siradj, 2009  itu, pembangunan Bandara Trunjoyo mulai dilirik dari Kementerian Perhubungan RI sebagai Bandara komersil. Direktorat Teknik Bandara Dirjen Perhubungan Udara, ketika itu, Cecep Kurniawan bersama Yoga Kumala dari Direktorat Teknik Perhubungan Udara dan staf Administrator Juanda Surabaya, terjun ke Bandara Trunojoyo Sumenep untuk memastikan rencana besar tersebut. Respon positif itu lalu dilanjut Pemkab Sumenep untuk merevitalisasi sejumlah fasilitas bandara. Hal itu dilakukan setelah ada pertemuan antara Dishub Jatim, Jember, Banyuwangi, dan Sumenep yang membahas perlunya membuka akses transportasi udara antar kabupaten.

Dari momen itu, lahir gerakan pengembangan Bandara Tronojoyo yang mulai diintensifkan. Maka dibuka kantor UPT Bandara Trunojoyo.  Menambah fasilitas utama bandara, seperti pembangunan fasilitas keselamatan penerbangan dan bangunan NDB untuk navigasi penerbangan. Termasuk membangun fasilitas pertolongan kecelakaan penerbangan, pemadaman kebakaran (PKP-PK), bak air kapasitas 5.000 liter dan Non Directional Beacon (NDB). Fungsinya agar lokasi bandara dapat terpantau oleh pesawat yang akan landing dan take off.

Puncaknya, di awal kempimpinan Bupati Sumenep KH A. Busyro Karim. Perhatian pembangunan Bandara Trunojoyo mulai dikebut. Sejak 2010, tiap tahun alokasi anggaran untuk peningkatan fasilitas Bandara Trunojoyo, terus digelontorkan. Mulai dari perbaikan sarana-prasarana hingga pembebasan lahan untuk menambah runway yang diharapkan perusahaan penerbangan.

Dan awal kepemimpinan Bupati Busyro, lahan Bandara Trunojoyo hanya seluas 8,3 hektare. Sejak itu, mulai dibuka Flying School (Sekolah Penerbangan) oleh Merpati Nusantara Airlines. Dan pada tahun, 2012, PT Wing Umar Sadewa juga membuka Sekolah Penerbangan di Bandara Trunojoyo. Dan pada tahun berikutnya hingga 2017, sudah ada lima sekolah penerbangan yang memanfaatkan Bandara Trunojoyo. Yaitu, Aviaterra Flying School, Merpati Pilot School, Nusa Flying Institute, Global Aviation Flaying School dan Balai Pendidikan Pelatihan Penerbangan (Banyuwangi).

Pada tahun 2011, sempat terjadi wacana perubahan nama Bandara Trunojoyo menjadi Bandara Sultan Abdurrahman. Nama Sultan Abdurrahman sengaja dijadikan nama bandara sebagai bentuk apresiasi masyarakat terhadap tokoh atau raja yang pernah berkuasa di Sumenep. Penyematannya sebagai raja ‘alim, bijaksana dan dicintai oleh rakyatnya.

Pada tahun 2012, salah satu operator perusahaan penerbangan PT Wing Umar Sadewa (Wing Air) melakukan survey dan pengecekan kelengkapan Bandara Trunojoyo. Saat itu, Wing Air telah mencoba penerbangan pada malam hari untuk memastikan bandara tersebut sudah bisa take off dan landing pada malam hari.

Hasilnya? Semua fasilitas bandara untuk sebuah penerbangan pesawat jenis Cassa 212 sudah dinilai cukup. Karena lampu di sepanjang runway juga sudah lengkap bersama peralatan canggih lainnya. Termasuk radar pemantau pesawat. Hanya saja, rencana penerbangan komersil itu tidak berlanjut. Baru terwujud, pada Sabtu (02 Mei 2015), sebagai penerbangan perintis perdana. Pesawat yang pertama melayani penerbangan perintis adalah Susi Air.

Susi Air melayani rute  Sumenep-Surabaya dan sebaliknya. Surabaya-Bawean dan sebaliknya, Surabaya-Karimunjawa dan sebaliknya, serta Karimunjawa-Semarang dan sebaliknya dengan frekuensi dua kali penerbangan dalam sepekan.

Pada tahun 2016, penerbangan Susi Air berhenti dan dilanjut  maskapai penerbangan perintis PT Airfast Indonesia yang melayani rute Sumenep-Surabaya dan Sumenep-Pulau Bawean. Dan pada awal tahun 2018, rute penerbangan perintis dialihkan ke Sumenep-Pagerungan, Sapeken yang menggunakan runway milik PT Kangean Energi Indonesia (KEI), perusahaan migas. Perubahan itu dilakukan setelah Wings Air melayani rute Sumenep-Surabaya dan kota besar lainnya dengan sistem tiket konekting.

Bupati Sumenep, KH A. Busyro Karim dalam sambutan di acara launching penerbangan perdana pesawat jenis ATR-72 Wings Air, Rabu (27/9/2017) merasa bersyukur .“Lahan Bandara Trunojoyo sekarang sudah mencapai 33,57 hektare. Waktu saya menjabat, landasan pacu (runway) masih 800 meter. Sekarang, runway  sudah 1.600 meter dengan lebar 30 meter. Semua ini tak lepas dari do’a dan dukungan masyarakat Sumenep,” terang Bupati Busyro.

“Saya berharap, ke depan bandara ini juga menjadi embarkasi haji di Madura. Jika disetujui, kami siap menambah runway menjadi 2.200 meter. Pemkab Sumenep selalu siap menganggarkan. Karena bukan uang saya pribadi,” tambahnya disambut gemuruh tawa undangan yang hadir.

rusydiyono/hamrasidi, Mata Madura

Exit mobile version