Oleh: Dr. KH. A. Busyro Karim, M.Si*
Seandainya setiap anak yang baru lahir tidak memiliki keberanian untuk mencoba,
niscaya tak ada yang dapat mereka lakukan hingga dewasa.
Anak-anak itu tidak berpikir apa yang dikatakan orang. Dia terus belajar penuh semangat dengan rasa percaya diri yang sangat kuat. Tidak khawatir salah mengucapkan bahasa. Dia terus belajar dengan ikhlas.
Ketika beranjak besar, kita sebagai orang tua mulai cerewet. Sehingga si anak bingung. Si anak tak boleh belajar yang pelik-pelik. Sebaliknya, orang tua ingin si anak cerdas. Tapi dengan cara yang tidak tepat. Tidak sebagaimana kodrat perkembangan belajar secara alamiah, bersahabat dan penuh semangat.
Buckminster Fuller, seorang futuristik asal Amerika, mengingatkan para orang tua; “Setiap anak terlahir jenius, tetapi kita memupuskan kejeniusan mereka dalam enam bulan pertama.”
Ya, setiap anak. Siapa pun ia, sejauh lahir dalam keadaan mental yang normal, mereka adalah jenius-jenius besar yang sudah dibekali Allah Swt dengan percaya diri tinggi, semangat besar, antusias, dan senantiasa belajar.
Di usia-usia awal kehidupannya, hingga menginjak tahun ke 6, mereka belajar “tanpa usaha,” begitu kata Glenn Doman. Saya tidak sepenuhnya sepakat dengan ungkapan Glenn Doman. Tetapi ungkapan ini saya pakai untuk menunjukkan betapa anak-anak kita dikaruniai daya tangkap yang luar biasa atas semua perkara yang kita ajarkan kepada mereka. Sengaja atau tidak rangsangan yang kaya dan tepat di usia ini, bukan saja membuat mereka lebih cerdas.
Lebih dari itu, potensi mereka sendiri berkembang. Salah satu potensi itu adalah IQ. Ini berbeda dengan orang dewasa. Usaha yang keras dalam belajar,akan membuat kita lebih cerdas,tetapi IQ kita tidak akan bertambah.
Perkembangan IQ sudah selesai pada usia 12 tahun, dengan rincian; 90% perkembangan IQ tercapai pada usia 6 tahun, dan 10% Sisanya diselesaikan antara usia 6-12 tahun.
Sungguh, rangsangan yang tepat di usia-usia awal, akan sangat besar artinya. Dan itulah yang dilakukan oleh orang tua Imam Syafi’i, sehingga anaknya menjadi jenius luar biasa, yang kepakarannya tak tertandingi hingga hari ini.Begitu pula yang dilakukan oleh para orangtua generasi salafush-shalih.
Hari ini, banyak orangtua maupun guru yang gelisah bagaimana menjadikan anaknya percaya diri. Islam seakan-akan sudah tidak cukup lagi refrensi ajar. Padahal, kita yang menjadi penyebabnya. Kita ajarkan anak kita berjilbab agar mereka menjadi orang yang memuliakan syare’at Allah semenjak usia mereka yang masih belia.
Tetapi saat berbicara, bukan iman yang kita tanamkan, melainkan keinginan untuk memperoleh tepuk-tangan manusia yang kita bangkitkan.
Kalau mereka tidak berjilbab, bukan kita ingatkan mereka tentang mahabbatullah,melainkan biar cantik dilihat orang.
Maka,bukan bunda salah mengandung kalau anak-anak itu akhirnya memiliki rasa percaya diri yang tanggung.
Berbeda sedikit saja dengan temannya, sudah cukup untuk membuat mereka meringkuk di dalam kamar. Tak berani berbaur dengan hati yang mantap. Apalagi menjadi sumber penggerak yang baik bagi teman-temannya.
Padahal, mereka dilahirkan untuk zaman yang bukan zaman kita; zaman yang membutuhkan kekuatan jiwa lebih besar. Zaman yang membutuhkan orang-orang dengan percaya diri tinggi, cerdas akalnya, hidup jiwanya, dan jernih hatinya.
Mereka inilah yang siap untuk menyambut perintah; “Qum fa andzir – Bangunlah, lalu berilah peringatan.”
Perintah-perintah di masa awal kenabian Rasulullah tercinta, Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wasallam.
BERSAMBUNG….
*Bupati Sumenep dan Pengasuh Ponpes Al Karimiyyah, Beraji, Gapura, Sumenep.