CatatanReligi

Inspiratorku: Kiai Menyimpan Misteri

KH A. Busyro Karim

Oleh: KH A. Busyro Karim

SOSOK kiai ini menyimpan misteri. Amalan ibadah tiap hari yang beliau kerjakan tergolong biasa-biasa saja. Setelah morok santri, beliau istirahat ke kamar. Sewaktu-waktu hanya menerima tamu. Jika shalat berjamaah bersama santri juga seperti lazimnya para kiai beribadah. Begitupun saat shalat tarawih, beliau sering shalat empat salam. Secara dhahir, saya sering menyaksikan ibadah beliau seperti biasa kebanyakan orang. Tidak ada yang istimewa.

Saat morok, beliau selalu menasihati para santri agar melihat Islam secara kaffah. Tidak boleh melihat atau memahami Islam secara parsial atau sepotong-potong. Memahami Islam secara universal.

Beliau memberi perumpamaan, seseorang yang tidak rajin beribadah tidak bisa dilihat dari kasat mata. Di luar pengetahuan manusia yang terbatas, orang itu bisa jadi memiliki amalan yang disukai Allah. Pesan beliau, manusia tidak punya kuasa untuk memberi label atas amaliah manusia. Kemudian beliau mengutip ayat al-Qur’an surat Najm: 32 yang berbunyi, fala tuzakku anfusakum huwa a’lamu bimanittaqo. (Janganlah kamu mengganggap dirimu suci. Dialah (Allah) yang mengetahui siapa yang bertaqwa).

Dalam kehidupan bermasyarakat, ketokohan kiai ini cukup dihormati. Mulai dari pejabat negara, kiai besar hingga masyarakat bawah menaruh takdzim kepada beliau. Gelar ketokohan beliau, diperuntukkan semata untuk ummat. Bukan kepentingan pribadi.

Kehidupan keluarga kiai ini juga terhormat. Putra-putrinya dinilai banyak orang sebagai sosok yang ‘alim dalam beragama. Tapi, ada satu putranya yang tidak mengikuti saudara lainnya. Meski demikian, kiai ini, menerima secara lapang dada atas ketetapan Allah Swt. Beliau yakin, ketika Allah Swt memberikan suatu kelebihan kepada hambanya, ada suatu kesempurnaan yang dicabut. Begitupun sebaliknya.
Dalam banyak kisah sahabat Nabi Saw, suatu waktu Nabi Saw menunjuk seseorang tergolong ahli surga. Kehidupan keseharian orang itu, diluar kualifikasi ke’aliman menurut banyak orang. Tapi, Nabi Saw memilik pandangan beda dari kacamata dlahir. Nabi Saw melihat orang itu pasti dengan pancaran Ilahi. Sesuatu yang haq.

Ibn Athaillah, penulis kitab al-Hikam mengatakan, salah satu tanda kalau seseorang menggantungkan diri pada amal usahanya sendiri (i’timad ala al-a’mal) adalah berkurangnya harapan terhadap rahmat Allah (nuqshan al-raja`) ketika terjadi kesalahan atau dosa.

“Jika Allah Swt membuka pintu pengetahuan, maka janganlah engkau menghiraukan soal amalmu yang masih sedikit (in qalla ‘amaluk). Karena sesungguhnya, Allah Swt tidak akan membukakan bagimu, melainkan Dia akan memperkenalkan diri kepadamu (huwa yurid an yata’araf ilaik). Tidakkah engkau tahu, bahwa pengetahuan itu anugerah-Nya kepadamu (muridu ‘alaik). Sedangkan amalmu, pemberian dari dirimu (muhdiha ilaih). Dimanakah letak perbandingan antara apa yang engkau berikan kepada-Nya (ma tuhdih ilaih min ma huwa murduhu ‘alaik?,” dawuh Ibnu Athaillah kepada para santrinya.

Sebagai manusia yang mengakui sebagai hamba Allah Swt, seharusnya kita melepas amal usaha atau nilai ibadah itu apakah memiliki hasil baik atau buruk di hadapan Allah Swt. Tempat bergantung hanyalah Allah. Bukan perbuatan atau amal ibadah diri yang mengantarkan sendiri. Perbuatan baik (ibadah) hanyalah bukti untuk menunjukkan kehambaan kita kepada Allah.

Kewajiban seorang hamba hanya memohon kepada Allah Swt dan berusaha sebaik-baik mungkin. Sedangkan penilaian baik atau buruk yang berhak memberi hanya Allah Swt. Yang mesti kita lakukan sebagai hamba Allah Swt hanyalah terus beramal. Dan tidak ikut mengatur hasilnya (arih nafsak an tadbir). Karena hasil perbuatan itu domain Allah.

bersambung…….
*Bupati Sumenep dan Pengasuh Ponpes Al-Karimiyyah, Beraji, Gapura.

Dhimam Abror
Catatan

matamaduranews.com-PWI DUA kubu. Konflik PWI tentu berefek pada…

Exit mobile version