Interpelasi DPRD Pamekasan Disebut Kegenitan Politik

Dari Kiri: Khairul Umam, Hamdi (atas), Ribut Baidi, SH dan Hamidi, S. Pd. I (matamadura.johar)

matamaduranews.com-PAMEKASAN-Setelah memutuskan walk out dari pengajuan interpelasi yang digulirkan sejumlah anggota Fraksi DPRD Pamekasan, Fraksi PKB menuding interpelasi tak lebih dari sebuah kegenitan politik.

“Secara politik, hak interpelasi memang terkesan lebih seksi. Lebih atraktif. Seperti ada panggung politiknya. Visinya ingin menguatkan akuntabilitas publik penyelenggaraan pemerintahan. Sebenarnya, Pansus pilihan yang jauh lebih tepat daripada hak interpelasi,” terang Khairul Umam, M.Pd, mengawali perbincangan dengan Mata Pamekasan, di ruangan Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB) DPRD Pamekasan, Jumat (19/06/2020).

Menurut Ketua FKB asal Dapil Proppo dan Palengaan ini, sikap walk out dipilihnya sebagai konsistensi sekaligus sebagai tanggung jawab politik PKB kepada publik.

Sebagai partai politik, FKB punya tanggung jawab untuk melakukan edukasi politik kepada publik. Jangan sampai fungsi representatsi politik dilakukan dengan langkah-langkah yang tidak konstitusional.

Lebih jauh, politisi yang juga alumni PMII ini menegaskan, bahwa secara ketatanegaraan, positioning FKB tetap pada posisi kontrol eksekutif. Bukan sebagai pembelaan terhadap Bupati Pamekasan yang diusungnya saat Pilkada 2018 lalu.

“Kami ingin menjaga marwah DPRD jangan sampai ada produk DPRD yang inkonstitusional. Dan ini sudah kami tegaskan sejak awal,” tegas politisi asal Desa Pangorayan ini.

Adik kandung mantan Rektor UIM (Universitas Islam Madura) ini, Shohebuddin, menuding pengusung interpelasi telah mengabaikan syarat normatif interpelasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat 4 (b) Tata Tertib DPRD Pamekasan Nomor 1 tahun 2019 dan PP Pasal 70 ayat 2 (b), Peraturan Pemerintah nomor 12 tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota.

Umam menyebut cacat interpelasi yang diajukan kawan-kawannya di DPRD karena para pengusung interpelasi tidak menyertakan alasan mengapa perlu dilakukan interpelasi sebelum Sidang Paripurna dilakukan.

“Ini syarat normatif. Jika tidak dipenuhi, maka itu tidak sah,” tegas politisi muda ini.

Karena itu, dirinya beserta seluruh jajaran FKB menegaskan keluar dari proses hak interpelasi sebagai tanggung jawab kepada publik. Sekaligus sebagai penegas kepada publik bahwa FKB tidak bertanggung jawab terhadap proses politik DPRD Pamekasan yang cacat hukum tersebut.

Menanggapi tudingan tersebut, Hamidi, S.Pd.I, ketua Fraksi Nasional Demokrat Amanat Nasional membantah bahwa interpelasi yang dilakukan DPRD Pamekasan sebagai hal yang cacat hukum.

“Tidak benar jika kami tidak menyertakan alasan dalam pengambilan keputusan soal interpelasi. Alasan sudah kami sampaikan secara tertulis dalam Sidang Paripuran DPRD Pamekasan. Substansinya adalah menyertakan alasan tertulis. Persoalan apakah pada sebelum atau pada saat Sidang Paripurna, itu persoalan teknis,” papar politisi Partai Nasdem ini kepada Mata Pamekasan.

Menurut anggota DPRD dari Dapil Pademawu, Galis, dan Larangan ini, hak interpelasi adalah hak konstitusional anggota DPRD sebagai implementasi prinsip check and balance legislatif terhadap eksekutif. Tidak ada motivasi lain.

“Kami menghormati pilihan sikap politik kawan-kawan FKB. Namun perlu kami tegaskan, visi kami tiada lain adalah penguatan akuntabilitas publik penyelenggaraan pemerintahan,” urai politisi yang juga alumni PMII ini.

Sementara itu, Hamdi, politisi Partai Bulan Bintang, yang juga sebagai inisiator interpelasi, mengatakan bahwa interpelasi yang diperjuangkan didasari oleh alasan yang konstitusional. Yaitu adanya nomenklatur anggaran yang tidak melalui proses atau mekanisme pembahasan DPRD.

Menurut politisi asal pantura Pamekasan ini, nomenklatur yang dimaksud adalah Penyediaan Sarana Kesehatan yang berwujud mobil sehat.

“Memang sudah masuk dalam APBD 2019. Tapi itu menjadi SiLPA (Sisa Lebih Perhitungan Anggaran) karena tidak dilaksanakan,” ucapnya.

“Yang  namanya SiLPA tidak bisa langsung digunakan, tetapi harus melalui pembahasan DPRD sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor 12 tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah,” urai politisi yang dikenal sebagai mantan aktrivis mahasiswa vokal ini.

Menanggapi polemik interpelasi tersebut, advokat dan praktisi hukum, Ribut Baidi, S.H., menilai bahwa interpelasi yang dilakukan DPRD Pamekasan sesuatu yang sah-sah saja dan tak perlu dinilai secara berlebihan.

“Di Undang-Undang MD3 yang mengalami beberapa kali perubahan, di pasal 371 disebut bahwa hak interpelasi adalah anggota legislatif baik di pusat, provinsi, kabupaten dan kota untuk menanyakan kebijakan bupati yang bersifat strategis dan berdampak luas terhadap masyarakat,“ urai pengacara yang juga dikenal sebagai koordinator Forum LSM Pamekasan ini.

Menurut pengacara anggota Peradi yang sedang nmenyelesaikan Magister Ilmu Hukum Universitas Truynojoyo  Madura dan S2 Hukum Keluarga Islam IAIN Madura ini, hak interpelasi DPRD Pamekasan bukan sesuatu yang aneh dan memang harus ada dan diambil oleh setiap DPRD terhadap kebijakan yang diambil oleh eksekutif. Sifanya hal biasa saja.

“Interpelasi tidak membahayakan terhadap jalannya pemerintah. Karena ini baru pertama kali sepanjang sejarah reformasi, sehingga terlihat heboh,” sambungnya.

Johar Maknun, Mata Pamekasan

Exit mobile version