Tapi, teori Farrington menyebutkan, tidak semua orang yang pada masa kanak-kanak dibesarkan dari keluarga SES rendah, setelah dewasa mereka jadi penjahat atau berperilaku kejam. Tidak semua. Karena, bukan hanya SES penentu orang jadi penjahat. Ada beberapa variabel lain.
Salah satu variabel signifikan adalah Coping (kendali diri). Anak-anak yang hidup di keluarga dengan SES rendah, tapi ia punya tingkat Coping tinggi, maka kecil kemungkinan ia jadi penjahat.
Disebutkan di buku, Coping adalah mekanisme psikologis yang digunakan untuk mengatasi, atau meminimalkan, dampak ancaman atau tantangan yang dirasakan setiap orang, atau anak.
Coping bersifat genetik. Sejak lahir. Otomatis. Tapi bisa juga diajarkan.
Anak-anak dengan tingkat Coping rendah, lebih tertarik pada perilaku berisiko. Anak model begini, harus dibimbing mengendalikan diri, menahan emosi. Secara genetik, ia punya tingkat Coping rendah. Tapi kemudian diajari mengendalikan diri. Terutama oleh ortu.
Maka, manusia dengan tingkat Coping rendah, harus segera menyadari kelemahan ini. Untuk diperbaiki. Tapi repotnya, mayoritas anak-anak belum paham ini. Bahkan orang dewasa yang mendidiknya, pun belum tentu sadar potensi bahaya anak tersebut di masa depan.
Di kasus Duren Tiga, teori Coping ini, masuk. Punya hubungan kausalitas dengan pelakunya.