BudayaOpini

Kaos Kotang dan Tembang Cinta Manusia Madura

×

Kaos Kotang dan Tembang Cinta Manusia Madura

Sebarkan artikel ini

Oleh: Syarifah Isnaini*

Lagu Madura Kaos Kotang
Kaos Kotang dan Tembang Cinta Manusia Madura. (By Design A. Warits/Mata Madura)

Adakah satu jiwa yang tidak pernah bersentuhan dengan cinta?

matamaduranews.com-semua bilangan sejarah, nyaris semua peneliti sepakat bahwa cinta merupakan perasaan universal yang dimiliki tiap-tiap insan di manapun mereka berpijak.

Masing-masing bentuk cinta ditemui pada hubungan antar keluarga inti, sanak saudara, lingkar pertemanan dan menemui perhatian yang cukup besar pada hubungan lawan jenis yang mengklaim diri sebagai pasangan kekasih.

Kendati bersifat universal, konsepsi dan ekspresi cinta pada circle perempuan-lelaki jagat raya tidak lantas seragam. Keuniversalan rasa anak adam dibedakan oleh lingkup budaya yang membentuk dan membersamai mereka saat berproses dan bertumbuh dewasa.

Bentuk eskpresi cinta kaum kasmaran tersebut juga beraneka rupa, mulai dari dipersembahkannya setangkai bunga hingga didendangkannya beberapa tembang seperti yang terjadi pada manusia Madura.

Tembang atau musik dalam dunia populer telah menjadi media efektif untuk berkomunikasi bahkan dalam corak yang paling tradisional sekalipun.

Pengungkapan perasaan melalui alunan musik menjadi pilihan ketika bahasa percakapan kaum kasmaran Madura tidak kuasa mewakilinya.

Pantas jika kemudian Israel Kamakawiwoʻole pelantun Somewhere Over The Rainbow memandang kata-kata sebagai pemicu seseorang berpikir, musik pemicu seseorang merasa dan lagu penyebab seseorang bisa memahami rupa-rupa pikiran.

Satu hal penting lainnya dari lagu bernuansa merah jambu masyarakat Madura tentu saja penggambaran budaya di mana lagu tersebut lahir.

Ada banyak tembang Madura bertema cinta yang hadir menemani tumbuh kembang perasaan kaula muda Pulau Garam. Satu dari sekian tembang cinta populer yang berhasil terpatri dalam relung saya berjudul Kaos Kotang.

Tidak tahu tepatnya di rumah siapa lagu Kaos Kotang diputar, pada satu ruang dan waktu masa belia. Saya mengingat persis beberapa penggalan liriknya seiring rutinnya frekuensi pemutaran.

Kaos kotang lè’ toponah dede
Kalambhi celleng ghâbâi kodung
Bulâ koros lè’ marghâna seda
Siyang malem ta’ nyiddhè tèdung

Betapapun menyentuh lirik sebuah tembang, aspek sosial budaya setempat tetaplah mengambil peran yang kemudian tergambar dalam beberapa lagu cinta masing-masing daerah.

Hal ini sebab terkadang cara-cara orang jatuh cinta dan pengungkapannya bergantung kepada lanskap akal budi dan kemasyarakatan yang mereka miliki sebagaimana termaktub dalam A Cross-Cultural Perspective on Romantic Love karya William R. Jankowiak dan Edward F. Fischer.

Sèrkèsèran obi manis
Jenglajengan deunna nangka
Kèrpèrkkèran sambi nangis
Bule terro ngelamar dhika
Celo’ ongghu bue accem
Mun bhungkana ce’ rajhâna
Eyareppa siang ben malem
Bulâ adentè’ lamaranna

Dahulu mungkin saya berpikir bahwa lirik tembang Kaos Kotang di atas nirmakna dan tidak lebih hanya sebagai ungkapan mabuk asmara sepasang kekasih  tanah Madura.

Akan tetapi apabila berkaca pada postulat Jankowik dan Fischer, insaflah saya bahwa sekecil apapun perilaku seseorang senantiasa memiliki makna tertentu lebih-lebih sosial budaya diibaratkan Clifford Geertz sebagai jaring-jaring laba-laba bagi manusia.

Beberapa baris lirik lagu di atas contohnya.

Apabila diperhatikan dengan seksama, penggalan lirik tembang Kaos Kotang termaksud mengacu pada beberapa identitas masyarakat Madura misalnya sebagai kaum agraris.

Benda-benda yang digunakan seperti obi manis, deunna nangka, dan bue accem merepresentasikan sebuah kondisi di mana ruang lingkup pencipta tembang tidak jauh-jauh dari benda yang disematkannya dalam lagu. Agaknya tidaklah mungkin seseorang bertutur mengenai sesuatu yang jauh dari dunia pengetahuannya sendiri.

Pada aspek pemahaman manusia Madura akan konsep kehidupan sepasang kekasih, dapat pula disimpulkan bahwa mereka seyogyanya telah menyematkan nilai-nilai religius pada sebuah kehidupan panjang bernama pernikahan.

Pada lagu Kaos Kotang ditegaskan bahwa sebaik-baik hidup bersama tentulah berada dalam naungan pernikahan dengan diawali prosesi lamaran selaku prosesi kaum berbudaya. Sahihlah lamun ada ungkapan ‘pemahaman terhadap budaya diperlukan religi, dan sebaliknya religi sulit dipraktikkan tanpa budaya’.

Konstelasi tersebut justru ditemukan secara tersirat pada lagu Kaos Kotang masyarakat Madura.

Akan halnya pemaknaan dan penerimaan manusia Madura pada status kebendaan dan strata sosial, agaknya muatan tembang Kaos Kotang mewakili penggambaran perkara tersebut:

Abit bulâ tak ajhâmo
Jhâmo  è terong potè
Malo atè mun tatemmu
Ngalamarra ta’ andi’ pèssè
Dâri disa èntar ka kotta
Ka sabe kalaben landu’na
Ta ngareppa emas permata
Poko’ cokop syarat rokonna

Bahwa mayoritas manusia mendewakan perkara kepemilikan benda dan status tinggi bukanlah perkara baru.

Max Weber misalnya pada awal abad ke-20 dalam Economy and Society menghasilkan klaim teoritis mengenai situasi tersebut. Demikian halnya dengan para pria Madura.

Mereka acap merasa malu untuk meminang perempuan dengan kondisi papa tak berpunya. Beruntung melalui tembang kaos kotang sebagian perempuan Madura menandaskan sikap penerimaan mereka akan laki-laki dengan harta benda seadanya.

Tidak berhenti sampai di situ, langgam tersebut bukan hanya menguatkan prinsip abhântal ombâ’, asapo’ angèn orang Madura, namun turut mengukuhkan pula jati diri mereka sebagai kaum agamis yang paham syarat dan rukun peminangan.

Atas segala kemungkinan tembang Kaos Kotang, saya tersadar bahwa selama ini terlalu sederhana melihat dan mempersepsi lirik sebuah tembang.

Tidak ada pertimbangan budaya, sosial terlebih agama walaupun pada realitasnya setiap tembang cinta tidak sunyi arti. Terlebih dalam arus penguasaan lagu beraneka bahasa yang kadang tidak terkendali, setidaknya tembang Kaos Kotang mampu mengulurkan pegangan pada sebentuk tradisi tanah kelahiran. Kaos Kotang mengajarkan manusia Madura agar mampu jatuh cinta tanpa lupa mencintai budayanya.

*Mahasiswi Program Pascasarjana Interdisciplinary Islamic Studies di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga. Dalam rangka proses purna studi, saat ini penulis berdomisili di Yogyakarta.

KPU Bangkalan