BudayaReligi

Kiai Cirebon; Guru Judanagara

NYARIS TERLUPAKAN: Pasarean Kiai Cirebon, guru, ayah angkat, sekaligus penasehat Tumenggung Yodonegoro Raja Sumenep, di sebuah gang sempit Jl. Letnan Ramli Kelurahan Kepanjin, Kecamatan Kota Sumenep. (Foto Farhan/Mata Madura)

matamaduranews.com-Madura Timur alias Sumenep dikenal dengan budaya santun dan tutur bahasa yang halus.

Dalam hal bahasa, bahkan Sumenep ditetapkan sebagai bahasa yang baku di tempo doeloe. Seperti diketahui, bahasa Madura memiliki beberapa dialek.

Namun di antara beberapa dialek tersebut, dialek Madura Timur, yakni Sumenep, dianggap sebagai “patokan” bahasa Madura. Standarisasi tersebut sudah ada sejak jaman kolonial Belanda.

”Dulu sudah diteliti oleh banyak pakar bahasa di masa kolonial, dan kemudian diperkuat dengan terbitnya Surat Keputusan (beslit atau besluit) Kerajaan Belanda Nomor 44 Pasal 1, tanggal 21 September 1892, dan Keputusan Hindia Belanda: Staatblad Hindia Belanda 1893 Pasal 6; bahwa Bahasa Madura Timur atau Sumenep merupakan bahasa Madura Standar (baku),” kata Ketua Tim Nabara, H. R. B. Nurul Hamzah, pekan lalu.

Mengutip ayahnya, almarhum R. P. Abd. Sukur Notoasmoro, Nurul Hamzah mengatakan bahwa linguistik bahasa Madura Timur nyaris sempurna. Sebab, memenuhi gramatikal, fonologi, morfologi, morfofonologi, dan sintaksis dalam ilmu bahasa.

Di samping itu, bahasa Madura Timur memiliki tingkatan yang sangat halus. Seperti bahasa enggi bunten (karma inggil) yang dulu merupakan alat komunikasi antara rakyat dengan rajanya, dan itu terinspirasi dari Keraton Sumenep.

Nah, buntut inspirasi itu jika ditarik ke belakang terkait dengan ketokohan salah satu penguasa di Sumenep pertengahan abad 17 M. Yaitu Tumenggung Yudanegoro. Sang Raja memiliki beberapa nama lain, yaitu Raden Bugan, lalu Pangeran Macan Ulung, dan Raden Wongsojoyo. Gelarnya yang paling fenomenal ialah Judanagara (Yudonegoro).

Meski nama itu tak bermakna perilaku seseorang yang berakhlak tinggi dan bertatakrama, namun dari ungkapan yang terkenal di masanya dan setelahnya, yaitu ta’ kennal Judanagara atau ta’ tao ka Judanagara; yang mana ditujukan pada orang yang tidak berperilaku baik, secara tak langsung menggambarkan kepribadian Tumenggung Yudanegoro yang luhur.

”Tamenggung Judanagara merupakan penguasa yang memiliki tingkat keluhuran pekerti yang tinggi. Sehingga terhadap rakyat kecil pun beliau menaruh hormat dan memperlakukan mereka sebagaimana bangsawan juga,” kata R. B. Nurul Hidayat, salah satu pemerhati sejarah di Sumenep.

Pengalaman masa kecil Yudonegoro dan pengaruh tokoh-tokoh yang menempa dirinya saat ditinggal mangkat sang ayah di usia belum dewasa bisa jadi merupakan faktor penting dalam membentuk kepribadiannya kala menduduki tahta Sumenep.

Ayah Yudonegoro memang gugur saat huru-hara melanda Madura, rentetan peristiwa invasi Mataram di tahun 1620-an. Sang ayah, Pangeran Cokronegoro I (Raden Abdullah) wafat di usia muda dalam sebuah insiden.

Sumenep lantas dikendalikan oleh Mataram. Suksesi kepemimpinan bersifat mengisi kevacuman. Karena Yudonegoro kecil ditawan dan dibawa ke Jawa. Ia lantas dipasrahkan kepada seorang guru bernama Kiai Cirebon.

Kiai Cirebon mungkin bukan sekadar guru bagi Yudonegoro kecil. Namun, juga sekaligus pengganti ayahnya. Dalam sebuah versi, selain kepada Kiai Cirebon, Yudonegoro juga menimba ilmu di pesantren Giri Kedaton.

Namun yang jelas Yudonegoro memang lebih banyak mendapat gemblengan dari Kiai Cirebon. Bahkan sang guru ini turut serta ke Sumenep saat tiba waktunya tahta kembali pada sang pewaris.

Menjadi Penasihat Raja di Sumenep
Yudonegoro resmi menduduki singgasana Sumenep pada 1648 M. Beliau memerintah hingga 1672 M. Dalam Babad Songennep (1914), beliau mengambil alih pemerintahan Sumenep dari tangan Ario Jaingpati dari trah Arosbaya.

Sebelum itu, di Sumenep ditempatkan Tumenggung Anggadipa dari Jepara untuk mengisi kekosongan.

Dalam babad disebut, Yudonegoro membawa gurunya Kiai Cirebon untuk selanjutnya menetap di Sumenep. Kiai Cirebon yang tidak disebut asal-usulnya ini dikenal sebagai ulama besar yang alim dan arif. Kedatangannya di Sumenep jelas memberikan banyak warna baru.

Menilik nama Cirebon, diduga itu adalah laqob yang mengindikasikan nisbat tempat. Yaitu Kiai dari Cirebon. Tentu yang dimaksud ialah Cirebon di Jawa Barat. Besar kemungkinan sang kiai bukan dari kalangan biasa. Karena kepadanya dititipkan putra mahkota dari Sumenep yang merupakan trah (berasal dari garis pancer) Sultan Demak pertama, Raden Fatah.

Sedang Raden Fatah memiliki kaitan erat dengan keluarga bangsawan Cirebon sekaligus Banten, melalui ikatan perkawinan putri Demak dengan Pangeran dari keluarga Sunan Gunung Jati Cirebon.

Menurut keterangan keluarga Rumah Panggung Kepanjin, setelah Tumenggung Yudonegoro naik tahta, sang guru, yaitu Kiai Cirebon diangkat sebagai penasihat utama keraton. Kiai Cirebon dibuatkan sebuah rumah di Kepanjin. Saat ini tinggal bekasnya.

Rumah Kiai Cirebon berdekatan dengan kediaman Patih Sumenep, Raden Onggodiwongso alias Raden Entol Anom, atau yang dikenal dengan Patih Ronggodiboso. Ayah Ronggodiboso, yaitu Raden Sutojoyo adalah saudara sepupu Yudonegoro.

Makam Patih Ronggodiboso di lambung bukit Asta Tinggi, berkumpul dengan dua putranya, yaitu R. Demang Wongsonegoro (Patih Wongso atau Pate Bangsa) dan R. Kromosure atau Patih Atmologo.

”Baik Kiai Cirebon maupun Patih Ronggodiboso merupakan tokoh alim besar di bidang agama. Patih Ronggodiboso kendati berkedudukan sebagai wakil raja, dikenal memiliki sebuah langgar yang biasa beliau gunakan untuk morok (mengajar kitab),” kata Iik Guno Sasmito, salah satu anggota keluarga Rumah Panggung Ronggodiboso di Kepanjin.

Setelah lama di Sumenep, Kiai Cirebon yang sepuh wafat di sana. Jenazahnya dikebumikan di timur rumah kediamannya. Saat ini masuk Jalan Letnan Ramli di Kepanjin.

Makam tokoh besar yang merupakan guru dari tokoh peletak dasar tatakrama di Sumenep ini masuk di sebuah gang sempit. Luasnya sekira 2×2 meter persegi. Dibatasi pagar dinding setinggi 1, 5 meter. Makamnya sederhana, dan sepertinya kurang perawatan.

”Tidak ada keterangan beliau ini berketurunan di Sumenep. Entah di Cirebon. Karena sepanjang sejarah dari masa beliau belum ada catatan mengenai keluarga beliau di Sumenep, dan tidak keluarga yang mengklaim sebagai keturannya,” kata Iik, yang juga merupakan salah satu personel Tim Ngoser (Ngopi Sejarah) Sumenep.

| RBM Farhan Muzammily

Fauzi-Imam
Religi

matamaduranews.com-Dunia ini sempit. Cepat berlalu. Siapa duga. Kiai…

Exit mobile version