Catatan: Hambali Rasidi
matamaduranews.com–Seharian ta’ nemmo kanca nyator (Seharian tak ada lawan ngobrol). Beruntung ad fb dan wa.
Sarana ini bisa menghubungkan ke banyak kanca. Termasuk orang yang belum ketemu dan kenal. Sehingga terjadilah komunikasi via medsos.
Komunikasi via medsos itu mendekatkan yang jauh. Sekaligus menjauhkan yang dekat.
Yang di seberang, bisa saling lihat gambar. Jika ingin komunikasi lebih puas, bisa berbicara dengan wajah (video call). Nyaris seperti, tor catoran (obrolan).
Perbedaan tipis dengan alam nyata. Hanya gak bisa salaman atau pegang-pegangan jika ingin bermesraan.
Itulah fenomena digital. Yang belum ada sepuluh tahun lalu di tengah akar masyarakat bawah Madura.
Tapi, dikalangan pesantren, fenomena digital modern itu sudah tak asing.
Para kiai dahulu, sudah biasa; mendekatkan yang jauh. Dan menjauhkan yang dekat.
Masih belum faham? Pernah dengar istilah ramme e seppena (sepi di keramaian).
Secara metafisika, berkomunikasi dengan lintas alam, sudah bukan hal asing.
Lebih tepatnya, berkomunikasi dengan para arwah yang menghuni alam kubur. Mereka yang telah mendahului di dunia.
Apalagi berkomunikasi antar penghuni dunia. Dunia yang jauh terasa dekat. Walau ada di Arab Saudi, lawan bicara di Madura, tak terasa jauh.
Begitulah tamsil, orang- orang pesantren dahulu, yang selalu diceritakan. Bisa ada di beberapa tempat.
Bahkan, badan tubuhnya, bisa ada di sejumlah tempat. Jangan heran, jika asta beliau, juga ada di beberapa tempat.
Ibnu ‘Arabi, Filsuf dan Sufi kelahiran, Andalusia, Eropa, pernah memberi testimoni tentang komunikasinya bersama Rasulullah Saw.
Melalui dua karya masterpeicenya; fusulul al-hikam dan futuhat al-makkiyah, ibnu Arabi menyampaikan bahwa dua isi kitab itu, hanya menyadur dari hasil komunikasi dengan Rasulullah Saw.
Padahal, masa Rasul Saw dan Ibnu Arabi terpaut sekitar 400-an tahun.
Testimoni komunikasi bathin Ibnu Arabi dengan Nabi Muhammad Saw. Bagi yang menggunakn perspektif aliran rasionalisme, pernyataan Ibnu Arabi merupakan hal yang nisbi. Khayalan semata.
Sekarang, ada komunitas agama. Seorang mursid-nya mengaku berguru dengan seorang syech.
Padahal masa kehidupan syech itu, 500 tahun lalu. Asta-nya sering diziarahi banyak orang.
So, tergantung kita.
Hendak menggunakan perspektif rasional atau perspektif medsos untuk memudahkan efektifitas komunikasi?.
Pesona Satelit, 14 Agustus 2019