Religi

Kiai Rahwan, Sendir: Alam pun Menunduk Ta’zhim

Pintu Masuk Menuju Pasarean Kiai Rahwan, di Desa Sendir, Kecamatan Lenteng, Sumenep. (Foto/RM Farhan)

Menyisir sebuah sudut di kawasan keramat kecamatan Lenteng ini memberi sensasi beragam. Semua berbaur menjadi satu, seperti alam yang menunduk ta’zhim pada Pasarean Kiai Rahwan.

MataMaduraNews.ComSUMENEPDesa Sendir, Kecamatan Lenteng, Kabupaten Sumenep merupakan salah satu desa tertua di belahan Madura bagian Timur.

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!

Kawasan ini dahulu merupakan tempat keramat. Hal itu tidak bisa lepas dari nama besar Kiai Rahwan. Beliau merupakan salah satu ulama besar Sumenep di abad 15.

Sendir merupakan tempat kediaman beliau. Dari sanalah mentari ilmu terbit. Hingga saat ini hampir seluruh pesantren besar di Sumenep bersusur-galur pada Kiai Rahwan.

Agak sulit ditelusuri mengenai asal-muasal nama desa ini. Namun berdasar sejarah, diperkirakan desa ini sudah ada sejak jaman Jokotole. Dan hampir dipastikan sudah populer di masa pemerintahan Raden Ario Wonoboyo alias Pangeran Sidingpuri.

Dalam catatan babad ataupun sejarah Sumenep, Kiai Rahwan disebut sebagai menantu Pangeran Sidingpuri. Putri bungsu sang Nata menikah dengan sang Kiai. Sejak saat itu, sang Putri dikenal dengan sebutan Nyai Susur.

Jejak Kiai Rahwan hanya bisa ditelusuri dari goresan pena sejarah dan juga  dua bongkah batu nisan beliau. Badan kijing pasarean beliau sudah baru.

Tak jelas siapa yang memugar. Kijing kuna itu sudah berganti baju baru: batu keramik toko. Originalitas situs ini lenyap. Meski nama besar sang Wali tak lekang oleh jaman.

“Sangat eman sekali. Padahal beberapa tahun lalu masih belum berganti keramik,” kata salah satu peziarah yang kebetulan satu waktu dengan Mata Madura di kompleks tempat peristirahatan abadi sang Kiai, medio bulan ini.

Peziarah yang merupakan warga Pamekasan itu seperti paham betul bahwa situs sejarah harus tetap dijaga. Padahal situs itu dilindungi undang-undang. Namun kenyataannya memang banyak yang tak paham itu.

Kompleks utama pasarean Kiai Rahwan, di Desa Sendir, Kecamatan Lenteng, Sumenep. (Foto/RM Farhan)
Kompleks utama pasarean Kiai Rahwan, di Desa Sendir, Kecamatan Lenteng, Sumenep. (Foto/RM Farhan)

“Saya sangat menyayangkan perilaku sebagian orang yang suka memugar makam kuna. Alasannya agar lebih baik. Karena secara kasat mata terlihat baru dan bagus. Namun sejatinya itu keliru. Perawatan dengan membersihkannya itu yang lebih baik,” kata peziarah bernama Abdul Hamid itu, kepada media ini.

Hamid mengaku memiliki kenangan foto saat ziarah beberapa tahun lalu di Sendir. Kala itu pasarean masih ori. Foto itu ia sebut tersimpan di rumahnya.

“Sempat saya cetak dulu. Mudah-mudahan masih baik kondisinya,” harapnya.

Potret foto milik Abdul Hamid memang perlu. Paling tidak sebagai dokumentasi sejarah.

Meski bukan milik publik. Namun, seandainya foto itu diperbanyak dan dipublis sekalipun, tetap tak bisa mengembalikan originalitas situs Sendir.

Sebagus apapun kualitas foto itu. Ia tidak akan bisa menggantikan pemandangan asli pasarean Kiai Rahwan. Namun, yang terjadi biar terjadi. Waktu tak mungkin ditarik kembali dan dipaksa mundur. Hanya saja memang sayang, berjuta sayang.


TAK LAGI ORI. Pasarean Kiai Rahwan. (Foto/RM Farhan)
TAK LAGI ORI. Pasarean Kiai Rahwan. (Foto/RM Farhan)

Kiai Rahwan mungkin bukan nama daging. Dalam beberapa catatan silsilah Kiai Rahwan ditulis juga dengan Kiai Rahwana.

Di buku babad Songennep karya Werdisastra, baik versi asli maupun yang sudah dialihbahasa, nama beliau ditulis dengan Kiai Rawan. Zainalfattah dalam bukunya menyebut nama yang sama, dengan tambahan alias, yaitu Kiai Irawan.

Buku Sejarah Sumenep (2003) mengutip kedua buku itu dengan menyebut Kiai Rawan dan Kiai Irawan secara bersamaan. Namun di pasarean beliau ditulis Gung Rahwan, dengan tambahan Kiai Abdurrahim bin Abdullah.

Kiai Rahwan atau Kiai Rawan sejatinya bukan asli Sendir. Beliau membabat Sendir yang dulunya merupakan kawasan angker.

Menurut salah satu pemerhati sejarah di Sumenep, R P Mohammad Mangkuadiningrat, kawasan Sendir dan sekitarnya dikenal tak subur. Namun berkat karomah Kiai Rahwan dan keturunan beliau, beberapa kawasan menjadi daerah subur setelah dilewati tapak kaki sang Wali.

“Dalam sebuah riwayat kuna, saat beliau menginjak tanah yang tandus, diikuti dengan tumbuhnya rumput dan tetumbuhan lainnya,” kata Mohammad.

ONDUNG. Ratusan pohon Bambu menunduk ta'zhim di area Pasarean Kiai Rahwan. (Foto/RM Farhan)
ONDUNG. Ratusan pohon Bambu menunduk ta’zhim di area Pasarean Kiai Rahwan. (Foto/RM Farhan)

Yang unik, di kawasan berbambu itu, puluhan pohon bambu di kanan-kiri ondung (menunduk). Seakan membentuk atap melengkung atau mirip terowongan.

Konon, ratusan bambu di sekitar pasarean Kiai Rahwan, atas idzin Allah, menjadi atap alam. Menaungi kompleks pasarean. Menunduk ta’zhim.

Menurut sejarah dan babad, Kiai Rahwan adalah putra Kiai Andasmana. Kiai Andasmana bersaudara dengan Kiai Astamana, leluhur Kiai Kecer, Banasare; dan juga Kiai-kiai di Parongpong, Dasuk. Keduanya disebut sebagai putra Pangeran Bukabu.

Namun sampai di sini dinilai beberapa pemerhati sejarah terdapat kejanggalan. Pasalnya, Pangeran Bukabu, masa hidupnya jauh sebelum Jokotole. Sedang cucunya malah menikah dengan cicit Jokotole.

“Perbedaan waktu yang sangat jauh,” kata Mohammad.

Terlebih, sebagian ahli silsilah di keraton Sumenep menyebut leluhur Kiai Rahwan ialah Sunan Kudus.

Begitu juga yang disimpan keluarga kiai di Parongpong. “Pangeran Bukabu ialah cicit Sunan Kudus.

Berdasar catatan turun-temurun di sini,” kata Kiai Abdul Qadir di Parongpong, pada Majalah ini, beberapa waktu lalu.

Catatan tersebut hampir ada kesamaan dengan catatan di Pamekasan, dan beberapa daerah di Madura Barat. Di sana tertulis Kiai Andasmana bin Kiai Bukabu (ada yang menulis Kabu-kabu) bin Kiai Mandaraga (ada yang menulis Pangratobumi) bin Panembahan Kalijaga bin Sunan Kudus.

Beberapa versi ini memang perlu dikaji ulang. Meski hal itu tak akan pernah mengurangi kebesaran nama Kiai Rahwan.

Pernikahan Kiai Rahwan dengan Nyai Susur dikaruniai seorang putra laki-laki bernama Kiai Kumbakara (versi babad dan sejarah). Di banyak catatan silsilah tertulis Kiai Kumbasari atau Kiai Kumbisari. Sang putra dikenal dengan sebutan Kiai Sendir ke-I.

Kiai Sendir ke-I berputra Kiai Abdurrahim alias Kiai Sendir ke-II. Beliau menikah dengan putri Kiai Gunung Galugur (kiai Abdullah) bin Kiai Astamana. Jadi isteri Kiai Sendir ke-II adalah sepupu dua kali (dupopo) ayahnya. Pernikahan keduanya dikaruniai putra bernama Kiai Abdullah (Kiai Sendir ke-III). Kiai Abdullah ini berputra tiga orang, dua perempuan, dan seorang laki-laki. Salah satu putri beliau menikah dengan Kiai Abdul Qidam, Arsoji, Pamekasan; dan menurunkan putra bernama Kiai Abdullah alias Bindara Bungso di Batoampar: ayah Bindara Saut, raja Sumenep.

Putra laki-laki Kiai Sendir ke-III bernama Kiai Abdurrahman alias Kiai Agung Raba, di Pademawu, Pamekasan. Sosok ulama besar Pamekasan yang dikenal dengan sebutan Pakunya Pulau Madura.

Dengan demikian, dari Kiai Rahwan ini bermunculan tokoh-tokoh Ulama dan sekaligus Umara di Madura, khususnya di Sumenep dan Pamekasan; dari dahulu hingga kini. Dari dua kabupaten ini melebar hingga daerah tapal kuda dan beberapa kawasan lain di Nusantara.

R B M Farhan Muzammily, Mata Madura

Exit mobile version