matamaduranews.com-SUMENEP-Kurang lebih dua ratus delapan puluh sembilan silam, saat peristiwa bersejarah sekaligus berdarah itu terjadi. Kala itu merupakan masa memanas peralihan dinasti yang berbeda kultur.
Tahun 1750 saat putra dari Kiai Abdullah alias Entol Bungso, yakni Bindara Saot naik tahta keraton Sumenep. Isyarat langit memang tidak pernah meleset.
Puluhan tahun sebelumnya, Kiai Faqih, seorang alim besar dari bumi Lembung (sekarang masuk Kecamatan Lenteng) menyaksikan sendiri “wahyu keprabon†dari arah Timur melesat menuju sebuah bilik santri.
Cahaya benderang laksana kobaran api itu seakan menemukan wadahnya pada diri Bindara Saot. Seorang santri, anak angkat, sekaligus keponakan Kiai Faqih sendiri. Dan di awal-awal duduknya Ratu Rasmana di atas singgasana Keraton Sumenep pasca peristiwa Ke’ Lesap (1750), isyarat langit itu kembali muncul. Singkat kata, pihak keraton sendiri menjemput “satrio piningit†untuk dinikahkan dengan sang Ratu.
Nah, kala itulah sejarah baru sekaligus peristiwa berdarah dimulai. Intrik keraton yang dibalut kecemburuan memuncak, membuat segelintir elit keraton terang-terangan membangkang. Khususnya, wakil raja sendiri, yaitu Patih Raden Purwonegoro.
Sang patih mencintai sang Ratu, namun tak berbalas. Sakit hatinya tambah parah melihat justru yang dipilih sang Ratu berasal dari lapisan masyarakat bawah, yang ia sebut sebagai “orang gunungâ€.
Di situlah kemudian muncul peran seorang Kiai Sawunggaling, Sang Eksekutor. Namun, peran Sawunggaling yang begitu heroik saat mengeksekusi Patih Purwonegoro, yang membangkang alias makar, tak lepas dari keberadaan tokoh inisiator, Kiai Singotruno. Tokoh yang selanjutnya dikenal sebagai “Tameng Raja†ini.
Sebutan tameng sejatinya mengacu pada sebuah keluarga elit bangsawan di Sumenep di abad 18. Keluarga yang merupakan paduan bangsawan dan ulama. Pusat keluarga ini berada di kawasan Kepanjin, saat ini merupakan sebuah kelurahan di kawasan Kota Sumenep. Yaitu yang dikenal dengan komplek Rumah Panggung.
â€Komplek ini merupakan kediaman Patih Ronggodiboso. Sebagian riwayat menyebut sudah ditempati sebelumnya oleh ayah Patih Ronggodiboso, yaitu Patih Ronggomiring,†kata Iik Guno Sasmito, salah satu anggota keluarga Rumah Panggung, pekan lalu.
Menurut keterangan Iik, Rumah Panggung juga berfungsi sebagai panggurun, atau pesantren. Bekas langgar yang biasa digunakan Patih Ronggodiboso yang dikenal alim untuk mengajar segenap lapisan masyarakat, baik bangsawan atau rakyat biasa. Di sana juga selanjutnya digunakan Kiai Safiruddin alias Kiai Singotruno untuk mengajar. Kiai Singotruno adalah besan putra Patih Ronggodiboso, yaitu Raden Atmologo atau Raden Kromosure.
â€Putri Kiai Singotruno dinikahi Raden Tumenggung Ronggo Kertoboso Pratalikromo, anak Raden Kromosure,†jelas Iik.
Keluarga Rumah Panggung, khususnya di era Patih Ronggodiboso merupakan keluarga elit keraton yang cukup diperhitungkan di masanya. Masa kejayaan keluarga Rumah Panggung terus berlangsung pasca Ronggodiboso, di mana jabatan patih jatuh ke putranya yang dikenal di sejarah dengan panggilan Patih Wongso, yaitu panggilan dari Raden Demang Wongsonegoro.
Kembali pada Kiai Singotruno, beliau bersusur-galur pada keluarga besar Pangeran Katandur alias Sayyid Ahmad Baidhawi, cucu Sunan Kudus. Singotruno merupakan putra Kiai Rombu alias Gung Rombu, tokoh alim besar Sumenep di Gapura. Kiai Rombu adalah putra Kiai Khatib Pranggan, salah satu putra Pangeran Katandur.
Kiai Singotruno juga menjabat sebagai Manteri Nayaka Keraton Sumenep di masa Ratu Tirtonegoro dan Bindara Saot. Masa di mana kala itu terjadi pro-kontra yang memanas hingga terjadi peristiwa berdarah di tahun 1750 M.
Naiknya Bindara Saot ke singgasana keraton membuat Patih kala itu meradang. Kecemburuan yang memuncak akibat tidak diterimanya rasa cintanya pada sang Ratu membuatnya kalap dan membangkang. Ia bahkan berani mengirim tantangan terbuka kepada sang Raja.
Meski Bindara Saot merasa tersinggung atas tantangan itu, dan bermaksud meladeni, namun beliau tetap hormat pada sang istri. Sehingga, saran Ratu Tironegoro yang bermaksud mendinginkan suasana batin Bindara Saot diterimanya. Saran itu berupa siasat membuat “tameng hidup†yang selanjutnya memberi pelajaran atas kekurangajaran Patih Purwonegoro.
Siasat itu muncul dari Kiai Singotruno. Singotruno punya ide agar Purwonegoro dipancing ke keraton dengan kabar bahwa “raja†tengah sendirian di pendapa keraton. “Raja†diperankan oleh Kiai Sawunggaling, seorang prajurit utama.
Saat itulah Purwonegoro yang dikuasai nafsu membunuh dengan membabatkan pedangnya pada “Raja†Sawunggaling dari arah belakang. Luput, Sawunggaling dengan lincah menghindar sembali membabatkan kerisnya ke tubuh Purwonegoro. Belum tewas, Singotruno yang berdiri di samping “raja†langsung menusukkan tombaknya ke tubuh Patih. Purwonegoro tewas seketika.
Atas jasanya, Kiai Singotruno diangkat sebagai Patih menggantikan Purwonegoro, dan Sawunggaling diangkat menjadi menteri.
Keluarga keraton pun gempar. Pro-kontra terjadi. Pasalnya, Patih Purwonegoro masih terhitung sepupu Ratu Tirtonegoro. Upaya menuntut balas hampir terjadi. Namun yang berdiri di depan Ratu dan Raja adalah keluarga Rumah Panggung. Tokoh-tokohnya seperti Raden Wongsonegoro, Raden Kromosure, keduanya adalah putra Patih Ronggodiboso yang sangat disegani. Juga Kiai Singotruno yang alim dan pilih tanding. Sehingga, upaya menuntut balas tidak sampai terjadi.
â€Sehingga kemudian, Ratu Tirtonegoro mempersilakan bagi keluarga yang kontra agar kembali ke Pamekasan dan diperkenankan tetap memakai gelar Raden. Dan yang pro mengubah gelar kebangsawanannya dengan gelar Kiai,†kata pemerhati sejarah Sumenep R. B. M. Muhlis.
RM Farhan Muzammily