Budaya

Kisah Bindara Saot, Ratu Rasmana, dan Angin Perubahan

×

Kisah Bindara Saot, Ratu Rasmana, dan Angin Perubahan

Sebarkan artikel ini
Kisah Bindara Saot, Ratu Rasmana, dan Angin Perubahan
Prasasti di Kubah Bindara Saot di Asta Tinggi Sumenep. (Foto/Mata Madura)

matamaduranews.com-SUMENEP-Nama Bindara Saot di Sumenep khususnya, dan Madura pada umumnya begitu melegenda.

Kisahnya legendaris di samping pendahulunya beberapa abad sebelumnya: Joko Tole.

Bindara Saot merupakan tokoh penguasa Sumenep yang berasal dari luar istana.

Namun wahyu keprabon ternyata jatuh pada seorang guru ngaji dari pelosok kampung, sebagai pembawa angin perubahan dalam sejarah keraton Sumenep.

Putra Kiai Agung Batuampar itu dipinang seorang ratu pada 1750. Sebelumnya Bindara Saot menikah dengan Nyai Izzah, putri Kiai Jalaluddin dengan Nyai Galu.

Nyai Galu, Kiai Pekke dan Nyai Nurima (ibu Bindara Saut), bersaudara kandung. Ketiganya adalah putra-putri Kiai Khathib Bangil, di Parongpong, Kecer, Dasuk.

Jadi dengan demikian, antara Bindara Saot dengan Nyai Izzah masih bersaudara sepupu. Pernikahan ini membuahkan dua anak laki-laki, yaitu Baha’uddin dan adiknya, Asiruddin (dalam sebuah catatan ditulis Nashiruddin).

Sebelumnya, Bindara Saot belajar mengaji pada pamannya, Kiai Pekke, Kiai Lembung I. Sepeninggal Kiai Pekke, Bindara Saot menggantikan pamannya morok (mengajar) di pesantren Lembung.

Salah satu kebiasaan Bindara Saot ialah sering keluar rumah dengan pakaian penyabit rumput, sambil membawa garunju (tempat sabitan rumput). Hal itu dilakukannya untuk menutupi keadaan dirinya yang dikenal alim dan ‘arifbillah.

Hingga suatu saat datanglah utusan dari keraton Sumenep dengan membawa pesan Ratu Rasmana. Saat itu Bindara Saot dengan busana penyabit rumput dan peralatannya dijumpai punggawa keraton.

Setelah menyampaikan maksud berupa undangan dari Ratu, Bindara Saot pun langsung bergegas ikut. Beliau memilih langsung berangkat tanpa mengganti pakaian dengan yang bagus atau pun membuang garunjunya dalam perjalanan.

Ratu Rasmana merupakan satu-satunya penguasa perempuan dalam sejarah pemerintahan di Madura Timur. Selain beliau sebenarnya di Madura juga pernah ada ratu perempuan, namun di wilayah Pamelengan atau Pamekasan di masa-masa awal.

Ratu yang bernama Nyai Banu itu adalah putri satu-satunya penguasa Pamekasan yang bernama Kiai Wonorono.

Bedanya dengan Ratu Rasmana, Ratu Pamelengan menikah dengan penguasa di wilayah Sampang, yaitu Raden Adipati Pramono.

Sejak itu Sampang dan Pamekasan jadi satu di bawah kekuasaan Adipati Pramono yang selanjutnya bergelar Pangeran Wonorogo atau Bonorogo (dalam catatan silsilah Sumenep ditulis Wonorejo atau Bonorejo).

Adipati Pramono dan Ratu Banu berputra Panembahan Ronggosukowati (memerintah 1530-1616 Masehi).

Kembali pada Ratu Rasmana, beliau diangkat sebagai penguasa Sumenep menggantikan keponakannya Pangeran Cakranegara IV atau yang dikenal dengan sebutan Pangeran Lolos (memerintah 1744-1749).

Sang Pangeran merupakan satu-satunya penguasa Sumenep yang meloloskan diri saat Sumenep kalah perang dalam peristiwa kisruh di Madura yang didalangi Ke’ Lesap.

Sebelum Pangeran Lolos, tampuk pemerintahan Sumenep dipegang oleh Pangeran Jimat yang bergelar Pangeran Cakranegara III (memerintah 1721-1744).

Nah, Pangeran Jimat ini bersaudara dengan ibu Pangeran Lolos, dan juga sekaligus Ratu Rasmana di atas. Ketiganya adalah putra-putri Pangeran Rama alias Pangeran Cakranegara II, penguasa Sumenep yang memerintah sejak 1678 hingga 1709 Masehi.

Sejatinya, Ratu Rasmana berasal dari trah Pamekasan. Ayahnya, Pangeran Rama adalah putra Pangeran Gatutkoco alias Ario Adikoro I.

Adikoro I merupakan putra Pangeran Purboyo. Dan Pangeran Purboyo adalah putra Panembahan Ronggosukowati. Jadi sejatinya, Ratu Rasmana adalah juga keturunan Nyai Banu alias Ratu Pamelengan di atas.

Sementara ibu Pangeran Rama, yaitu isteri Adikoro I adalah putri dari penguasa Sumenep yang bernama Tumenggung Yudonegoro (Raden Bugan alias Raden Wongsojoyo).

Tumenggung Yudonegoro (memerintah 1648-1672 Masehi) memang tidak memiliki anak laki-laki. Semuanya anaknya perempuan. Yaitu Raden Ayu Kacang, Raden Ayu Otok, Raden Ayu Artak, dan Raden Ayu Batur. Sehingga otomatis yang menggantikan Tumenggung Yudonegoro adalah menantu-menantunya.

Raden Ayu Kacang menikah dengan Pangeran Wirosari. Raden Ayu Otok menikah dengan Pangeran Gatutkoco alias Ario Adikoro I Pamekasan. Raden Ayu Artak menikah dengan Pangeran Panji Pulangjiwo. Dan Raden Ayu Batur menikah dengan Tumenggung Baskara dari Pamekasan.

Nah, sepeninggal Tumenggung Yudonegoro, kepemimpinan di Sumenep dilanjutkan oleh menantu-menantunya, lalu cucu-cucunya, hingga Ratu Rasmana.

Dan terakhir beralih ke tangan trah Kiai Agung Batuampar, diawali dengan naiknya Bindara Saot ke pucuk tahta Madura Timur.

RM Farhan

KPU Bangkalan

Respon (1)

Komentar ditutup.