Kisah Gus Dur dan Habib Ja’far Alkaff

×

Kisah Gus Dur dan Habib Ja’far Alkaff

Sebarkan artikel ini
Kisah Gus Dur dan Habib Ja'far Alkaff
Gus Dur dan Habib Ja'far Alkaff (matamadura)

matamaduranews.com-Suatu ketika, Gus Dur memasuki salah satu mal di Jakarta. Entah bertujuan apa gerangan ke mal. Boleh jadi mau ke Gramedia atau ke bagian pakaian.

Secara tidak sengaja, kebetulan, ada seseorang yang memanggil, “Gus..Gus Dur!!!..”.

Merasa ada yang memanggil, Gus Dur pun menoleh ke arah orang yang memanggilnya. Ternyata yang memanggil adalah orang yang sangat dikenal oleh Gus Dur, yaitu Habib Ja’far Alkaff Kudus. Karena memang mereka berdua sahabat karib atau bolo plek.

Gus Dur menghentikan langkahnya dan berbelok menuju dan menghampiri Habib Ja’far Alkaff Kudus. Mereka berjabat tangan erat. Masing-masing tanya kabar dan berbicara ringan. Ngobrol ngalor ngidul.

Tiba-tiba saja Habib Ja’far mengajak Gus Dur berkunjung ke toko kaset. Ya, toko kaset pita. Karena ini kisah jauh sebelum reformasi. Orba sedang di atas puncak kekuasaan dan kekuatannya. Gus Dur masih ketua PBNU. Habib Ja’far tahu kalau Gus Dur suka musik. Gus Dur pun bersemangat mengikuti ajakannya.

Sesampai di toko kaset. Habib Ja’far memborong kaset Obbie Mesakh dan dihadiahkan kepada Gus Dur. Sambil memberikan kaset-kaset ke Gus Dur, Habib Ja’far berkata, “Ini Gus kaset yang bagus sekali,” sembari menunjukkan kaset Obbie Mesakh. Lanjut Habib Ja’far, “Begini lagunya Gus. ‘Sungguh aneh tapi nyata, orang buta jadi presiden’,” dengan suara lantang dan dinyanyikan berkali-kali oleh Habib Ja’far.

Syair itu gubahan atau plesetan Habib Ja’far dari sepenggal syair “Sungguh aneh tapi nyata, tak kan terlupa…” yang terdapat dalam lagu “Kisah-Kasih di Sekolah”, Obbie Mesakh yang meluncur tahun 1987.

Tentu saja Habib Ja’far tidak berniat menghina dengan kata “buta”. Akan tetapi, Habib Ja’far sedang menyuarakan suara hatinya yang jujur atas suatu misteri masa depan yang akan terjadi. Sebentuk menyibak tabir dengan bahasa simbolik atau tanda yang menandai sesuatu yang dituju.

Gus Dur yang paham betul dengan sahabat karibnya itu, memilih tersenyum dan berterima kasih. Gus Dur paham bahwa sahabatnya itu adalah kekasih Allah, wali, yang weruh sadurunge winara (tahu sebelum kejadian). Barangkali inilah yang disebut la ya’rifu al-wali illa al-wali (tidak mengenal seorang wali, kecuali wali).

Beberapa tahun kemudian. Pak Harto lengser keprabon. Orba runtuh. Reformasi meletus. Lagu Habib Ja’far gubahan dari lagu Obbie Mesakh menjadi kenyataan: Gus Dur jadi Presiden Republik Indonesia.

Perlahan tapi pasti. Weruh sadurunge winara Habib Ja’far dikenal publik. Dua pemilihan presiden, SBY dan Jokowi, membuktikan itu. Habib Ja’far bersuara bahwa yang akan jadi SBY, ya betul SBY jadi presiden dua periode. Habib Ja’far bilang yang akan jadi presiden adalah Jokowi, ya benar Jokowi jadi presiden dua periode. Habib Ja’far dengan suara yang mantap menyatakan, “Pak Jokowi dadi meneh. Ping pindo,” (Pak Jokowi jadi lagi. Dua kali).

Kalau kita menyimak suaranya, sepertinya Habib Ja’far sangat yakin dengan apa yang diucapkannya. Bahkan seakan sesuatu yang sedang dikatakan adalah nyata dan hadir di depan mata. Padahal berisi sebuah prediksi masa depan yang masih banyak kemungkinan yang akan terjadi. Sebab, seringkali beliau mengatakannya berkali-kali. Jokowi Presiden. Jokowi dadi meneh...Jokowi dadi meneh.

Habib Ja’far terkenal majdzub. Orang yang kesadarannya ditarik dari kesadaran manusiawi ke kesadaran Ilahi. Karena memang jadzab arti dasarnya tertarik, sehingga gaya hidup dan pandangan hidupnya sering kali berbeda dengan masyarakat umum. Kehidupan dan cara memandang sesuatu terlihat anti mainstream, khawariq al-‘adat.

Mungkin bagi kita yang awam, kita hanya melihat fisiknya Habib Ja’far. Rambut gondrong. Kumis tebal sampai menutupi bibirnya. Kuku-kukunya yang panjang-panjang. Akan tetapi, fisiknya terlihat selalu bersih. Dan kita tidak tahu gerak perubahan substansial yang terjadi di alam spiritualitasnya yang dinamis dan dahsyat.

Ada satu hal yang bagi saya menarik dari pakaian Habib Ja’far, yaitu konsisten menggunakan kopiah hitam. Bagi saya, Habib Ja’far menggunakan kopiah hitam mengandung pesan simbolik kepada umat Islam. Kopiah atau peci hitam merupakan simbol kesalihan keislaman yang bersinergi dengan kesalihan kebangsaan. Mayoritas masyarakat Muslim Indonesia menggunakan peci hitam.

Peci hitam dipopulerkan oleh Bung Karno, sehingga orang Mesir menyebutnya qalansuwa Ahmad Soekarno. Di saat kita masih sekolah di Mesir, ada salah satu teman yang menghadiahkan peci hitam pada salah satu pemikir Muslim Mesir. Dengan reflek sang pemikir berkata, “Qalansuwa Soekarno. Rajulun kabir.” (peci Soekarno. Orang besar).

Boleh dibilang, peci hitam sebentuk representasi nasionalisme Indonesia. Habib Ja’far dengan sengaja sedang memberi pesan nasionalisme sekaligus pesan Islam nusantara. Sebab, peci hitam sejatinya sudah ada dan dipakai kaum santri dan tukang sate jauh sebelum diviralkan oleh Bung Karno. Bung Karno menggunakan peci hitam sebagai representasi masyarakat Muslim Nusantara yang mencintai bangsanya (nasionalisme).

Peci hitam paling sederhana dan paling mudah untuk ditangkap maknanya oleh semua masyarakat Indonesia. Habib Ja’far sangat mengerti itu. Beliau tampil sebagai habib yang nasionalis, mencintai tradisi, budaya, dan simbol-simbol yang hidup di tengah-tengah masyarakat bangsa ini.

Selain Habib Ja’far Alkaff. Ada Habib Syaikhon yang terkenal majdzub. Di kalangan para kiai pun kita banyak mengenal kiai-kiai yang majdzub atau jadzab.

Dalam kitab dan dalam pengalaman realitas bahwa jadzab itu ada dua macam. Pertama, jadzab yang bersifat sementara alias berbatas waktu. Ketika sedang jadzab, seseorang hidup anti manstream. Setelah move on dari jadzab-nya, ia kembali hidup seperti manusia pada umumnya. Kedua, jadzab yang bersifat semipermanen sampai ajal menjemputnya.

Tepat 1 Januari 2021, Habib Ja’far Alkaff telah kembali ke haribaan-Nya. Meninggalkan alam fana dan baqa bersama kekasihnya, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un.

Kedua sahabat karib, Habib Ja’far dan Gus Dur, meninggalkan alam fana ini hanya beda satu hari. Gus Dur wafat 30 Desember. Habib Ja’far 1 Januari.

Pesan substansial yang saya tangkap bahwa betapa Habib Ja’far Alkaff sangat mencintai bangsa dan negara ini, sehingga tak pernah berhenti memikirkan dan mendoakan untuk kebaikan dan kemaslahatan bangsa ini. Habib Ja’far adalah salah satu patok panceng dan rujukan bagi bangsa ini, marja’, telah meninggalkan kita semua.

Alfatihah…

Tulisan ini disadur dari republika.co.id yang berjudul Kisah Jadzab Habib Ja’far Alkaff dan Gus Dur yang ditulis oleh: Mukti Ali Qusyairi, Ketua LBM PWNU DKI Jakarta dan Anggota Komisi Fatwa MUI Pusat.

KPU Bangkalan