Religi

Kisah Keramat Wali Tiada Duanya Ini, Hanya Ada di Sumenep (1)

Haul Akbar Kiai Ali Barangbang di Asta Gumo', Barangbang, Sumenep. Insert: Pasarean Kiai Ali. (Foto/RM Farhan)

matamaduranews.com-SUMENEP-Pagi tadi, Ahad (01/12/2019), suasana sekitar Asta Gumo’, Kalimook, Kecamatan Kalianget, Sumenep dibanjiri manusia. Laki-laki, perempuan, tua-muda, anak-anak, hingga balita. Sejatinya, Asta Gumo’ didatangi pengunjung mungkin sudah biasa. Karena asta keramat yang menjadi lokasi peristirahatan seorang waliyullah besar di masanya ini memang menjadi magnet tersendiri di Sumenep. Namun kali ini magnet tersebut memancarkan daya tarik semakin kuat dengan acara Haul Sang Wali yang dikenal dengan nama Kiai Ali Barangbang itu.

Haul Kiai Ali biasanya memang diadakan setiap tahun. Menurut Ketua Panitia acara, KH Afif Ma’ruf, meski sesederhana mungkin, haul Kiai Ali tidak pernah terlewati. “Terakhir, tahun 2017 kemarin yang dikemas seperti hari ini. Yakni dalam acara haul akbar. Dalam setiap haul akbar yang datang hingga ribuan orang. Yang kali ini hingga kurang lebih sekitar tiga ribuan orang,” katanya.

Haul Kiai Ali tidak hanya dihadiri oleh keturunannya, yang berdasar informasi dari salah satu sesepuh Bani Ali tersebar di mana-mana. Dalam pantauan Mata Madura, haul Kiai Ali dihadiri oleh masyarakat umum yang banyak di antaranya memang memiliki sanad keilmuan hingga Kiai Ali. Dalam sebuah keterangan di Asta Gumo’, Kiai Ali merupakan peletak dasar penyebaran ilmu tashauf di Sumenep.

Seperti yang datang kali ini, mereka berasal dari keturunan Kiai Ali yang menyebar di seluruh Jawa Timur dan Bali, juga para alumni pesantren-pesantren yang diasuh oleh keturunan Kiai Ali. Seperti alumni pesantren di Loteng (Pasarsore, Karangduak), Barangbang, Sumenep bagian timur, wilayah kepulauan, dan lain-lain. Selain bacaan tahlil, shalawat, dan doa bersama, haul diisi juga dengan ceramah agama oleh KH Abdul Qodir Muhammad dari Proppo, Pamekasan.

Asal-usul

Kiai Ali lahir di sebuah kampung bersejarah di kawasan desa Bangkal, Kecamatan Kota Sumenep. Kampung itu bernama Paddusan. Disebut bersejarah, karena kampung itu terkait dengan seorang tokoh bernama Sunan Paddusan. Sang Sunan ini merupakan cucu menantu Joko Tole, Raja Sumenep. Sunan Paddusan juga merupakan cikal-bakal kampung Paddusan. Menurut cerita turun-temurun, Sunan Paddusan adalah tokoh penyebar agama Islam di kawasan tersebut. Mereka yang kemudian masuk Islam, setelah berikrar, lantas edudus (dimandikan) oleh Sang Sunan. Sejak saat itu, tempat adudus itu dikenal dengan Paddusan, yaitu pa’addusan (tempat dudus).

Selain Paddusan, Sunan Paddusan juga terkait dengan asal-usul desa Parsanga. Untuk kepentingan adudus (memandikan) itu sang Sunan membuat paregi atau sumur berjumlah sanga’ atau sembilan. Dari dua kata itu lokasi sembilan sumur itu menjadi sebuah desa bernama Parsanga, singkatan dari paregi sasanga’ (sembilan perigi atau sumur).

Asal-usul sang Sunan yang di sejarah bernama asli Raden Bindara Dwiryapada ini masih terkait dengan tokoh-tokoh wali sembilan atau Wali Sanga di bumi Jawadwipa. Dwiryapada adalah anak Haji Utsman. Haji Utsman adalah salah satu putra Raja Pandita alias Sayyid Ali Murtadla. Raja Pandita ini adalah saudara tua dari Kangjeng Suhunan Ampel, Imam Wali Sanga.

Selain Sunan Paddusan, tokoh lain yang bernisbat pada Paddusan ialah Kiai Ubaidillah yang dikenal dengan Kiai Khatib Paddusan. Istilah Khatib secara sempit mengacu pada pengkhotbah pada Shalat Jumat atau shalat dua hari raya bagi umat Islam. Secara umum bermakna tokoh alim yang menjadi jujukan umat di suatu tempat. Kiai Khatib Paddusan ini adalah ayah Kiai Ali Barangbang.

Kiai Khatib Paddusan merupakan salah satu dari tiga putra Pangeran Katandur (Sayyid Syaikh Ahmad Baidawi), seorang ulama pendatang dari negeri Kudus yang ahli di bidang pertanian. Pangeran Katandur juga menjadi cikal-bakal kerapan sapi yang menjadi ikon sekaligus maskot Pulau Garam. Di sisi lain, posisi Pangeran Katandur di masa selanjutnya merupakan tokoh yang dikeramatkan, karena merupakan salah satu leluhur ulama sekaligus umara di Sumenep. Beliau merupakan cikal-bakal kiai-kiai sekaligus rato Sumenep yang dikenal bisa memadukan keilmuan, kewaliyan, dan kekuasaan. Di kalangan ulama, Kiai Ali Barangbang merupakan keturunan Pangeran Katandur yang paling menonjol.

Jika ditarik ke atas lagi, Pangeran Katandur adalah putra Panembahan Pakaos di Kudus. Sang Panembahan ini adalah salah satu putra dari Kangjeng Suhunan Kudus alias Sayyid Ja’far Shadiq, salah satu anggota Wali Sanga di tanah Jawa.

Hijrah ke Barangbang

Tidak banyak informasi mengenai masa kecil Kiai Ali, termasuk riwayat keilmuannya. Namun mengingat posisi ayahnya yang dikenal alim besar, begitu juga paman-pamannya, yaitu Kiai Khatib Pranggan dan Kiai Khatib Sendang, besar kemungkinan sanad keilmuan beliau bersambung kepada mereka. Hingga suatu ketika, Kiai Ali hijrah ke sebuah tempat untuk berkhalwat. Tempat yang selanjutnya dikenal dengan sebutan Barangbang.

Konon, namanya mulai dikenal oleh masyarakat sekitar, dan juga pihak syahbandar di dekat Barangbang. Banyak karomah-karomah yang ditunjukkan pada banyak orang di sana. Hingga lantas banyak orang yang kemudian tinggal di dekat tempat khalwat Kiai Ali, di samping untuk mengaji kepada beliau. Kiai Ali kemudian membangun sebuah langgar kecil, tempat untuk molang kitab. Langgar itu hingga kini masih ada, meski ada beberapa perubahan kecil di masa sekarang.

Melalui pihak syahbandar dan perantau luar Madura atau saudagar- saudagar pribumi atau non pribumi (Cina) dari seberang yang berkongsi dengan pihak keraton, kekeramatan Kiai Ali menembus tembok keraton. Belum bisa dipastikan di masa pemerintahan siapa Kiai Ali hidup. (bersambung)

RM Farhan Muzammily

Exit mobile version