Religi

Kisah Keramat Wali Tiada Duanya Ini, Hanya Ada di Sumenep (2)

Pasarean Kiai Ali dan cucu sekaligus penggantinya, Kiai Daud,di Asta Gumo', Sumenep. (Foto/RM Farhan)

matamaduranews.com-SUMENEP-Melalui pihak syahbandar dan perantau luar Madura atau saudagar- saudagar pribumi maupun non pribumi (Cina) dari seberang, yang berkongsi dengan pihak keraton, kekeramatan Kiai Ali menembus tembok keraton.

Guru Para Bangsawan

Ketika kekeramatan Kiai Ali sampai di telinga Raja, dan diketahui asal-usulnya sebagai titisan Pangeran Katandur, banyak kemudian anak-anak bangsawan yang dimondokkan ke Barangbang, termasuk putra sang raja sendiri.

Meski santrinya tambah banyak, dan tak hanya dari kalangan rakyat biasa, anak-anak pedagang dan saudagar, bahkan dari warga non pribumi yang masuk Islam sebab Kiai Ali, juga utamanya para putra bangsawan keraton Sumenep, tidak membuat Kiai Ali jumawa. Beliau tetap tawadlu’. Meski di satu sisi beliau juga dikenal dengan sikapnya yang keras jika dalam urusan agama.

Kiai Ali juga dikenal tidak membeda-bedakan status sosial dan latar belakang para santrinya. Semua beliau perlakukan sama. Baginya, yang membedakan status manusia hanya dalam pandangan Sang Kuasa belaka, bukan dalam pandangan sesama mahluk.

Perselisihan dengan Keraton, dan Kisah Monyet Mengaji

Sikap Kiai Ali yang keras dalam mendidik tanpa memperdulikan siapa santrinya, tercatat dalam tinta emas sejarah. Ceritanya, di suatu waktu, beliau memukul salah satu santrinya yang bandel dan tidak serius belajar. Santri itu juga dikenal bodoh, dalam artian tidak bisa menyerap ajaran yang diberikan gurunya. Kebetulan santri tersebut adalah salah satu putra raja Sumenep.

Konon, sang santri itu dipukul hingga berdarah. Diperlakukan demikian sang santri pulang dan mengadu perihalnya pada sang raja, yang tak lain adalah ayahnya. Kiai Ali pun dipanggil. Beliau disidang. Menurut Kiai Ali salah satu cara mentransfer ilmu ialah dengan kedisiplinan yang keras. Raja pun menyanggah itu. Kiai Ali menguatkan, bahwa dengan sistem tersebut, jangankan manusia, monyet pun akan menjadi pandai mengaji. Raja pun minta bukti. Kiai Ali meminta waktu sebulan, menyanggupi.

Kiai Ali lantas memiara seekor monyet. Monyet itu selalu diajaknya setiap beraktifitas mengajar. Sebelum ikut mengaji, monyet itu dipukulnya dengan rotan kecil. Selama beberapa hari, atas ijin Allah, monyet itu pun mengaduh kesakitan, dalam bahasa manusia seperti umumnya. Kiai Ali pun tidak lagi memukulnya dengan rotan. Si monyet ikut pengajian bersama santri.

Suatu ketika, si monyet disuruh memegang serabut yang dibakar. Meski sudah bisa mengaduh sakit, dan menjadi santri Kiai Ali, monyet tetaplah monyet. Meski taat, ia tidak dianugerahi keluasan akal. Serabut yang membara itu dipegangnya. Merasa panas, monyet itu berteriak kepanasan sebagaimana bahasa manusia pada umumnya.

Setelah itu, monyet itu diajari baca shalawat dan mengaji al-Quran. Atas ijin Allah, monyet ini pun hafal isi kitab shalawat dan juz pertama Kitab Al-Quran. “Jika diminta menunjukkan karomah wali, se Jawa Timur saja misalnya, tidak ada karomah seperti ini, monyet sampai hafal Barzanji dan satu juz Al-Quran dalam waktu singkat,” kata KH Abdul Qadir Jailani, salah satu sesepuh Bani Ali dalam acara Haul Akbar.

Selanjutnya, meneruskan kisah monyet di atas, sesuai kesepakatan, tibalah saatnya raja menagih janji Kiai Ali. Si monyet lantas dihadirkan di pendapa keraton. Disaksikan raja, dan segenap petinggi keraton, ulama, tokoh-tokoh di masa itu, si monyet dengan mengambil sikap sempurna melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran. Seantero Sumenep geger. Seekor monyet mengaji Al-Quran dengan fasih, dan hafal di luar kepala.

Konon, sejak peristiwa itu, sang raja yang sejatinya juga seorang arif bersabda, bahwa siapapun yang menimba ilmu agama, namun tidak menginjak tanah Barangbang di mana Kiai Ali berada, maka keilmuannya tidak sah. Nama Kiai Ali semakin keramat.

Belakangan, kisah di atas menjadi inspirasi warga Sumenep hingga di kemudian hari dalam memotivasi generasi muda. Ungkapan yang terkenal: mon bada oreng ta’ tao ngaji, kala ka motakka Ke Ali (kalau ada orang yang tidak bisa mengaji, berarti orang itu kalah dengan monyetnya Kiai Ali).

Penerus, dan Barangbang Masa Kini

Kiai Ali diriwayatkan menikah dua kali. Namun yang masyhur dalam catatan genealogi di Sumenep, beliau hanya menikah dengan seorang nyai dari Madura Barat. Tidak ada keterangan mengenai nama isteri Kiai Ali, hanya di catatan disebut Nyai Barangbang. Nyai Barangbang merupakan salah satu putri Nyai Aminah, Lembung, Tanah Merah, Bangkalan. Nyai Aminah adalah salah satu anak Kiai Cendana alias Sayyid Zainal Abidin, Kwanyar, Bangkalan.

Dengan Nyai Barangbang, Kiai Ali dikaruniai belasan anak. Salah satu putrinya yang terkenal bernama Nyai Tenggina, yang kemudian diperisteri Kiai Abdul Alim. Setelah Kiai Ali wafat, yang mengganti morok di Barangbang ialah Kiai Abdul Alim, setelah itu diganti Kiai Daud, putra Kiai Abdul Alim dan Kiai Tenggina.

Kiai Daud juga keramat seperti kakeknya. Beliau berputra seorang alim besar bernama Kiai Muharrar yang kemudian diambil sebagai menantu oleh Pangeran Le’nan salah satu putra utama Sultan Sumenep. Kiai Muharrar diangkat sebagai Pangolo Naghara (Penghulu Keraton) bergelar Raden Panji Miftahul Arifin. Beliau ini kemudian menurunkan Raden Bagus Hasan, pendiri Pondok Pesantren di Loteng, Pasarsore, Karangduak.

Saat ini di Barangbang, peninggalan-peninggalan Kiai Ali dirawat oleh keturunannya yang turun-temurun ada di sana. Salah satunya langgar beliau dan bekas kediamannya. Di sana juga masih berjalan tradisi morok dan terdapat lembaga pendidikan umum. (habis)

RM Farhan Muzammily

Exit mobile version