matamaduranews.com-PAMEKASAN-Kiai Abdurrahman alias Kiai Agung Rabah (Raba), begitu masyhur kisahnya di dua poros Sumenep-Pamekasan. Banyak kisah karomah beliau yang hingga kini masih terus diceritakan khususnya di wilayah yang beliau tempati hingga akhir hayatnya, yaitu di Sumedangan, Pademawu, Pamekasan.
Mata Madura dalam beberapa ulasan telah mengupas bagian-bagian dari sisi kehidupan tokoh asal Sendir, Lenteng, Sumenep ini. Masa kecilnya, perjalanannya hingga hijrah ke Pamekasan beserta keponakan sekaligus anak angkatnya, Kiai Abdullah Entol Bungso (ayah Bindara Saot, Raja Sumenep). Kali ini Mata Madura merangkum beberapa kisah karomah beliau yang terkenal, selain kisah hujan di tengah kemarau panjang di Pamellengan abad ke-17.
Perreng Sojjin dan Ikan Lele
Kisah Perreng Sojjin dan ikan lele ini begitu masyhur dan tak lepas dari kisah karomah Kiai Agung Rabah. Beliau suka menangkap ikan lele untuk beliau makan. Ikan lele tersebut beliau tusuk (sojjin dalam bahasa Madura) dengan bambu (perreng dalam bahasa Madura) untuk dibakar. Setelah masak ikan lele itu tidak seluruhnya beliau makan, tulang dari kepala sampai ekor dibiarkan utuh dan diceburkan kembali ke rawa (kolla).
Dengan ijin Allah hiduplah kembali ikan lele tersebut. Sedangkan tusuk/sojjin bambunya ditancapkan ke tanah, maka hiduplah bambu itu dan hingga sekarang bambu itu masih ada dan dikenal dengan Perreng Sojjin.
Menurut riwayat turun-temurun di Rabah, di masa perjuangan melawan Belanda, Perreng Sojjin ini menjadi senjata dan dibuat bambu runcing oleh pasukan Sabilillah yang dipimpin K. H. Zaini Mun’im yang berpusat di Galis Pamekasan, dan Pasukan Hisbullah yang dipimpin oleh K. H. Adra’i yang berpusat di Rabah. Perreng tersebut dipercaya memiliki kekuatan mistik yang luar biasa.
Ada kepercayaan dan terbukti bahwa perreng sojjin ini tidak boleh dibuat perabot alat-alat rumah dan tidak boleh dipukulkan sembarangan pada manusia dan hewan, karena akan mengakibatkan cacat bahkan kematian. Sedangkan ikan lele dipercaya tetap ada hingga sekarang, mendiami rawa-rawa (kolla) di sekitar Rabah dan hanya sesekali menampakkan diri.
Berdasar penuturan salah satu sesepuh Rabah, Kiai Ahmad Madani, ikan lele Kiai Agung Rabah berwarna putih agak coklat. Dan kepada siapa yang menemukan, ada larangan untuk ditangkap dan dimasak karena akan mendapat kualat (tola) tidak selamat, sakit hingga menyebabkan kematian.
Sedangkan Perreng Sojjin, hingga saat ini masih ada dan dirawat karena merupakan peninggalan Kiai Agung Rabah. Para peziarah tidak akan melewatkan untuk mendapat dan ngalap berkah dari perreng sojjin ini karena dipercaya banyak memberi manfaat dalam kehidupan mereka.
Burung Bangau (Dalko’) Mengirim Ikan dari Laut ke Rabah
Cerita tentang burung bangau (Dalko’) yang selalu membawa ikan laut dan tambak dibawa ke Rabah dan dijatuhkan dari pohon-pohon besar (Nangger) di sekitar Asta Rabah. Cerita ini menjadi masyhur (terkenal) karena beberapa generasi mengalami dan menyaksikan sendiri.
Menurut sesepuh diceritakan bahwa burung Dalko’ (bangau) yang membawa ikan itu memang ada dan datang semenjak dahulu setelah Kiai Agung Rabah wafat, dan berlangsung sampai beberapa generasi.
Saksi hidup yang menyaksikan akan kejadian ini, seperti disebut dalam buku “Kiai Agung Rabah, Rabah dan Sejarahnya†(susunan Abdul Hamid Ahmad, yang dieditori RBM Farhan Muzammily), yaitu Nyai Marfu’ah putri dari K. H. Abdul Wahab (penerus estafet ketujuh yang melestarikan situs Rabah).
Menurut beliau, pada waktu itu setiap hari burung-burung bangau datang dan hinggap di pohon Nangger sambil membawa berbagai jenis ikan laut, dan ikannya dijatuhkan ke bawah. Di samping dikonsumsi sendiri oleh masyarakat Rabah, ikan-ikan itu disajikan jika ada tamu yang datang ke Rabah.
Dan dalam kepercayaan para sesepuh Rabah, hal itu terjadi berkat karomah dari Kiai Agung Rabah. Dari saking banyaknya ikan yang dibawa dan dijatuhkan oleh burung bangau itu, sampai ikan-ikan dengan berbagai macam jenis tersebut dijemur dan dikeringkan, sebagaimana diceritakan almarhumah Nyai Maryani (istri almarhum K. H. Abdul Wahab).
Menurut almarhumah Nyai Maryani, burung-burung itu diusir oleh K. H. Abdul Wahab, karena waktu beliau bersih-bersih area asta Kiai Agung Rabah, di bawah pohon Nangger, dijatuhi kotoran burung tepat mengenai kepala beliau. Dan lagi, karena banyaknya ikan yang dijatuhkan oleh burung tersebut menjadi busuk dan mengotori seputar Asta Bhujuk Agung Rabah.
Anehnya, hingga kini burung bangau itu tidak berani hinggap dan bertengger di pohon Nangger (Pohon Randu Alas), padahal pohon ini merupakan pohon paling tinggi dan besar di antara pohon-pohon yang ada di sekitarnya.
RM Farhan