Catatan

Konflik PWI

Dhimam Abror
Dhimam Abror dan istri di acara HPN, Pekanbaru, Riau

matamaduranews.com-PWI DUA kubu. Konflik PWI tentu berefek pada perayaan HPN (Hari Pers Nasional) yang sama sama digelar oleh dua kubu.

Dhimam Abror Djuraid menulis fenomena PWI DUA Kubu hawa konflik seperti parpol.

Berikut tulisan Dhimam Abror Djuraid yang dikutip dari situs kempalan.com.

Parpolisasi PWI
Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Hari Pers Nasional (HPN) diperingati setiap 9 Februari, sekaligus memperingati hari lahir PWI (Persatuan Wartawan Indonesia). Tahun ini, HPN diadakan di dua tempat, Pekanbaru, Riau, dan Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Satu organisasi, dua ketua dan dua kepengurusan.

Hari-hari ini terjadi krisis organisasi karena munculnya tuduhan korupsi dalam pengelolaan dana bantuan pemerintah melalui kementerian BUMN. Dewan Kehormatan memecat Henry C Bangun dari keanggotaan PWI, dan secara otomatis kehilangan jabatan sebagai ketua umum.

Buntut dari pemecatan kemudian diadakan Konferensi Luar Biasa (KLB) di Jakarta, Agustus 2024. Henry tidak terima dan tidak mengakui kepengurusan baru dan tetap mengklaim sebagai ketua. Henry balik memecat Sasongko Tedjo, Ketua Dewan Kehormatan, dan Zulmansyah Sekedang, ketua hasil KLB.

Konflik mencuat karena Henry dianggap tidak bisa mempertanggungjawabkan sejumlah uang. Dana yang terlibat tergolong besar, yaitu Rp 6 miliar, dan dari jumlah itu diduga ada penyelewengan Rp 2,8 miliar, atau setidaknya penggunaan dana itu mencurigakan.

Dana itu merupakan bantuan dari Kementerian BUMN. Dalam prosesnya dikatakan ada cash back kepada beberapa oknum. Setelah diselidiki ternyata cash back itu diterima sejumlah orang dekat Henry di kepengurusan PWI. HCB, inisial nama Henry, kemudian diplesetkan menjadi ‘’Henry Cash Back’’.

Muncul pertanyaan, bagaimana PWI bisa independen jika menerima uang dari pemerintah untuk membiayai programnya? Dana itu dipakai untuk membiayai program Uji Kompetensi Wartawan (UKW), yang menjadi program utama PWI. Tujuannya adalah menjadikan anggota PWI sebagai wartawan yang profesional. Salah satu kriterianya adalah mampu menjalankan fungsi kontrol sosial terhadap kekuasaan. Bagaimana bisa kritis terhadap kekuasaan kalau sumber anggaran berasal dari pemerintah?

Kalau memakai analogi sertifikasi halal MUI (Majelis Ulama Indonesia), maka program sertifikasi UKW ini sulit mendapatkan sertifikasi halal, karena dana yang dipakai masuk dalam kategori syubhat.

Para wartawan dan pimpinan PWI sudah menemukan berbagai argumen untuk menjustifikasi penerimaan dana dari pemerintah itu. Intinya, bagi PWI menerima dana pemerintah untuk membiayai berbagai program hukumnya halal.

Tentu ini debatable. Posisi PWI yang dekat dengan pemerintah sering dikritisi—atau membuat iri—organisasi kewartawanan lain seperti AJI (Aliansi Jurnalis Independen), yang lebih sering menempatkan diri sebagai opisisi terhadap pemerintah. Dari kacamata PWI sendiri muncul sinisme terhadap AJI yang dianggap sok kritis.

Konflik di PWI kali ini kelihatannya akan berlarut-larut, karena terjadi polarisasi yang tajam antara pro dan kontra. Masing-masing pihak punya interpretasi sendiri terhadap statuta organisasi. Masing-masing pihak saling bersikeras bahwa interpretasinya paling benar.

Kepengurusan Henry Bangun baru jalan setahun, tapi sudah digoyang oleh persoalan korupsi. Bagi wartawan, urusan uang sangatlah sensitif. Kode Etik Jurnalistik tegas menyebut penerimaan uang untuk menulis atau tidak menulis berita adalah haram.

Tapi, dalam praktiknya banyak wartawan yang punya interpretasi longgar terhadap aturan etik itu. Sangat banyak yang longgar dan permisif dalam menghadapi persoalan uang. Media-media konvensional terkemuka seperti Kompas, Tempo, dan beberapa media lain mempunyai standar tinggi dalam masalah penerimaan uang. Tetapi, banyak organisasi media yang longgar terhadap aturan ini.

Sebagai alumni Kompas seharusnya Henry punya standar tinggi terhadap aturan penerimaan uang. Tetapi, di akhir karir kewartawanan aktif Henry di-BKO ke anak perusahaan Kompas, Warta Kota. Di lingkungan baru ini bisa jadi standar idealnya menjadi turun. Ketika kemudian Henry masuk dalam ekosistem PWI dan memilih pengurus yang berstandar etik rendah, maka ia menjadi longgar dan permisif dalam pengelolaan keuangan.

Yang menjadi sorotan dalam pengelolaan dana hibah BUMN ini adalah adanya komisi yang harus dibayarkan kepada pengurus PWI yang dianggap berjasa mendapatkan hibah dari BUMN itu. Mungkin komisi itu dianggap sebagai uang terima kasih, atau dianggap sebagai komisi iklan yang lazim berlaku di berbagai perusahaan media.

Disinilah persoalannya. Dalam aturan organisasi media seorang wartawan tidak diperkenankan mencari iklan dan mendapatkan komisi dari iklan itu. Hal ini menjadi konsekuensi dari teori tembok api, ‘’firewall theory’’, yang memisahkan antara redaksi dan bisnis. Dua divisi yang sama-sama penting itu dipisahkan oleh tembok api yang tidak boleh diterobos.

Idealisme semacam ini sudah banyak ditinggalkan. Persaingan media yang sangat keras ‘’cut throat competition’’ persaingan gorok leher, menjadikan organisasi media bersikap pragmatis dengan mengizinkan wartawan mencari iklan dan mendapatkan komisi darinya. Praktik semacam ini menular di lingkungan PWI sebagai induk organisasi wartawan.

Gejala pragmatisme dan permisivme dalam persoalan uang terlihat jelas dalam Kongres PWI di Bandung 2023 yang memenangkan Henry Bangun. Persaingan antar calon ketua umum ketat, dan banyak uang berseliweran di arena kongres. Salah seorang calon jauh-jauh hari sebelum kongres berkeliling ke seluruh Indonesia menemui pimpinan PWI provinsi dan kabarnya menawarkan iming-iming finansial dengan berbagai modus.

Kongres PWI jadi mirip kongres parpol. Dan sekarang konflik PWI menjadi mirip konflik parpol. Tidak ada yang mau mengalah dan masing-masing merasa benar sendiri. Munculnya dua kepengurusan dengan dua ketua umum sekarang ini mirip dengan konflik internal parpol.

Gejala parpolisasi PWI sudah terasa sejak kongres di Banda Aceh 2008. Ketika itu aroma money politics sudah mulai tercium karena beberapa delegasi diduga menerima sejumlah uang untuk memilih calon tertentu. Gejala ini makin menguat pada kongres berikutnya, dan puncaknya terjadi pada kongres Bandung 2023.

Dewan Pers sebagai pemegang otoritas media tertinggi di Indonesia tidak berani mengambil sikap. Pemerintah juga menjaga jarak, ogah memihak salah satu pihak. Dua kubu sama-sama tidak mau menyerah.

PWI pernah pecah menjadi dua di era 1970-an. Ketika itu muncul dua kepengurusan versi B.M Diah, yang lebih pro-pemerintah vs kepengurusan Rosihan Anwar yang kritis terhadap pemerintah. Ketika itu konflik terjadi karena perbedaan idealisme. Kali ini konflik terjadi karena uang. (kempalan)

*Penulis Ketua Dewan Pakar PWI Pusat, dan pengajar ilmu komunikasi di Unitomo, Surabaya

Catatan

matamaduranews.com-Sadarkah. 20 Tahun lagi, apa mimpi Indonesia? Menjamur…

Exit mobile version