Digitalisasi dakwah menjadi fenomena mutakhir yang membawa berkah bagi dakwah Islam. Hal ini menimbulkan kegalauan di kalangan tradisionalis, yang mengkhawatirkan lunturnya tradisi pengajaran Islam tradisional seperti yang selama ini hidup di pesantren.
Ada kekhawatiran munculnya santri digital ini akan menimbulkan trivialisasi, pendangkalan, pemahaman Islam. Ajaran Islam memang menyebar dengan sangat masif. Tapi, penyebaran itu hanya bersifat kulit saja tanpa pendalaman isi. Para tradisionalis menghkawatirkan, pengajian digital tidak akan mutawatir, tidak menyambung kepada sumber yang otoritatif dan dikhawatirkan akan menimbulkan radikalisme dan ekstremisme.
Perubahan sosial itu akan membawa konsekuensi perubahan tradisi, yang pada akhirnya akan menghilangkan otoritas elite agama. Dengan munculnya teknologi digital otoritas itu berpidah dari para kiai tradisional kepada para kiai digital generasi UHA dan kawan-kawan.
Penolakan terhadap Konser Langit dikaitkan dengan sinyalemen bahwa UHA adalah pendukung HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) yang sudah dibubarkan pemerintah. Tuduhan ini tidak pernah diverifikasi langsung kepada UHA atau pun dibuktikan melalui pengadilan. Beberapa waktu yang lalu di media sosial beredar daftar gelap mengenai ustaz-ustaz yang dikategorikan sebagai radikal. Nama UHA masuk dalam list itu bersama-sama dengan Ustaz Abdul Somad, Ustaz Felix Siauw, dan beberapa lainnya.
Kemunculan para ustaz digital ini menjadi ancaman bagi status quo sosial dan politik yang selama ini sudah mapan. Cara-cara dakwah tradisional dan konvensional berubah total dengan munculnya dakwah digital yang diperkenalkan oleh para ustaz digital generasi UHA dan kawan-kawan. Model dakwah ‘’personalized’’ dan ‘’customized’’ ala UHA ini lebih mangkus dan sangkil, efektif dan efisien bagi generasi milenial.
Sebaiknya generasi milenial ini dibiarkan mencari Tuhan dengan cara mereka sendiri. (*)
sumber: kempalan