Religi

Kiai Abdul Allam: Lentera Ilmu Dari Sumber Prajjan

Kiai Abdul Allam
KHUSYU'. Seorang peziarah di Pasarean Kiai Abdul Allam di bukit Prajjan, Camplong, Sampang. (Foto/R M Farhan)

Dari atas bukit Prajjan, Kiai Abdul Allam menyulut api lentera ilmu. Api yang semakin pijar hingga ratusan tahun kemudian.

MataMaduraNews.Com-SAMPANGSiang itu terasa teduh, meski matahari telah tergelincir sejak kurang lebih sejam lalu.

Perjalanan kru Mata Madura dari kantor pusat hingga lewat perbatasan Sumenep-Pamekasan dipayungi awan yang semakin lama makin menebal. Sekitar lima menit keluar perbatasan, gumpalan awan itu jebol.

Dari dalam kendaraan terlihat jelas aksi kejar-mengejar tetesan hujan yang seakan tak mau kalah dengan laju benda bermotor yang kami tumpangi. Deras. Tapi itu tak lama.

Tak sampai sepuluh menit, cuaca kembali seperti beberapa waktu lalu saat kru masih berkemas di markas redaksi.

Setelah sempat menaikkan anggota kru dari Pamekasan di depan kampus STAIN, mobil kembali melaju. Tujuan kru ke lokasi pasarean Kiai Sepuh di Prajjan, kecamatan Camplong, Kabupaten Sampang.

Namun karena ada agenda lain, kru transit di kantor Biro Sampang, dekat kantor Pemkab. Dari sana diputuskan cukup naik kendaraan roda dua saja ke Prajjan. Akhirnya cukup saya dan salah satu wartawan biro Sampang, Syamsul, yang bertolak ke Prajjan.

Anggota kru lain, Rafiqi dan Syahid tinggal di kantor biro. Sementara Hambali ditemani sopir mendadak bertolak ke Surabaya.

“Kurang lebih lima belas menit dari sini, mas,” kata Syamsul, saat saya tanyakan jarak kota Sampang-Prajjan. Jam menunjukkan angka 16.00 WIB.

Syamsul lantas melajukan motor Honda Beat hitam miliknya lumayan kencang. Hingga di lokasi wisata Camplong, ia membelokkan motornya ke arah Utara. Di mulut jalan beraspal itu ada papan nama bertuliskan Jalan Prajjan.

Sekitar 1 kilometer kemudian kami pun sampai di sebuah jalan bercabang. Syamsul menghentikan laju motornya. “Saya agak lupa. Karena lama tak ke sini, ” kata warga kecamatan Tambelangan yang asalnya dari Camplong itu, sambil lengak-lengok.

Untuk menyingkat waktu, kami pun bertanya pada warga. Setelah dapat petunjuk, tanpa ba-bi-bu kami kembali melaju ke Utara. Jalannya menanjak. Sebuah bukit kecil. Namun agak ramai dengan lalu-lalang santriwan-santriwati. Bangunan di kanan-kiri jalan juga terlihat padat-rapat.

Rupanya di situ adalah kawasan pesantren.

“Terus ke Timur, lalu ke Utara. Di sana pasarean Buju’ Prajjan,” kata seorang bindara bertutup kepala putih, saat kami menanyakan titik lokasi asta.

Ukuran jalan makin sempit, seperti gang kampung. Motor Syamsul terus melaju hingga jalan beraspal itu putus. Di sisi kanan jalan merupakan tebing curam. Di bawahnya sungai besar. Kata Syamsul, sungai itu bernama sungai Prajjan. Motor Syamsul kami parkir di sisi bangunan madrasah pesantren. Tepat di pinggir tebing. Saya dan Syamsul berjalan kaki menaiki sisa tanjakan bukit.

Kiai Abdul Allam
KHUSYU’. Seorang peziarah di Pasarean Kiai Abdul Allam di bukit Prajjan, Camplong, Sampang. (Foto/R M Farhan)

Langkah kami terhenti di depan kawasan yang dipagari susunan batu bata. Kawasan tanpa pintu gerbang itu merupakan kompleks pasarean Kiai Abdul Allam dan para masyaikh pesantren Prajjan antar generasi. Setelah sempat bingung karena tak ada petunjuk di mana maqbarah Kiai Abdul Allam, Syamsul lantas keluar kompleks dan kembali bersama seorang santri.

“Pasarean beliau (Kiai Abdul Allam; red), yang ta’ eata’e (tak beratap),” kata si santri sambil menyorongkan jari jempolnya pada dua makam berbatu nisan kuna tanpa keterangan (inkripsi).

“Yang mana tepatnya,” kata saya dan Syamsul, bersamaan.

“Saya kurang tahu. Yang pasti salah satu dari keduanya,” kata santri itu, sebelum kemudian kembali ke pondok.

Waktu itu saya menyimpulkan makam Kiai Abdul Allam yang di sebelah kiri. Karena bentuk nisannya mirip pensil. Berujung lancip. Sementara makam di sebelah kanan berujung rata, pertanda perempuan.

Begitu model nisan kuna atau tempo doeloe untuk membedakan jenis kelamin ahli kubur. Kami pun menggelar dzikir sebentar. Sebelum kemudian jeprat-jepret kamera di sana-sini.

DALAM beberapa sumber lisan maupun tulisan, Kiai Abdul Allam dikenal sebagai pembabat bukit Prajjan. Beliau diceritakan bertapa di atas bukit sumber Prajjan.

Dari sanalah lentera ilmu memancarkan cahayanya di bumi kota Bahari. Kiai Abdul Allam juga disebut sebagai peletak dasar pesantren Prajjan.

“Pesantren Prajjan ini merupakan salah satu pesantren tertua di Madura,” kata seorang santri Pondok Pesantren Fatihul Ulum, Prajjan, usai kami berziarah. Perkataan santri itu diiyakan oleh Syamsul.

Dalam sebuah catatan yang bersumber pada sebuah website, Kiai Abdul Allam disebut mendirikan pesantren di Prajjan sekitar awal 1700-an Masehi. Meski hal itu masih perlu dikaji ulang.

“Kiai Abdul Allam itu diriwayatkan berguru pada Kiai Aji Gunung, Sampang. Jadi masa hidup Kiai Aji Gunung bisa menjadi tolak ukur,” kata Bindara Ilzam, salah satu pakar silsilah di Pamekasan, via ponsel kepada majalah ini.

Pernyataan tersebut diamini oleh Bindara Hamid, penerus estafet yang melestarikan situs Raba, Sumedangan, kecamatan Pademawu, kabupaten Pamekasan.

Dalam catatan kuna Raba, Kiai Agung Raba satu perguruan dengan Kiai Abdul Allam. Keduanya dengan Kiai Napo, Sampang, dikenal sebagai santri-santri pamungkas Kiai Aji Gunung.

Kiai Agung Raba diceritakan hidup di masa Panembahan Ronggosukowati, Pamekasan. Sekitar paruh kedua 1500-an hingga paruh kedua 1600-an Masehi. Dari sini juga bisa menjadi tolak ukur. Meski pembuktian waktu secara pas tetap tidak mudah.

Sementara mengenai asal-usul Kiai Abdul Allam ada beberapa versi. Dalam catatan keluarga Bangkalan, disebutkan bahwa Kiai Abdul Allam adalah putra Nyai Selase, Petapan, Labang.

Itu dikuatkan dengan catatan milik Bindara Muhsin, pemilik catatan bani Batokolong di Bangkalan.

“Di sini tertulis putra-putri Nyai Selase dan Kiai Selase di antaranya Kiai Pandita, Kiai Abdul Azhim, dan Kiai Abdul Allam,” kata Muhsin via aplikasi WhatsApp.

Namun Muhsin mengatakan pihak keluarga Bani Abdul Allam Prajjan menolak jika Kiai Abdul Allam disebut putra Kiai Selase.

Menurut mereka, Kiai Abdul Allam lain ayah dengan putra-putri Nyai Selase lainnya. “Mereka hanya terima data bahwa Kiai Abdul Allam beribukan Nyai Selase,” kata Muhsin.

Riwayat bahwa Kiai Abdul Allam berasal dari Bangkalan memiliki banyak sumber kuna. Riwayat lisan dari Konang, Bangkalan misalnya.

“Dalam riwayat sesepuh di Konang, Kiai Abdul Allam pernah aduko (bermukim) di Omben, sebelum membabat bukit Prajjan,” kata Bindara Sudi, di Bangkalan.

Sementara dalam catatan Prajjan, Kiai Abdul Allam adalah putra Kiai Pangrato Bumi. Catatan ini mirip dengan catatan di Sumenep yang disusun Isma’il Jamal dan Kiai Haji Usymuni Tarate.

Pangrato Bumi ini bernama lain Syaikh Abdul Allam dan Bagus Papatu. Di catatan tulisan Kiai Haji Abunawas Bakri, Sumenep, disebut Bagus Palatuk. Bagus Palatuk ini ditulis putra Pangeran Waringin Pitu, anak Nyai Ageng Sawo binti Sunan Giri.

Kiai Abdul Allam disebut memiliki beberapa anak. Catatan Prajjan menyebut tiga anak. Yaitu Kiai Abdul Kamal, Langgar Genteng, yang meneruskan estafet pesantren Kiai Abdul Allam. Pesantren itu kini bernama Nazhatut Thullab, Prajjan.

Putra kedua  bernama Nyai Sayyidah, Jaranguan. Dan putra ketiga ialah Nyai Syaibah, Langgar Tana, Prajjan.

Dalam manuskrip (layang) Toronan, Pamekasan, Kiai Abdul Allam menikah dengan putri Nyai Aminah binti Sunan Cendana, Kwanyar. Artinya, Kiai Abdul Allam menikah dengan bibi sepupu dari ibunya.

“Nyai Selase ‘kan putri Nyai Kumala binti Sunan Cendana,” kata Bindara Ilzam, yang menyimpan manuskrip tersebut.

Dari beberapa putra-putrinya itu, keturunan Kiai Abdul Allam menyebar hingga keluar Sampang. Di Sumenep misalnya, salah satu ulama besar keturunan Kiai Abdul Allam ialah Kiai Haji Abisyuja’, Kebunagung; dan Kiai Haji Ahmad Bakri, Pandian.

R B M Farhan Muzammily, Mata Madura

Fauzi-Imam
Religi

matamaduranews.com-Dunia ini sempit. Cepat berlalu. Siapa duga. Kiai…

Exit mobile version