Catatan

Mas Sulaisi, Saya Mohon Maaf

Mas Sulaisi dan Marlaf
Sulaisi Abdurrazaq dan Marlaf Sucipto

Melalui dua serangkaian catatan yang saya buat mengenai BOP itu, saya kan bertanya, surat dan/atau dokumen apa yang diduga telah dipalsu oleh tersangka dan itu adalah dokumen Annuqayah. Jika Anda mau menjawab, alhamdulillah. Tapi jika tidak mau menjawab pun tidak masalah.

Pertanyaan itu hanya dalam rangka memastikan, apakah betul-betul ada dokumen Annuqayah yang dipalsu?!

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!

Pertanyaan itu juga didasari oleh banyaknya permintaan teman-teman Alumni Annuqayah yang menghubungi saya, meminta pendapat guna memantapkan keputusannya dalam mengikuti serangkaian rencana aksi di bawah Ikatan Alumni dalam menyikapi BOP itu.

Selain itu, klien Anda yang telah menjadikan Anda sebagai Penasihat Hukumnya, apakah telah memiliki kewenangan mandat untuk mempersoalkan BOP ini. Utamanya kewenangan dari Annuqayah Lubangsa secara kelembagaan. Sebab, klien Anda itu tidak mengusung kepentingan pribadi, tapi kepentingan lembaga. Bicara lembaga, ada banyak orang. Ada penanggung jawab.

Saya mengomentari sebab alasan itu. Andai itu kepentingan klien Anda secara pribadi, saya tidak merasa terpanggil untuk mengomentari itu.

Atas pertanyaan Anda, “mengapa Marlaf Sucipto semangat sekali memberi pendapat hukum yang sumir dan menyesatkan?” Maka, saya tanya balik, di bagian mana pendapat saya yang menurut Anda sumir dan menyesatkan?

Mari berdiskusi!

Jika pendapat hukum saya dinilai menguntungkan terduga pelaku, ya, itu kan penilaian Anda. Saya tidak tahu apalagi kenal pelaku. Pendapat tersebut saya share secara terbuka. Saya pun sampai saat ini bukan Penasihat Hukum Tersangka. Toh bila misal mereka, termasuk dua jaksa yang Anda nyatakan penghianat itu, mau menjadikan saya sebagai penasihat hukumnya, sah-sah saja dong.

Yang pasti, bila misal itu terjadi, saya pastikan tidak akan membela apalagi mendukung kesalahan yang jelas-jelas telah diperbuat oleh mereka, saya hanya memastikan bahwa hukum itu betul-betul ditegakkan secara benar, proporsional dan adil atas mereka. Itu saya lakukan untuk semua klien saya.

**
Kedua, dalam konteks catatan saya yang diberi judul; “Perkara Banding, PH Menggerakkan Demonstrasi, Bukan Melawannya Dengan Kontra Memori Banding”, saya mohon maaf.

Saya memang tidak terlibat langsung karena kepentingan klien sudah diwakili oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Ikhwal kontra memori banding, saya mendapat informasi yang ternyata tidak valid. Saya tidak mengetahui langsung karena saya tidak terlibat langsung. Kala itu, saya dapat informasi JPU banding. Kemudian saya cek melalui sistem informasi pengadilan, ternyata informasi perkara dimaksud belum di-upgrade.

Putusan pengadilan 31 Maret 2022, JPU Banding 07 April 2022, 29 Mei muncul catatan “Jaksa Penghianat”. Sejak adanya putusan pengadilan itu sampai terbitnya catatan “Jaksa Penghianat” selang waktunya nyaris 2 bulan lho, Mas.

Mengapa Anda baru “berteriak”, kok tidak “berteriak” sejak awal jika Anda benar-benar serius atas tindakan jaksa yang diduga memeras klien Anda dan/atau keluarga klien Anda.

Di dalam catatan itu berisi kekecewaan Anda sebab yang sangat mencolok karena JPU melakukan upaya hukum banding. Padahal, Anda sudah bernegosiasi yang hasilnya Jaksa tidak akan banding.

Isu dugaan pemerasan itu saya rasa output dari kekecewaan Anda sebab Jaksa Banding. Hal itu sangat terlihat dari catatan Anda yang diberi judul “Jaksa Penghianat” itu.

Kala itu, saya berpikir simpel, jika tidak terima sebab JPU banding, mestinya cukup dilawan dengan kontra memori banding, bukan demonstrasi. Kejadian demi kejadian itulah yang mengkonstruksi judul catatan saya tersebut. Simpelnya, saya tidak bermaksud menyatakan bahwa Anda tidak mengajukan kontra memori banding.

Atas hal itulah, sekali lagi, saya mohon maaf. Saya tidak biasa menantang orang apalagi memaksa. Tapi, jika Anda keberatan dengan itu, saya juga keberatan atas peryataan Anda, “Santri tidak boleh memotong pembicaraan kiai, apalagi menunjukkan sikap berseberangan dengan guru dan kepentingan pesantren”.

Selain itu, saya juga keberatan atas pernyataan Anda, “mengapa Marlaf Sucipto semangat sekali memberi pendapat hukum yang sumir dan menyesatkan?”

Dalam konteks perkara ini, saya masih punya catatan lanjutan lho, Mas. Masak saya tidak etis jika saya membuat catatan? Toh saya adalah penasihat hukumnya korban. Perkara ini, silakan lihat dari sudut pandang Anda sebagai Penasihat Hukumnya Tersangka dan saya juga akan melihatnya dari sudut pandang korban. Begini kan asik?

***
Ikhwal saya melakukan demonstrasi, saya rasa, tanpa Anda menjelaskan, publik, umumnya alumni Annuqayah, sudah banyak yang tahu. Bahkan, bisa jadi, mereka mengetahui hal itu jauh sebelum Anda tahu.

Kala itu, saya secara pribadi dengan Prof. A’la tidak memiliki masalah. Jumpa di mana pun saya tetap cium tangan salaman. Beliau tetap kiai saya. Demonstrasi itu dalam kapasitas beliau sebagai rektor dan saya Presiden BEM. Relasinya Presiden BEM dan Rektor, bukan dalam relasi Kiai-Santri.

Memang pesantren tidak memiliki tradisi demonstrasi. Di kampus lah demonstrasi itu menjadi tradisi. Saya bersama Prof. A’la berada di kampus.

Demo yang anda gerakkan ke Kejaksaan itu beberapa waktu yang lalu itu adalah tradisi kampus lho, Mas, bukan tradisi pesantren. Haha

Kritik yang saya sampaikan ke beliau melalui orasi juga konstitusional, tidak dilarang oleh konstitusi dan disampaikan secara sopan. Silakan lacak sendiri di internet.

Beliau tetap kiai saya walaupun saya merasa lebih nyaman memanggil beliau dengan sebutan “Prof”, bukan “kiai”.

Saya di Polrestabes hanya diamankan, dimintai keterangan, setelah itu dipulangkan.

Selesai.

Salam,

Exit mobile version