matamaduranews.com–BANGKALAN-Keuangan pemerintah (APBD) Kabupaten Bangkalan dinilai Mathur Husyari kurang ideal dan rawan dikorupsi. Sebab APBD Bangkalan saat ini dinilai kurang ideal seiring dengan porsi belanja pegawai yang lebih mendominasi ketimbang belanja modal.
Hal ini disampaikan Mathur Husyairi dalam diskusi dengan tema Arah Kebijakan Penyusunan APBD Bangkalan 2022 yang digelar Aliansi Jurnalis Bangkalan (AJB), Rabu (29/12/2021) malam hari.
Mathur menilai penggunaan APBD Bangkalan hingga saat ini masih cenderung berorientasi pada penyelenggaraan pemerintahan, bukan pembangunan yang berdampak pada perekonomian.
Menurutnya, jika pemerintah daerah hendak menekan belanja pegawai dan menambah infrastruktur, seharusnya belanja pegawai tidak bertambah.
“Belanja pegawai di Bangkalan melebihi 50 persen. Tidak balance dengan belanja modal. Sebenarnya APBD Bangkalan sudah kolap,” papar anggota DPRD Jatim ini.
Lebih lanjut, Mathur menyebut semestinya arah kebijakan APBD Bangkalan itu sesuai dengan janji politik bupati dan harus ada di RPJMD. Apalagi saat ini APBD banyak yang direfosusing karena dampak covid-19.
“Banyak pihak yang bermain di anggaran APBD tersebut,” papar mantan aktivis LSM anti korupsi di Bangkalan ini.
Selain itu, dalam penyusunannya pun, tambah Mathur dokumen APBD Bangkalan kental copy paste.
Kenapa terjadi? “karena dokumen APBD itu tidak pernah dipublikasikan,” kaya Mathur menambahkan.
“Jadi masyarakat baik media, wartawan sekalipun DPRD-nya tidak bisa mengoreksi. Ini yang menjadi persoalan. Lantas bagaimana tranparansi bisa dilakukan, jika semua tertutup,” ungkap Mathur.
Mathur menawarkan solusi, kepala daerah harus menjadi penentu arah kebijakan. Karena itu, Bupati harus paham tentang APBD.
“Dalam kabupaten ada sebuah pasar gelap hutan belantara yaitu dunia birokrasi,” papar Mathur, menyinggung birokrasi yang sering bermain-main di APBD.
Ketika legislatif dan ekskutif melakukan kesepakatan di dalam politik anggaran, siapa yang mengawasi?
Mathur mengatakan, legislatif fungsingnya budgeting controling dan legislasi. Kalau di kabupaten kota kan bersifat perda.
Kata Mathur, fungsi pengawasan jika tidak memegang salinan APBD, lantas apa yang mau diawasi.
“Kalau saya lebih percaya kepada pengawasan publik untuk mengawasi baik masyarakat, mahasiswa LSM dan jurnalis,”.
“Ya kita yang harus mengawasi. Tetapi jika tidak punya dokumen APBD kita ya kan mandul juga untuk mengawasi,” paparnya.
Kerawanan korupsi di APBD Bangkalan, lanjut Mathur bukan saja terjadi pada saat pelaksanaan. Namun juga dalam proses perencanaan, bahkan pada tahap ini bisa dibilang lebih kental.
“Karena masyarakat belum dilibatkan dalam perencanaan secara utuh dari awal, dan hanya diberi sosialisasi hasil dari perencanaan yang sudah terbentuk. Begitupun juga DPRD-nya. Sudah selesai terlebih dahulu di atas meja,” kata Mathur.
Dari skema perencanaan saja, saat dilaksanakan forum Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) aroma egosentris sangat kental, disinilah celah untuk memasukkan keinginan melalui negosiasi.
“Terkadang DPRD hanya meminta jatah, bagian saya dimana. Nah disitulah aroma rawan korupsi terjadi,” paparnya.
Keinginan masyarakat luas untuk ikut mengawasi proses ini pun selalu terbentur pada aksesibilitas informasi dan data.
Namun yang terjadi selama ini, pengelolaan yang dilakukan SKPD ini rentan korupsi, baik melalui mekanisme mark up (biaya).
“Modus yang sering digunakan adalah mark up, semisal pengadaan barang dan jasa atau makan dan minum. Disitu yang sangat rawan,” paparnya.
Bagaimana langkah konkrit untuk melakukan pengawasan terhadap modus-modus diatas? Kunci pokoknya adalah aksesibilitas informasi dan data.
“Kalau kendala ini belum terpecahkan, masyarakat tidak akan bisa melakukan pengawasan. Walau ada Undang-Undang Keterbukaan Publik, implementasi di lapangan belum menunjukkan sinyal positif. Ya susah juga,” pungkasnya.(sae)